Mobil hitam dengan lagu favorit yang sedang diputar tengah menemani perjalanan pulang Noa dari lokasi pemotretan sebuah katalog perhiasan dan juga pakaian dari desainer terkenal. Selain sebagai aktris yang sudah membintangi beberapa film, baik sebagai pemeran utama atau pendukung, Noa juga memiliki profesi sebagai model. Sebelum mengawali dunia akting, ia lebih dulu mencicipi perjalanan di catwalk dan juga berpose di depan kamera. Hingga akhirnya bakat di dunia akting ditemukan, lantas membawa namanya dikenal oleh seluruh Indonesia.
Noa fokus mengemudi namun juga menikmati lalu lintas yang mulai lengang. Jarak antara lokasi pemotretan dengan rumah ditempuh kurang lebih 30 menit lamanya. Harusnya Anjani atau Riris menemaninya pulang, tapi karena keduanya nampak kurang enak badan, akhirnya Noa memilih pulang sendiri saja. Hal yang tidak perlu diribetkan jika ia masih bisa melakukannya tanpa bantuan orang lain.
Fokus Noa teralihkan karena suara dering dari ponselnya. Tanpa melihat siapa yang menghubungi, Noa langsung menjawab. Lewat peranti hands-free ia bisa bicara tanpa mengalihkan pandangan dan konsentrasinya saat mengemudi.
“Halo.”
“Halo Noa, kamu belum pulang?”
Kening Noa mengkerut saat mendengar suara karas dari ibunya di seberang sana. “Aku lagi dalam perjalanan pulang, Ma.”
“Pulang sama siapa?”
“Sendiri. Anjani lagi kurang enak badan, Riris juga sama. Jadi aku suruh mereka pulang tanpa antar aku pulang.”
“Ya sudah, hati-hati di jalan. Oh iya, kamu sudah makan?”
“Belum,” jawab Noa tanpa semangat karena sudah pasti tanggapan ibunya tidak menyenangkan hati. “Tadi nggak sempat karena kejar waktu.”
“Makan buah saja. Jangan makan berat, nanti kamu gendut.”
Noa menghela napas pelan, namun berusaha tidak terdengar. “Iya Ma. Tanpa Mama ngomong, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Mama Cuma mengingatkan. Mungkin kamu sampai, Mama sudah tidur. Jadi nggak perlu nyari Mama, ya.”
“Iya Ma.”
“Ya sudah, Mama tutup telponnya. Hati-hati di jalan.”
Setelah menyelesaikan percakapan, Noa kembali menghela napas kasar. Nyaris tangannya memukul kemudi karena menahan rasa kesal terhadap ibunya.
“Semoga kewarasanku tersisa banyak. Percuma banyak uang kalau makan saja aku harus merasa ketakutan,” gerutu Noa.
Seperti pertanda tidak boleh protes atas aturan yang dibuat ibunya, tiba-tiba mobil yang dikemudikan Noa tidak bisa berjalan dengan baik. Seperti ada yang mengganjal sehingga Noa terpaksa berhenti. Ia cukup kaget sekaligus bingung akan apa yang terjadi.
“Ada apa lagi, sih? Jangan bilang ini mobil ngambek lagi!”
Tanpa memperhatikan kondisi sekitar, Noa segera turun dari mobil. Ia melakukan pengecekan pada kondisi ban mobilnya. Benar saja, ban mobil bagian belakang kiri ternyata bocor.
“Oh God! Kenapa harus sekarang?”
Wajah Noa nampak frustrasi. Dalam keadaan lelah, harus ditambah dengan kondisi mobilnya. Pandangan matanya mengarah ke sekitar yang ternyata cukup sepi dan lengang. Bahkan bangunan nampak jarang karena sekitarnya taman yang cukup luas tapi tanpa pengunjung yang terlihat. Noa melihat jam di tangannya yang melingkar. Waktu menunjukkan hampir pukul 10 malam.
“Biasanya ramai, tapi kenapa sekarang sepi banget, ya?” gumamnya gugup.
Lantas Noa mencoba untuk mencari taksi online yang bisa membawanya pulang ke rumah. Beberapa kali mencoba, tidak ada yang mau mengambil. Hal ini semakin membuat gadis itu kesal.
“Sial! Kayaknya malam ini aku memang hari sialku.”
Mau tidak mau, Noa mencoba menghubungi Riris yang jarak kosnya tidak terlalu jauh dari lokasinya saat ini. Ia tidak mau menelepon Asmita, takut membuat khawatir.
“Riris, jawab dong,” ucapnya penuh harap. Noa lantas mencoba lagi, tapi nyatanya nomor Riris tidak bisa dihubungi. “Jangan-jangan hape-nya mati.”
Noa kembali melihat ke sekitar, hanya ada beberapa kendaraan lewat dengan kencang. Awalnya Noa merasa santai, tetapi mendadak pandangan matanya menangkap keberadaan mobil dengan lampu menyala. Entah kenapa perasaan mendadak tidak nyaman. Lantas Noa memutuskan untuk menghubungi Anjani agar dikirimkan mobil ke tempatnya sekarang.
“Cuma perasaanku saja. Mobil itu mungkin berhenti karena kebetulan,” gumamnya sedikit panik.
Anjani tidak menjawab panggilan telepon Noa. Hal ini mungkin dikarenakan wanita itu sudah minum obat dan pergi istirahat sehingga tidak mengindahkan telepon dari Noa.
“Mau nggak mau, aku harus telpon mama,” ucapnya putus asa.
Baru saja telepon genggamnya didekatkan ke telinga, tiba-tiba ada mobil yang sudah melewatinya, perlahan mundur mendekati tempat Noa berdiri. Hal ini membuat gadis itu waspada. Bersiap-siap untuk melindungi diri dari orang berniat jahat. Saat orang di dalam mobil itu turun, Noa benar-benar terkejut.
“Kamu?”
Shaga berjalan mendekati Noa dengan mengenakan seragam judo. “Kenapa kamu di sini?”
“Itu …itu ban mobilku bocor, jadi nggak bisa pulang.”
“Lalu, kenapa diam saja? Kamu nunggu siapa?”
Ditanya begitu, Noa nampak bingung menjawab. “Aku lagi coba cari taksi online, tapi nggak ada yang mau ambil. Anjani dan Riris nggak bisa aku hubungi, jadi …”
“Cepat masuk. Kamu bisa ikut mobilku,” ucap Shaga dingin.
Noa menggeleng cepat. “Enggak perlu. Aku bisa pulang dengan taksi.”
Seperti biasa, Shaga sudah bisa menebak jawaban gadis ketus di hadapannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menarik tangan Noa untuk dibawa masuk ke mobilnya.
“Jangan gengsi kalau kamu sendiri merasa ketakutan diam sendiri di sini,” sindir Shaga.
Tindakan Shaga langsung ditanggapi dengan reaksi berontak dari Noa. Gadis itu berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Shaga. Tetapi tenaganya terlalu lemah, dibandingkan dengan laki-laki itu.
“Aku bilang nggak mau, kenapa maksa!” ucap Noa keras.
Namun pada akhirnya Noa berakhir di kursi penumpang, di mobil Shaga. Raut wajahnya begitu kesal dan seperti siap meledak. Menatap Shaga yang sudah duduk di sebelahnya dengan sorot mata tajam menahan emosi. Tidak lupa, laki-laki itu sudah mengambil kunci mobil serta tas miliknya sebelum kembali ke mobil.
“Jangan banyak protes. Aku harus fokus mengemudi,” ucap Shaga tanpa peduli bagaimana kesalnya Noa.
“Siapa suruh jadi tukang maksa! Aku nggak butuh bantuan kamu, Shaga!”
Kekesalan Noa setiap berhadapan dengan Shaga semakin bertambah dari sebelumnya karena ia terus mengingat jadian ketika tidak sadarkan diri. Laki-laki di sebelahnya mencium tanpa ia tahu hingga bibirnya luka. Apa pun alasannya, tetap saja Noa tidak terima. Shaga semakin menyebalkan di matanya.
“Kalau besok ada berita ditemukan seorang artis sekaligus model meninggal karena dicelakai orang, kamu pikir aku nggak akan kena imbasnya? Sudahlah, jadi manusia jangan terlalu banyak makan gengsi. Kalau kamu terus hidup seperti itu, maka kamu sendiri yang rugi!”
Noa mendengkus sebal dengan tangan menyilang di depan. Matanya lurus menatap ke depan, seakan tidak sudi membalas tatapan Shaga. Tidak ada kalimat lagi yang terlontar. Seakan lelah beradu argumen dengan laki-laki di sebelahnya.
Hingga sampai rumah, baik Noa maupun Shaga memilih untuk tetap diam. Hanya hening yang menemani perjalanan mereka yang jaraknya tidak terlalu jauh. Bahkan saat mobil baru saja parkir dan mesin baru dimatikan, Noa langsung keluar dengan menutup pintu sangat kasar. Tidak ada kata terima kasih, hanya ekspresi wajah kesal yang ditunjukkan kepada Shaga.
Shaga menggeleng, lalu membuka sabuk pengamannya. “Dasar aneh. Ditolong malah kesal, makan itu gengsi!”
***
Setelah mandi dan kondisi tubuh segar, Shaga pergi ke dapur untuk membuat makan malam. Malam ini ia latihan cukup lama dan juga berat, sehingga perutnya menjadi lapar. Biasanya ia memilih untuk tidak makan dan langsung pergi tidur, tapi kali ini tidak bisa demikian. Shaga memutuskan untuk memasak mi instan. Makanan yang kadang hanya dinikmati sekali dalam sebulan.
Shaga memasak mi kuah lengkap dengan telur dan sayur serta sedikit irisan cabai agar lebih terasa sehat. Meski tetap saja, mi instan tidak ada sehat-sehatnya. Biasanya Shaga hanya masak untuk satu porsi, tetapi karena lapar, ia lantas masak dua bungkus.
Aroma mi buatan Shaga menguar, memenuhi dapur milik keluarga Cakrawangsa. Andai saja Asmita dan Arghandi belum tidur, mungkin akan terpancing untuk datang ke dapur karena aroma yang sedap.
Saat Shaga selesai masak dan siap memindahkan mi buatannya ke dalam mangkuk, tiba-tiba terdengar suara derap langkah. Sudut matanya menangkap sosok Noa yang berjalan menuju dapur. Shaga tetap melakukan aktivitasnya tanpa memedulikan keberadaan gadis itu.
“Bau apa ini?” celetuk gadis itu.
Shaga tidak menjawab. Setelah selesai memindahkan mi, ia lantas mengambil air dingin. Melewati Noa yang berdiri di depan kulkas.
“Makan mi? Jam segini?” Noa nampak terkejut. “Kamu nggak takut gemuk?” sambungnya lagi.
Terdengar Shaga menghela napas. “Aku lebih takut nggak bisa tidur karena lapar daripada gendut,” jawab Shaga. Lalu laki-laki itu berdiri di depan Noa yang sedang memegang apel. “Buat apa menyiksa diri dan berujung tidak bahagia. Makan apa yang ingin kamu makan. Nikmati makanan yang kamu mau, daripada nanti saat mati menyesal,” imbuhnya.
Noa berdecis. “Ya sudah, lakukan saja apa yang kamu mau. Kalau gendut, jangan sampai menyesal.”
Shaga tidak menjawab. Ia lalu menarik kursi setelah meletakkan semangkuk mi dan air dingin. Ia sudah tidak sabar untuk menikmati. Walaupun masih panas, justru sensasi ini yang ia inginkan. Tetapi keberadaan Noa yang tiba-tiba duduk di hadapannya, cukup mengherankan.
“Kenapa? Memangnya aku nggak boleh duduk di sini?” tanya Noa santai.
“Kamu mau?” tanya Shaga.
“Enggak. Aku nggak mau gendut.”
Shaga mengangkat bahunya ringan. “Ya sudah.”
Noa menatap Shaga yang sedang menikmati mi instan. Aroma nikmat begitu menggoda keteguhan hatinya. Sesekali memalingkan wajah, berusaha tidak peduli. Salahnya juga karena memilih duduk di sini.
“Lagian, kenapa aku duduk di sini? Makin ngiler, kan?” batinnya.
Tidak lama, Shaga lantas beranjak dari duduknya. Ia mengambil mangkuk, lalu menuangkan mi yang sebenarnya masih tersisa cukup banyak di panci. Hal ini sengaja dilakukan saat sadar akan kedatangan Noa ke dapur.
“Kamu makan dua mangkuk?” tanya Noa heran saat melihat Shaga datang dengan mangkuk baru.
Shaga meletakkan mangkuk berisi mi yang lengkap dengan telur serta sayur. “Buat kamu. Terserah mau di makan atau tidak. Aku yakin satu buah apel nggak akan buat perut kamu kenyang.”
“Aku nggak mau, kamu makan saja,” tolak Noa.
“Mama kamu nggak ada, jadi makan saja tanpa rasa takut.” Shaga membawa mangkuk serta gelas berisi air miliknya dan siap-siap pergi dari sana. “Kalau nggak dimakan, tinggal saja. Biar besok si mbok yang beresin,” sambungnya.
Shaga pergi menuju paviliun belakang. Melanjutkan makan malamnya di sana tidak nyaman akan keberadaan Noa. Tetapi diam-diam, ia mengintip apa yang dilakukan gadis itu dengan mangkuk berisi mi yang sangat enak. Cukup lama menunggu reaksi Noa. Tiba-tiba, saat gadis itu bergerak, membawa masakan buatannya, sudut bibir Shaga terangkat.
“Kasihan sekali. Mau makan saja susah,” gumamnya lalu pergi.
Sementara itu, Noa mengambil beberapa buah cabai di dalam kulkas. Memotong dengan gunting, dan dimasukkan ke dalam mi buatan Shaga. Tanpa sadar, Noa meneguk salivanya karena sudah tidak sabar menikmati mi yang menggugah selera. Meruntuhkan keteguhan hatinya yang selama ini selalu dijaga.
“Aku makan di kamar saja. Gengsi kalau Shaga tahu aku makan mi buatannya. Dan yang paling penting, jangan sampai mama tahu aku makan mi tengah malam. Maaf apel, kali ini tempatmu digantikan oleh mi kuah,” gumam Noa.