7. TERLALU BANYAK DRAMA

1790 Words
“Oh God, kenapa sakit perutku nggak hilang-hilang? Rasanya sudah lima kali aku bolak-balik pergi ke kamar mandi dari tadi.” Noa meringis sambil memegang perutnya setelah keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Perlahan-lahan merebahkan tubuhnya yang cukup lemas karena terbangun sejak jam lima pagi. Noa tidak bisa menahan sakit pada perutnya. Awalnya ia kira hanya sakit perut biasa, tapi setelah terjadi lebih dari dua kali dengan jeda waktu begitu dekat, akhirnya sadar jika ia terserang diare. “Sudah minum obat, tapi mulesnya nggak mau hilang. Sekarang aku harus gimana?” Apa yang terjadi kepadanya, penyebabnya langsung tertuju pada makanan yang ia konsumsi tadi malam. Rasa sesal dan kesal memang datang terlambat. Andai ia tidak makan mi buatan Shaga, mungkin saat ini ia masih bisa tidur dengan nyenyak. “Ini gara-gara mi buatan orang itu,” gerutunya. Namun tidak lama, Noa seperti menyadari kesalahannya. “Tapi salahku juga, kenapa aku tambah cabai lagi. Jelas saja aku jadi diare,” sesalnya. Baru saja berbaring dan berniat untuk memejamkan mata sejenak, tiba-tiba perutnya kembali bereaksi. Noa menghela napas kasar dengan raut wajah frustrasi. Dengan keadaan lemas dan terpaksa, gadis itu beranjak dari duduknya untuk kembali masuk ke kamar mandi. “Ya sudah, sekalian mandi. Aku ada janji fitting hari ini, jangan sampai terlambat karena sakit perut sialan ini.” Setelah selesai bersiap-siap, Noa turun untuk bergabung dengan ibu dan ayah tirinya. Tentu saja ada Shaga juga di sana. Ketiganya sudah menyantap sarapan lebih dulu. Sebelumnya Noa sudah memberitahu asisten rumah tangga yang mencari ke kamar, agar tidak menunggunya. Noa harus kembali ke kamar mandi karena sakit perut yang masih belum hilang. “Pagi, Ma, Om,” sapa Noa lemas. “Pagi Sayang.” “Selamat pagi Noa.” Noa mengambil duduk di kursi biasanya. Menatap Shaga sekilas yang nampak baik-baik saja. Hal ini semakin membuat Noa yakin, kalau ia sakit perut karena terlalu banyak memberi cabai, bukan karena ulah laki-laki itu. “Kenapa lama, Noa?” tanya Asmita. “Iya Ma, aku masih ada keperluan,” jawab Noa seadanya. Asmita memperhatikan wajah putrinya. “Kenapa wajah kamu pucat sekali? Apa kurang tidur?” Noa menggeleng. “Mungkin karena capek.” “Ya sudah, sekarang kamu sarapan dulu,” ucap Arghandi. “Ma, jangan larang Noa sarapan. Dia perlu banyak tenaga, jadi kasih kebebasan mau sarapan apa saja,” sambungnya. “Nggak apa-apa kok, Om. Aku sarapan roti saja, lagi nggak nafsu makan.” Noa tidak berbohong. Siapa yang punya selera makan kalau kondisi perut sedang tidak baik-baik saja. “Kamu minum s**u ya, biar lebih bertenaga,” ucap Asmita khawatir. “Iya Ma.” Sementara itu, saat Noa mengalihkan pandangan, ia mendapati Shaga tengah menatapnya. Tetapi laki-laki itu nampak tenang, tidak merasa gugup ketika tertangkap basah. Karena sudah tidak punya tenaga, Noa pun mengabaikan. Membiarkan Shaga menatapnya hingga puas. Siapa yang bisa menolak untuk menatap gadis secantik Noara. “Mama sudah dengar dari Shaga soal semalam. Untung saja kamu nggak kenapa-kenapa. Lain kali, kalau kerja sampai malam, pakai supir saja.” “Om bisa carikan kamu supir, Noa. Sudah sepantasnya kamu kerja diantar supir, bukan sendiri lagi. Apalagi pulang malam atau keluar kota, terlalu berbahaya,” Arghandi menimpali. Noa mengangguk tidak enak, berusaha tersenyum meski sulit. “Maaf kalau buat Mama dan Om Ghandi khawatir. Aku yakin hal seperti semalam nggak akan terjadi lagi.” “Ya sudah, nanti kamu ikut sama Shaga saja sampai ban mobilnya diganti orang bengkel. Boleh kan nak Shaga?” tanya Asmita. Shaga mengangguk pelan. “Tentu saja, Tante.” *** “Pakai seatbelt-nya.” Perintah dari Shaga dituruti begitu saja oleh Noa. Gadis itu sudah duduk di kursi sebelah Shaga dengan wajah semakin pucat. Namun hal ini belum disadari oleh laki-laki itu. “Tumben nggak protes. Biasanya langsung nolak kalau disuruh pergi bareng,” ucap Shaga dengan kondisi mobil sudah bergerak meninggalkan rumah Arghandi. Noa menghela napas panjang dengan punggung bersandar pada kursi. “Aku lagi malas berdebat sama kamu.” “Oh, sering-sering saja begini. Jadi kepalaku nggak pusing dan tekanan darahku nggak naik.” Sepanjang perjalanan, Noa dan Shaga diam tanpa bicara. Suasana begitu hening, hanya terdengar suara mesin mobil yang tengah melaju. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Dan keadaan seperti ini, tentu yang mereka inginkan. Shaga menoleh ke samping saat menyadari Noa memegang perutnya. Melihat wajah gadis itu semakin pucat. Bahkan bulir-bulir keringat memenuhi keningnya. Shaga terkejut sekaligus panik. “Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?” Noa menoleh dengan kedua mata berkaca-kaca. “Perutku sakit sekali,” keluhnya. “Sakit?” Shaga langsung memberhentikan mobilnya agar bisa memastikan keadaan Noa. Meski menyebalkan dan hubungan mereka kurang harmonis, Shaga masih punya hati nurani dikala gadis di sebelahnya menahan sakit. “Sakitnya seperti apa? Kamu perlu perlu obat atau kita ke rumah sakit saja?” “Aku diare dan sudah minum obat. Sekarang sakit lagi, aku nggak kuat,” ucap Noa dengan nada pelan. Tidak hanya perutnya yang sakit, tapi Noa juga merasa mual. “Aku pingin muntah.” “Sebaiknya kita ke rumah sakit saja. Kamu pucat sekali, sepertinya dehidrasi.” Noa tidak menjawab lagi karena sakit serta merasa lemas. Membiarkan Shaga membawanya ke rumah sakit. Ia sudah tidak peduli jika terjadi kehebohan di IGD akibat dirinya yang datang dalam keadaan diare. Yang paling penting adalah segera menyembuhkan sakitnya. Tangan Shaga terulur, menyentuh lengan Noa meski singkat. “Tahan sebentar. Kita cari rumah sakit terdekat,” ucapnya sambil fokus mengemudi. Setelah mendapat penanganan oleh pihak rumah sakit, Noa harus menjalani perawatan demi memulihkan kondisinya. Noa mengalami dehidrasi akibat diare serta mual. Keputusan dokter tidak mampu dibantah karena pada kenyataannya, ia memang sangat lemas dan tidak bertenaga. “Dokter bilang, kalau kondisi kamu sudah pulih, besok juga sudah boleh pulang,” ucap Shaga di kamar rawat yang ditempati Noa. Noa menghela napas dengan wajah mulai terlihat sedikit segar. “Harusnya minum obat saja, kenapa harus di rawat.” “Karena kamu perlu diinfus. Sudahlah, jangan banyak protes, ini juga demi kebaikan kamu. Dan dokter lebih tahu apa yang harus dilakukan.” “Semua jadwal kerjaku jadi berantakan. Mama juga pasti marah besar kalau tahu aku sakit,” gumamnya. Shaga menatap Noa tidak percaya. “Apa mama kamu setega itu? Memang siapa yang mau dalam kondisi seperti ini?” “Kalau aku salah, sakit pun akan tetap kena marah,” ujar Noa sendu. “Kamu tahu kan, aku nggak boleh makan sembarangan. Kalau mama tahu aku makan mi tengah malam dan berujung sakit, habislah aku.” “Harusnya kamu juga sadar diri. Kalau nggak kuat sama makanan pedas, kenapa harus ditambah cabai lagi. Bukan mi yang salah, tapi kamu nggak paham sama diri sendiri.” “Kok kamu tahu aku tambah cabai lagi?” tanya Noa heran. Shaga menghela napas pelan. “Karena aku lihat semuanya.” “Shaga, kamu ngintip?” Saat Noa meninggikan suaranya, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Semua mata tertuju ke arah pintu dan melihat siapa yang datang. Sosok wanita dengan raut wajah tegang, muncul dari balik pintu. “Noara Joy Laurance!” “Mama?” Wajah Noa menegang melihat kemunculan ibunya. Asmita berjalan cepat dan kini berdiri di sisi tempat Noa berbaring. “Kenapa kamu bisa kena diare? Makan apa kamu kemarin?” tanyanya dengan nada tinggi. Noa menggigit bibirnya dengan wajah panik. Pikirannya mendadak kosong karena melihat kehadiran Asmita dalam keadaan emosi. Malu rasanya dimarahi di hadapan Shaga. “Kamu tahu kan akibat dari sakitmu sekarang? Semuanya berantakan, kamu tidak profesional,” bentaknya lagi. “Tapi Noa sakit, Tante. Mereka pasti mengerti kalau situasi seperti ini sulit dihindari,” ucap Shaga. “Tentu saja sakit bisa dihindari kalau makannya tidak sembarangan, Shaga.” “Maaf Ma, aku salah. Aku terlalu ceroboh dan lupa kontrol diri. Aku janji akan lebih hati-hati,” ucap Noa pelan. “Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Makanan apa yang kamu makan?” “Aku …aku makan..” Shaga melirik Noa yang tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Hatinya tergerak, merasa iba pada gadis yang selama ini selalu menyebalkan baginya. “Noa makan mi buatanku, Tante. Tolong jangan salahkan Noa, tapi salahkan aku karena terus memaksa dia untuk makan,” ucap Shaga dengan mata menatap Asmita. Kedua mata Asmita menyipit dengan raut wajah terkejut. “Apa maksud kamu? Kenapa kamu paksa Noa makan mi? Tante melarang dia makan sembarangan yang berpotensi menyebabkan berat badannya naik bahkan sakit. Tapi kenapa kamu paska Noa, Shaga?” “Aku Cuma kasihan sama Noa, Tante. Dia lapar setelah bekerja, tapi Cuma makan satu apel. Dan kebetulan aku masak mi, jadi aku tawari saja,” jawab Shaga dengan raut wajah tenang. Asmita memejamkan mata sejenak, sambil menghela napas pelan. “Noa sudah terbiasa, Shaga. Noa anak Tante dan tentu saja Tante lebih tahu tentang dia. Jadi lain kali jangan seperti ini karena semua jadi repot dan rugi.” “Tapi Tante …” “Iya Ma, aku salah. Harusnya aku nggak tergoda sama makanan yang dibuat Shaga. Apalagi makanan yang nggak ada sehat-sehatnya dan terbukti aku jadi sakit perut,” sela Noa diiringi lirikan singkat ke arah Shaga. Asmita menatap tajam Noa tanpa sempat bertanya tentang kondisinya saat ini. “Mama harap, ini kejadian terakhir. Kalau sampai kamu melanggar aturan, kamu tahu akibatnya.” Noa mengangguk gugup. “Iya Ma, aku pasti ingat.” “Ya sudah, Mama keluar dulu. Mau ngasih kabar Om Ghandi tentang keadaan kamu. Beliau sangat khawatir waktu tahu kamu masuk rumah sakit,” Suasana di dalam kamar menjadi hening setelah kepergian Asmita. Shaga masih berdiri di tempatnya, namun tidak menatap Noa. Sedangkan gadis itu, teridam dan sedang merangkai kata-kata. “Lain kali, nggak perlu ikut campur. Aku nggak butuh pembelaan dari orang lain, termasuk kamu.” Shaga membalik badan, lalu menatap Noa dengan kening mengkerut. “Ikut campur? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sakit karena makan mi buatanku. Lalu aku harus bagaimana?” “Kamu nggak perlu ngomong apa-apa. Aku bisa cari alasan sendiri,” sahut Noa. “Hidup kamu terlalu banyak drama,” sindir Shaga. “Drama?” Noa tidak terima. “Ya, apa lagi kalau bukan drama,” sahut Shaga. Noa tersenyum sinis. “Kamu nggak tahu apa-apa soal hidupku, jadi nggak usah sok bilang drama. Hanya karena aku makan mi buatan kamu, seakan tahu gimana hidupku yang sebenarnya,” balas Noa geram. “Kamu benar. Seharusnya aku tinggalin kamu di sini sendiri. Dengan begitu, aku nggak perlu terlibat sama urusanmu. Panggil saja pacarmu itu untuk mengurusmu, pasti lebih menuyenangkan, kan?” sambungnya. “Ya sudah, pergi saja sekarang!” Shaga pergi meninggalkan Noa seorang diri, dengan rahang nampak begitu tegang. Mungkin yang ia hadapi saat ini, tidaklah seberapa. Tetapi ada banyak hal yang terlintas di pikiran Shaga, semenjak kemunculan Asmita, memanggil putrinya dengan nama lengkapnya. “Sepertinya akan sulit untuk tidak terlibat dengan wanita drama ini,” gerutu Shaga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD