7 - Dion Datang, Azam Meradang

1522 Words
7- Dion Datang, Azam Meradang Tangannya benar-benar menyentuh pipiku lembut, lalu setelahnya.... Plak Dia menggeplak dahi ku lumayan kuat, hingga aku memekik heboh. “Aww, apaan sih!” raungku kesal, karena dia seenaknya saja menggeplak dahiku. Kuusap dahiku pelan, sepertinya akan memerah deh soalnya dia menggeplakku dengan cukup keras. Dia tersenyum miring penuh ejekan. “Ck ck, dasar cewek m***m! Kenapa tadi memejamkan mata? Apa kamu berharap dicium?” ujarnya, setengah berbisik. Aku sungguh malu luar biasa mendengar perkataannya itu, sampai-sampai pipiku memanas tak karuan. “Si siapa yang mau kamu cium!” sinisku dengan mata mendelik. Lalu, aku memalingkan wajahku ke arah lainnya. Pipiku rasanya memanas, aku menggigit bibir bawahku saking malunya. Dia malah semakin menggodaku, dengan sengaja turun dari kursinya dan jongkok di lantai tepat di hadapanku. Aku gelagapan dan kembali mengalihkan pandanganku ke arah lainnya, pria ini sungguh keterlaluan membuatku baper, hingga rasanya aku ingin berteriak. “Hey pipimu merah, apa kamu sedang malu?” Dia malah menatapku penuh selidik. Aku refleks memukul bahunya, “ Dasar gak jelas!” Aku berdiri, hendak pergi. Tapi rupanya, dia begitu cepat ikut bangkit dan berdiri tepat di hadapanku. Tubuhnya yang tinggi menjulang, tentu saja menghalangiku. Ah dasar aku ini pendek, eh tidak-tidak! Dia yang terlalu tinggi seperti tiang listrik. Saat aku berdiri, aku hanya sebatas bahunya saja. “Mau kemana?” tanyanya lembut, dia mencengkeram bahu ku lembut. Aku mendongak, hingga wajah kami saling bertatapan. “Ya ampun, dia kenapa bisa setampan itu sih!” jeritku dalam hati, kalau tidak ingat pria ini sudah memaksakan kehendaknya untuk menikahiku, aku pasti sudah klepek-klepek parah. “Ada apa?” tanyanya, dengan senyuman selembut sutra. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. “Ah kamu lucu banget ya, menggemaskan tidak salah aku akan menjadikanmu istriku,” gumamnya yang masih bisa kudengar. Dia bahkan tersenyum sambil mengedipkan satu matanya dengan kerlingan nakal. Lalu, dia pergi masuk ke dalam rumah meninggalkanku sendirian di teras. Aku masih diam mematung, lalu setelahnya kuhirup napasku dalam-dalam dan ku hembuskan dengan cepat. Bahkan, aku menggelengkan kepalaku beberapa kali untuk mengusir wajah tampannya dari dalam pikiranku ini. Aku memilih kembali duduk di kursi, untuk sesaat aku mengingat sesuatu. “Kenapa kalau dipikir-pikir aku seperti yang pernah melihat Azam ya?” Aku terus berpikir, apa dulu pernah bertemu pria itu. Tapi, sama sekali tidak ingat. Aaaah! Aku hanya berteriak dalam hati dan meremas rambutku, sama sekali tidak ingat. “Kalau tidak pernah bertemu, lalu kenapa seperti pernah bertemu ya? Untuk apa juga aku memikirkan hal ini, sama sekali tidak penting!” mengatur nafas dan degup jantung, karena akan bertemu pria itu lagi di dalam nanti. Baru saja aku berdiri, aku mendengar suara deru motor yang aku kenal. Aku tidak jadi masuk ke dalam, memilih menunggu si pengemudi motor. Dia adalah Dion teman dekatku di kampus. Aku tersenyum lebar, saat Dion turun dari motornya dan membuka helm. Dia membalas senyum kepadaku. “Hey kenapa gak ngampus?” tanyanya, sambil menggeplak tanganku, saat sudah ada di hadapanku. Begitulah dia, kami memang akrab. “Lagi males!” jawabku asal. “Aku nggak percaya, kamu tuh mana ada istilah males,” mencebikkan bibir, menarik tanganku dan mengajakku duduk di kursi yang ada di teras. Aku bingung harus menjawab apa, males rasanya kalau harus bilang mau menikah dalam waktu dekat ini. “Ada tamu?” Dion celingukan, memperhatikan empat mobil mewah yang terparkir di halaman. “Iya,” jawabku malas. Dion mengerutkan dahi,” Wah keluargamu punya kenalan orang kaya rupanya,” ujarnya heboh. Aku hanya memutar bola mata malas. “Kamu kenapa? Kenapa mukamu ditekuk gitu?” Dia meneliti wajahku, bahkan menangkup kedua pipiku. Dia memang suka begitu, mungkin karena merasa begitu akrab dan dekat denganku. Bahkan, di kampus kami disangka pasangan kekasih, padahal bukan. Tapi, sekarang semuanya berbeda. Meski, aku tidak menginginkan pernikahan ini, namun tetap saja aku sudah punya calon suami sekarang. Sehingga, tidak boleh terlalu dekat dengan pria, apalagi sampai kontak fisik. Baru saja aku akan menepis tangannya, suara seseorang terdengar menginterupsi. “Apa yang kamu lakukan pada calon istriku!” desisnya tajam. Aku terkesiap, dan mengerjapkan mata beberapa kali. Lalu menatap Dion, dia tampak kebingungan dan balas menatapku dengan tatapan penuh tanya. Tanpa disangka, Azam langsung menghampiriku dan menarik tanganku kuat. Hingga, aku berdiri dan jatuh ke pelukannya. “Hey kenapa memeluknya!” Dion menggeram kesal, matanya melotot kepada Azam. Aku menghembuskan napas, kesal juga pada Azam, yang bertindak seenaknya. “Apa kamu tidak dengar, dia itu calon istriku.” Azam berkata dengan tenang, namun aku bisa melihat ada rasa kesal dari raut wajahnya. “Apa? Jangan suka mengada-ada deh Om!” Dion tertawa garing. Aku berusaha menahan tawaku mendengar perkataan Dion, yang memanggil Azam Om. Usianya memang sudah matang sih, meski ganteng dan awet muda. “Om? Aku bukan Om mu!” ketus Azam, dia sudah kembali ke mode dinginnya lagi. Dion mendelik ke arahku, “Katakan apa benar apa yang Om Ini katakan?” tanyanya. Aku jadi salah tingkah, menoleh ke arah Azam sekilas. Dia pun menoleh ke arahku, sungguh kebetulan. Hingga kami bersitatap. “Be benar,” jawabku berat. Meski sebenarnya sangat malas mengakuinya sih. Tapi, tidak ada pilihan lain, kalau ngeles bisa-bisa manusia antartika itu berubah galak lagi, belum lagi Paman dan Bibiku, mereka pasti murka padaku, huuuh. Kulihat raut wajah Azam berubah cerah, senyuman terbit dari bibirnya yang seksi. Kenapa dia? Sedangkan, Dion terlihat terkejut. Dia menatapku penuh tanda tanya. “Tolong biarkan kami berdua, kami mau mengobrol dulu,” ujarku, kutatap Azam lekat. “Tidak, aku tidak akan membiarkan kalian berduaan.” Azam menatapku tidak suka. Apa dia sedang menunjukkan kepemilikannya? Ah, tidak mungkin kan? Kami bahkan tidak lebih dari orang asing saja, masa dia cemburu sih? Otakku dipenuhi berbagai pertanyaan itu. Tapi, akhirnya, aku tersenyum dalam hati. Membayangkan ada pria tampan bucin padaku, itu suatu anugerah bukan? Hahahah, seketika hatiku jumpalitan sampai rasanya ingin salto bolak balik kalau bisa, sayangnya tidak. “Kenapa malah mesem-mesem?” ujar Dion, sambil menyipitkan mata dengan penuh keheranan. Dion sungguh menyebalkan, kenapa dia merusak khayalanku sih. Aku melotot kepadanya dengan bibir mencebik. “Apaan sih, siapa yang mesem-mesem?” Aku ngeles, tak mau ketahuan sedang baper gara-gara Azam ganteng. “Om, biarkan kami berdua ngomong napa sih!” Dion berkata dengan nada kesal. “Aku bukan Om mu, jangan pernah panggil aku Om!” desis Azam dengan jengkel sepertinya. “Lalu, aku harus memanggilmu apa? Bapak, hahaha.” Dion terus saja berkata yang membuat Azam kesal sepertinya, hingga Azam beberapa kali menghela nafas. Mungkin untuk menahan kesal. Sebenarnya, aku juga bingung harus memanggilnya apa. “Baiklah, aku akan memberi kalian waktu sepuluh menit untuk mengobrol berdua. Tapi, aku akan tetap mengawasi kalian,” lalu, dia sedikit menjauh dari tempat kami berada. “Ini sih sama saja, aku yakin dia bisa mendengar obrolan kita dari jaraknya berada,” ujar Dion dengan kesal. Dia menatap ke arah Azam sekilas. “Katakan kamu bohong kan? Apa dia menekanmu? Aku tahu kamu itu jomblo sejak lama, jadi mana mungkin tiba-tiba saja punya calon suami, mana spek dewa kaya dia lagi?” ujarnya menggebu-gebu. Aku sampai kesal mendengar ocehannya itu, “ Kamu sebenarnya dipihak siapa sih? Kenapa sepertinya malah mengataiku?” ku geplak tangannya cukup kuat, hingga dia meringis. “Heheheh, sory. Tapi aku beneran tidak percaya, kamu punya calon suami, mana dia gantengnya kebangetan, terus kelihatannya bucin sama kamu lagi!” ujarnya lagi dengan terkagum-kagum. Aku hanya membulatkan mulutku mendengar ocehan temanku ini, mana mungkin dia bucin padaku! Dion pasti salah sangka! “Kamu jangan ngaco deh, mana ada seperti itu. Kami hanya....” Aku tidak melanjutkan perkataanku. Hampir saja aku keceplosan. “Hanya apa?” Dion semakin menatapku curiga. “Bu bukan, bukan apa-apa,” bingung pada akhirnya. “Ck mulai berahasia dariku!” desisnya kesal. “Maaf,” tak banyak kata yang bisa aku katakan. Belum saatnya aku mengatakan semuanya. “Waktunya habis!” tiba-tiba saja Azam sudah ada di sampingku. Saking asyiknya mengobrol dengan Dion, aku sampai tidak ingat kalau ada mata yang sedang mengawasi kami. “Belum selesai mengobrolnya Om!” ketus Dion. Tapi, Azam tak menggubris. Dia malah menggenggam tanganku erat dan membawaku agar berdiri di sampingnya. Aku hanya menghembuskan napas kesal pada Azam. “Aku mau bicara sebentar ,” bisikku pada Azam, tepat di dekat telinganya. Azam menatapku dengan tatapan yang entahlah, aku tidak paham. Tapi, dia menarikku menjauh dari Dion. Setelah, menjauh dari Dion, barulah dia mengatakan sesuatu. “Ada apa?” tanyanya datar. Tuh kan, dia itu sungguh tidak bisa ditebak. Kadang datar, dingin, tapi kadang terlihat begitu menggemaskan dan hangat. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, ini penting,” ujarku. Aku menatapnya kesal. Tapi taukah kalian, kalau sebenarnya hati ini berteriak heboh. Mengatakan kalau Azam sangat tampan memesona dan menggemaskan. Aku juga berteriak, kalau Azam sepertinya menyukaiku. Biarlah hati ini halu, meski kenyataannya mana mungkin seperti itu. Semuanya balik lagi pada kondisi awal, dia sedang butuh istri, istri pura-pura katanya. Entah, apa alasan sebenarnya aku belum tau. Tapi suatu hari nanti, dia mungkin akan mengatakannya kepadaku. “Kamu mau bilang apa?” Azam menatapku lekat, tangannya masih menggenggam tanganku erat. “Aku .....” Aku berkata dengan lantang penuh emosi. Azam menatapku sinis dan sepertinya kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD