Noa tengah menatap lemari pakaian miliknya yang tersimpan beberapa pakaian, sepatu dan juga tas dari berbagai merek terkenal. Barang-barang ini masih tersimpan rapi di rumah lama dan belum bisa dibawa ke rumah milik Arghandi. Dan sekarang ia harus memilih beberapa untuk dipindahkan ke sana, demi kepentingan pekerjaan. Lelah juga jika harus bolak-balik ke rumah ini.
Tubuh Noa memang sedang ada di rumah ini, tetapi pikiran Noa tertuju pada pertengkarannya tadi pagi dengan Shaga. Setiap mengingat apa yang laki-laki itu katakan mengenai kejadian semalam, rasanya Noa ingin menghilang. Ia masih belum terima jika orang yang selalu membuatnya jengkel, justru menciumnya. Yang katanya tidak sengaja, tetapi Noa tidak percaya.
“Ah! Kenapa aku harus ingat terus. Benar-benar menyebalkan!”
Noa memutuskan meninggalkan area closet room lalu pergi ke lantai satu untuk mengambil minuman dingin. Sepertinya ia akan menunggu Anjani dan Riris di sana untuk membantunya memilih memilah beberapa barang yang penting. Saat ini konsentrasinya sedang terganggu karena terus membayangkan sosok Shaga. Bukan karena tampan tapi karena tidak suka dan Noa merasa kesal setiap mengingatnya.
Minuman kaleng dingin berhasil membuat Noa merasa lebih baik. Ia duduk di sofa, sambil menyalakan televisi dengan kaki naik di tempat itu. Kebetulan sekali ada acara gosip yang sedang diputar dan sedang membahas hubungan dirinya bersama Keano.
Salah satu sudut bibir Noa terangkat. Tersenyum dengan menatap sinis video kemesraan dirinya selama di lokasi syuting. Dengan narasi yang menyatakan bahwa mereka sangat serasi. Ditambah komentar dari para penggemar yang berharap Noa dan Keano segera menikah.
“Mereka sudah gila. Nyuruh aku nikah disaat karirku sedang bagus-bagusnya. Mereka selalu berangan-angan melewati batas,” gumam Noa tidak percaya.
Noa kembali meneguk minuman soda miliknya. Mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan. Rumah yang ia tempati sejak berusia tujuh tahun. Memberikan banyak kenangan, bukan hanya indah tapi juga menyakitkan. Meski demikian, ia lebih senang di sini daripada di rumah milik ayah tirinya.
“Apa aku tinggal di sini saja, rasanya lebih nyaman. Walaupun sendirian, setidaknya nyaman tanpa orang asing,” pikirnya.
Suara bel pintu rumah menggema dengan nyaring. Noa menurunkan kakinya, lalu beranjak dari sofa. Pergi ke depan untuk memastikan yang datang adalah Anjani dan Riris.
“Kenapa lama sekali? Kalian pergi ke mana dulu?” tanya Noa begitu membuka pintu dan di hadapannya berdiri manajer dan asistennya. “Aku sampai bosan nunggu kalian,” keluhnya lagi.
Anjani mengangkat paper bag di tangannya. “Kamu lupa nyuruh kami beli sushi?”
“Mana tempatnya nggak searah. Jadi wajar kami lama sampai sini.” Riris menimpali.
Noa menghela napas, merasa tidak bersalah. “Ya sudah, ayo masuk.”
Anjani masuk dengan santai, diikuti oleh Riris. Keduanya sama-sama berkerja dengan Noa sejak tiga tahun lalu. Sebelumnya, Asmita yang menjadi manajer Noa. Sedangkan asistennya seorang laki-laki namun sedikit kemayu bernama Roni. Sayang, Asmita harus memecat Roni karena membocorkan beberapa privasi Noa ke publik demi mendapatkan uang. Awalnya ingin dituntut, tapi Nao melarang karena malas berurusan dengan polisi. Sebagai sanksinya, Noa memberitahu lewat sosial media agar tidak menerima Roni di tempat mana pun. Sampai sekarang, tidak terdengar lagi kabar laki-laki itu.
“Tunggu! Bibir kamu kenapa, Noa? Perasaan semalam baik-baik saja. Kok sekarang bisa ada luka?” tanya Anjani.
Noa menjatuhkan tubuhnya dengan malas di atas sofa sambil menghela napas panjang. “Digigit serangga.”
“Serangga? Maksud kamu tawon?” tanya Anjani penasaran. “Nggak mungkin sih karena nggak bengkak. Terus serangga apa?”
“Mungkin lebih tepatnya hama,” sahut Noa malas.
Riris meletakkan sushi yang sudah ditata di atas piring lalu diletakkan di atas meja. Tidak lupa, mengambil minuman untuknya dan juga Anjani. Setelah itu, pandangan matanya tertuju pada bibir Noa yang sedang menjadi pembicaraan.
“Kamu gigit, ya?” tanya Riris yang memiliki perbedaan umur dua tahun di atas Noa. “Soalnya kelihatan kena gigitan. Maksudku bukan sengatan tawon atau sejenisnya.”
“Benar kata Riris. Tapi kok parah begitu? Dua hari lagi ada pemotretan, bisa hilang nggak?” Anjani menimpali dengan mimik wajah khawatir.
Noa menghela napas frustrasi karena dicecar tanpa henti. “Oke baiklah, aku jawab. Luka ini, karena Shaga. Laki-laki menyebalkan yang harusnya nggak pernah masuk ke hidup aku. Jadi serangga atau hama yang aku maksud ya dia.”
“Shaga?” Anjani dan Riris bicara bersamaan.
“Iya. Semalam aku mabuk dan dia yang bantu aku ke kamar. Lalu terjadilah.”
“Maksudnya terjadi apa?” Riris nampak bod0h.
“Kalian ciuman? Atau tidur bersama” Anjani tidak kalah kaget.
“ENGGAK!”
Noa membantah dengan tegas. Mau tidak mau ia akhirnya menceritakan apa yang terjadi semalam. Menuturkan dari sudut pandang Shaga tentang kejadiannya meski sampai sekarang terasa tidak masuk akal.
“Ya Tuhan! Kalian sudah sejauh itu?” tanya Riris tidak percaya.
“Noa, kalian itu saudara,” ucap Anjani.
Noa menutup telinganya dengan kedua tangannya karena tidak tahan mendengar ocehan Anjani dan Riris. Mereka terlalu memojokkan tanpa paham akan situasinya.
“Tolong kalian berdua jangan mikir yang enggak-enggak. Kejadian semalam nggak disengaja. Lagian kalian sudah gila, nuduh aku sama Shaga macem-macem?” bantahnya.
“Ya wajarlah, cerita kamu bikin kami curiga. Apalagi status kalian saudara jadi jangan sampai kalian…”
Noa berdecak. “Kalian dengar baik-baik, ya. Shaga itu bukan saudaraku. Dia bukan anaknya Om Arghandi, Cuma keponakan yang diajak karena yatim piatu. Kalian lupa aku sudah punya Keano? Jadi jangan berimajinasi terlalu jauh, kalian lebay.”
Riris mendengkus pelan. “Keano? Apa yang bisa kamu harapkan dari hubungan kalian?”
Anjani menyikut temannya agar tidak bicara sembarangan. “Noa, jangan salah paham. Kita Cuma syok dengar cerita kamu. Ya memang Shaga bukan anaknya Om Ghandi justru karena itu kamu harus tetap hati-hati sama dia.”
“Tanpa kamu kasih tahu, aku sudah jaga jarak karena aku malas berurusan sama orang baru. Yang nikah mamaku, tapi aku nggak mau terlibat terlalu dalam dengan keluarga Cakrawangsa. Aku mau melakukan apa yang aku mau tanpa ada yang ikut campur, terutama Shaga,” jelasnya.
“Tapi Shaga ganteng, sih. Laki banget dan nggak lemes kayak Keano. Kayaknya siapa saja pasti kepincut sama dia, takutnya kamu begitu,” gumamnya.
Noa mengibaskan tangannya, lalu mengambil sushi yang nampak lebih menggoda daripada pembahasan mereka saat ini. “Aku mau makan, jangan bahas Shaga lagi.”
“Oke, tapi kamu harus ingat kata-kataku, Noa. Kalau kamu mau jaga jarak dengan Shaga, jangan sampai terlalu mencolok atau buat dia sakit hati. Kalian tinggal di rumah yang sama, aku takut dia malah balas dendam karena sikap kasar kamu,” ucap Anjani.
“Betul. Kamu nggak tahu gimana sikap dan sifat Shaga. Walaupun pendiam, siapa tahu otaknya bekerja dengan baik disaat sakit hati karena perlakuan kamu. Jadi sebaiknya bersikap sewajarnya saja, daripada timbul masalah baru,” Riris menimpali.
Noa menghela napas, dengan mulut penuh dengan makanan. “Kalau dia berani buat masalah, berarti aku punya alasan untuk keluar dari rumah mewah Om Ghandi. Itu hal yang menguntungkan buatku, iya kan?”
“Nggak akan semudah itu. Kamu kayak nggak tahu sifat mama kamu, Noa.”
Riris mengangguk. “Semua ide waras sampai gila kamu, sulit ditembus kalau nyonya besar sudah memberi titah. Pokoknya main aman saja, jangan buat kami punya pekerjaan tambahan.”
“Aku nggak ngerti lagi, kalian terlalu berlebihan. Aku dan Shaga, sama-sama sepakat untuk jaga jarak dan nggak saling ikut campur. Jadi berhenti khawatir yang justru buat aku sakit kepala!”