6- Baper

1310 Words
6- Bikin BAPER Saat acara tukar cincin selesai, Azam menggenggam tanganku di hadapan banyak orang. Apaan coba, keringat dingin sampai membasahi tanganku, dan hatiku berdebar tak karuan. Semua mata tertuju pada kami. “Cieee yang nggak sabaran, kangen banget ya kayaknya ehem ehem.” Fadil malah menggoda kami, apaan coba. Aku mendelik judes pada Fadil dan berusaha melepaskan genggaman tangannya. Tapi, Azam malah semakin mengeratkan genggamannya itu. Tanpa memedulikan godaan adik sepupunya yang berteriak heboh menggoda kami. “Kami izin mengobrol di teras,” ujar Azam dengan sopan, ramah dan suara yang terdengar lembut di telingaku. Raut wajahnya begitu tenang menyejukkan, padahal kemarin saat berdua denganku, dia begitu dingin dan datar. Aku tau, dia pasti Cuma pencitraan saja. Setelah pamit dan mengantongi izin, kami pun keluar beriringan. Tangan Azam masih saja betah menggenggam tanganku sampai ke luar. Membuatku panas dingin tak karuan. Berdekatan dengan pria asing super tampan ini sangat aneh bagiku, apalagi kami sama sekali asing. Dia mendorongku pelan, ke arah kursi kayu yang ada di teras, agar aku terduduk Lalu, dia duduk di kursi lainnya yang ada di samping kursi yang aku duduki. Saat ini, dia sudah melepaskan genggaman tangannya. Aku menatapnya judes, meski dalam hati ketar-ketir dan lutut ini terasa lemas. “Dasar sok kuasa!” cibirku ketus, dengan tatapan mata yang tajam. Dia malah tekekeh sambil geleng-geleng kepala. Aku sampai terpana dibuatnya, biasanya kan dia selalu memasang raut judes dan dingin sedingin salju abadi di antartika! Dia menghentikan kekehannya saat netranya bersirobok dengan netraku. Aku yang masih begitu terpana sampai kaget, karena perkataannya sungguh membuatku kesal. “Ck, baru melihat orang ganteng ketawa ya? Sampai keluar air liur gitu!” sinisnya dengan mata mengerling penuh ejekan. Sontak aku gelagapan, dan langsung memalingkan wajahku dengan menahan malu. “Jangan kepedean ya!” ketusku sebal. Dengan sadar, kuusap sudut bibirku, siapa tau beneran ada air liur. Rupanya, dia hanya menggodaku saja. Tidak ada air liur sama sekali! “ Kenapa kamu sampai segitunya ingin menikahiku?” Kutatap dia dengan tatapan sinis mengintimidasi. Dia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, sambil mengembuskan nafas, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku sempat terpana sejenak, saat melihat bulu matanya yang hitam, lebat dan lentik. Aku yang perempuan saja, tidak memiliki bulu mata seindah itu. Ah, aku jadi iri! Raungku dalam hati. “Aku butuh istri,” jawabnya, dia menatapku intens. Membuatku salah tingkah, lalu pura-pura bersin untuk dijadikan alasan memalingkan wajahku ke arah lainnya. “ “Kenapa harus aku? Kamu kan tampan, masa tidak ada Satu pun wanita cantik yang mau sama kamu?” tanyaku heran. “Karena kamu yang bisa, aku yakin itu.” Aku menatapnya tajam, apa maksudnya coba. “Aku yang bisa?” Aku menautkan kedua alisku dengan tatapan penuh keheranan. “Jika sudah saatnya, aku akan bilang padamu. Saat ini aku malas membahasnya, tapi seperti yang aku katakan padamu sewaktu di hotel kemarin malam, aku akan memberimu bayaran untuk pernikahan ini,” jelasnya panjang lebar. Seketika hatiku memanas, sakit rasanya mendengar perkataannya yang seperti sedang merendahkanku itu! “Kamu pikir aku semurah itu?” dengusku, dengan mata melotot. “Kamu yang bilang, lagian wanita mahal tidak akan kerja di klub seperti itu,” Aku menggeram padanya. Plak Kugeplak lengannya sekuat tenaga, karena mengataiku murah. “Hey!” Dia meringis kesakitan, tapi aku tidak peduli. “Daripada kamu menikahi wanita murah sepertiku? Lebih baik gagalkan saja pernikahan konyol ini!” seruku, aku berteriak pelan, takut ada yang mendengar, dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Dia malah santai, melirikku dengan tatapan dingin. Lalu mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut luar biasa. “Aku tidak mengataimu murah, itu pikiranmu sendiri. Lagian, aku sudah bilang pada Paman dan Bibimu, kalau kamu kerja di klub malam, dan aku ingin menolongmu keluar dari lembah hitam itu.” Dia menyeringai, dengan mata menyipit. “Apa! Jadi kamu yang bilang? Apa itu? Lembah hitam! Aku bahkan Cuma menjadi pelayan saja di sana!” Aku mencubit pinggangnya dengan kuat, sampai dia meringis. “Kamu jadi perempuan kok galak banget ya!” desisnya ketus, dengan mata mendelik dan mengusap-usap pinggangnya. Sepertinya kesal padaku. “Aku akan memastikan pernikahan ini gagal!” ujarku menggebu. “Memangnya bisa?” tanyanya meremehkan. “Ya bisa lah!” Aku menyeringai, di otakku sekarang dipenuhi banyak rencana untuk menggagalkan pernikahan konyol ini. “Coba saja kalau bisa,” ujarnya santai. Dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Pandangan matanya lurus ke depan. Aku mencibirnya dengan jengkel. “Aku ingin mengatakan sesuatu, agar kamu tidak syok saat nanti menjadi istriku,” menoleh kepadaku dan menatapku lekat. “Aku tidak peduli, terserah! Lagian belum tentu juga kita akan beneran menikah, dalam beberapa hari ini segala sesuatu bisa saja terjadi.” Aku balas menatapnya, pura-pura kuat. Meski sebenarnya, hati ini sudah kebat-kebit tidak karuan. Apalagi tatapan matanya yang seolah mengandung laser, sungguh aku tak tahan. Aku hendak memalingkan wajahku, tapi tiba-tiba saja dia menyentuh pipiku dengan lembut. Membuat kewarasanku hilang untuk sesaat, saking terpesonanya. “Ada apa?” tanyanya yang terdengar lembut di telingaku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali , dan segera memalingkan wajah sambil menggigit bibir bawahku. Karena malu dengan tingkah konyolku ini. Kenapa aku sering bertingkah konyol saat di hadapannya sih! Rasanya aku jadi kesal pada diriku sendiri. “Kamu pasti baper kan?” Dia menyeringai dengan mata menyipit. “Hemm, ba baper, siapa? Aku? Hahaha!” Aku tertawa untuk menutupi rasa malu ku sebenarnya. “Apanya yang lucu?” tanyanya, aku hanya menggaruk dahi, karena memang benar katanya tidak ada yang lucu. “Dengar, jangan berulah dan mari menikah. Setidaknya kita bisa saling menguntungkan.” Dia berkata dengan serius, tatapan matanya pun serius. Itulah dia, dari pertama bertemu dia selalu serius, datar dan dingin. Tapi hari ini aku melihat sisi lain darinya. Dia lumayan banyak tersenyum dan tertawa tadi. Meski, sekarang sudah berubah ke mode awal, sedingin salju abadi! “Saling menguntungkan apanya?” Aku mengerutkan dahi, apanya yang menguntungkan coba? Yang ada aku rugi dong, aku ini masih muda dan orisinal. Sedangkan dia sudah berusia matang, meskipun gantengnya pake banget! Ditambah, aku sama sekali tidak mengenal dia sama sekali sebelumnya, ini sungguh konyol. “Kamu dapat uang, dapat nafkah dan bisa menyelesaikan kuliahmu dengan sangat baik dan tenang. Tanpa harus memikirkan biaya lagi, aku yang akan menanggung semuanya.” Dia menatap lurus manik mataku. Aku memalingkan wajah, dan memilih menatap lurus ke depan. Sungguh aku tergoda dengan apa yang dia tawarkan, tapi apa aku sama saja dengan menjual diriku padanya? “Kamu sama sekali tidak sedang menjual diri, kamu akan resmi secara hukum dan agama sebagai istriku!” ujarnya serius. Aku menoleh ke arahnya, apa dia akan melakukan itu juga padaku? Pipiku seketika memanas saat tanpa sadar memikirkan yang iya iya. “Jangan ngeres! Tenang saja aku tidak akan melakukan itu padamu, kecuali...” Dia tidak melanjutkan perkataannya, bibirnya menyeringai. Pipiku kembali memanas, aku menangkup kedua pipi ini dengan kedua telapak tanganku, lalu kutepuk-tepuk. Malu rasanya, ternyata dia bisa tau apa yang ada dalam pikiranku. “Si siapa yang ngeres!” ucapku gelagapan. “Ck gak mau mengaku!” cibirnya ketus, aku hanya memanyunkan bibirku. “Mulai hari ini kamu berhenti kerja di klub, aku tidak suka!” lanjutnya ketus. Belum apa-apa dia sudah mengatur hidupku! “Sok mengatur!” desisku kesal. “Itulah aku!” Dia menyeringai. “Menyebalkan!” desisku lagi dengan jengkel. “Memang!” kembali menyeringai. Aku mendelik judes dan jengkel pada pria tampan di hadapanku ini, aku jadi membayangkan apa yang akan terjadi jika kami benar-benar menikah nantinya. “Kamu akan bahagia dan akan sangat mencintaiku setelah menikah nanti!” ujarnya penuh percaya diri, dengan bibir menyeringai dan mata yang menyipit. “Narsis!” Aku pura-pura mau muntah mendengar perkataannya. Tapi, dia sepertinya tidak tersinggung. Dia malah tersenyum tipis, dengan mencondongkan badannya ke arahku, membuatku terkejut luar biasa. Apalagi saat dia sengaja memiringkan kepalanya, dengan satu tangannya yang terulur ke arahku. Tangannya membelai pipiku lembut, otomatis aku memejamkan mata. Dan...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD