Paginya
Aku terkejut, karena ternyata Paman, Bibi dan kedua sepupuku itu sedang sibuk beres-beres.
“Cie yang mau jadi pengantin,” goda Esha sepupuku yang masih kelas tiga SMA.
“Apaan sih,” ucapku judes.
“Wah Kak Ayda nggak bilang-bilang punya pacar. Tau-taunya mau nikah aja,” timpal Keyla adik sepupuku yang berusia dua belas tahun.
“Ish, kalian ini apa-apaan sih,” cibirku kesal.
Ini pasti ulah Paman dan Bibi yang udah bercerita tentang lamaran pria bernama Azam itu.
“Mereka akan datang jam sembilan pagi, jadi kita harus cepat beres-beresnya!” suara Bibi terdengar memekik.
“Mau ada tamu rupanya? Siapa?” tanyaku penasaran.
“Dih, kan kakak sendiri yang mau dilamar, masa lupa!” Esha mencebikkan bibirnya.
“Aku? Dilamar?” otak pintarku tiba-tiba saja bleng, setelah beberapa menit aku berpikir barulah ingat kalau Azam bilang akan melamarku hari ini.
Tapi, mungkin dia bohong kan? Masa iya, beneran lamaran? Kenal juga tidak? Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
“Kakak kenapa?” tanya Keyla.
“Tidak ada,” jawabku lemas, aku segera duduk di kursi.
“Kakak sakit? Kok pucat begitu?” tanya Esha, sepertinya dia cemas.
“Ayda Cuma gugup saja, kan mau dilamar,” sahut Pamanku tiba-tiba.
Perkataan Paman memang benar, sepertinya aku gugup. Bagaimana mungkin tidak gugup coba, mendadak aku akan dilamar dan menikah dengan orang asing! Kepalaku, tiba-tiba saja berdenyut nyeri.
“Aku mau minum obat, kepalaku pusing!” dengan cepat, aku masuk ke dalam kamarku kembali. Minum obat sakit kepala, yang bisa diminum sebelum makan. Lalu kubaringkan tubuh ini, dan kembali tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur lagi.
Aku terbangun, karena Bibi yang membangunkanku.
“Mereka sebentar lagi sampai, ayo cepat mandi dan bersiap.” Bibi mengelus kepalaku dengan lembut.
“Bi, aku tidak mau menikah sekarang,” ucapku lirih, kupeluk Bibiku erat.
“Menikah akan lebih baik, daripada melakukan dosa,” ujar Bibiku lembut.
Aku mendongakkan kepalaku, kutatap Bibiku lekat dengan rasa tidak percaya, “ Apa Bibi tidak percaya padaku? Apa Bibi pikir aku melakukan zina?” mataku mulai memanas.
“Tidak, Bibi yakin kamu tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan hal itu. Tapi, Azam adalah pria baik. Dia mau menikahimu, meski tau kamu kerja di klub malam.”
Aku terkejut, karena Bibi tau dimana aku kerja.
“Bibi tau dari mana aku kerja di klub?” tanyaku, dengan sedih dan terkejut.
“Itu tidak penting, Bibi yakin dengan Azam. Dia, pasti bisa membahagiakanmu.” Bibi tersenyum hangat dan berkata dengan penuh keyakinan.
Aku tertawa getir mendengar perkataan Bibiku ini, “Bibi saja belum kenal dia, kenapa bisa bicara begitu.”
Bibi menghela nafas pelan. Lalu pergi meninggalkanku, tanpa berkata-kata lagi.
Dengan terpaksa, aku bersiap-siap.
Aku sungguh terkejut, ketika keluar dari kamar, melihat ruangan yang sudah tertata rapi dan makanan yang sudah begitu banyak di meja.
Kapan Bibi membuatnya? Tidak mungkin membuat jamuan sebanyak ini dalam waktu cepat, meski dengan bantuan Esha dan Keyla sekalipun.
“Ini semua Azam yang memberikan, tadi orang-orang suruhan Azam datang. Mereka mendekorasi rumah kita, dan mengantarkan banyak makanan serta uang untuk keperluan lamaran,” ujar Bibiku, mungkin dia melihat keheranan dari raut wajahku.
Orang itu sungguh niat sekali menikahiku, apa tujuannya sebenarnya sih?
Kami bahkan hanya orang asing yang tidak saling kenal sama sekali, tapi dia begitu ngebet ingin menikahiku? Kenapa? Aku jadi ingin tau alasannya.
Paman, Bibi, kedua adik sepupuku dan aku pun akhirnya duduk di ruangan depan.
Ruangan itu sudah di sulap, menjadi sangat indah untuk acara lamaranku katanya.
Tampak empat orang wanita berseragam pelayan, duduk di teras sambil berbincang-bincang.
Kata Paman dan Bibi, mereka adalah orang-orang suruhannya Azam untuk menyiapkan acara lamaran.
Bremm
Bremm
Hatiku berdebar tak karuan, saat mendengar suara deru mesin mobil dari luar.
Paman, Bibi dan kedua sepupuku kompak keluar. Mereka terdengar heboh, menyambut keluarga Azam.
Sedangkan aku, hanya mengintip dari balik tirai kaca ruangan depan.
Hatiku seketika berdebar kencang, saat melihat pria bernama Azam itu. Dia, begitu tampan, cool dan sungguh memesona.
Kenapa dia memilihku? Dia terlihat sempurna, sedangkan aku bagaikan upik abu. Kok bisa-bisanya memilihku, kayak yang nggak ada wanita lainnya saja.
Aku sungguh ingin bertanya padanya, dari mana dia tau aku dan kenapa memilihku.
Anak rese itu juga ternyata datang, Fadil.
Hatiku semakin berdebar kencang dan jantungku semakin berdegup tak karuan. Dadaku bergemuruh hebat, saat keluarga mereka masuk ke dalam.
Tubuhku rasanya seringan bulu, aku bagaikan melayang-layang saat ini.
Bahkan entah kenapa, tetapi aku tidak sanggup melangkahkan kaki ini.
Aku masih diam mematung di dekat kaca, dibalik tirai.
“Ayda sedang apa kamu di sana? Ayo sini!” terdengar suara bibiku yang berkata dengan lembut.
Aku mengerjapkan mata. Sungguh malu luar biasa, karena ternyata semua mata tertuju kepadaku.
Bahkan, aku melihat pria bernama Azam itu menyipitkan matanya dan menatapku lekat diiringi senyuman tipis yang terlihat sedang mengejekku.
Huuuh, kuhela nafasku dalam-dalam dan kuhembuskan dengan kasar.
Dia sungguh menyebalkan!
Lalu tatapan mataku jatuh pada Fadil, orang itu malah terlihat tertawa tanpa suara. Dia membekap mulut dengan kedua telapak tangan, mungkin agar tawanya tidak kentara. Awas saja dia!
Lalu, kulihat sepasang paruh baya yang garis wajahnya ada sedikit kemiripan dengan Azam. Mereka menatapku dengan datar, ah aku jadi takut.
Apa mereka orang tua Azam? Apa mereka akan menyetujui pernikahan kami? Rasa cemas menusuk-nusuk dadaku.
Aku sungguh terkejut pada pemikiranku sendiri, kenapa aku merasa cemas? Kenapa takut tak direstui? Bukankah itu bagus, nanti aku tidak perlu menikah dengan pria asing itu!
Seketika hatiku berbunga-bunga, memikirkan tidak akan jadi menikah, karena pasti tidak akan ada restu orang tuanya.
Lalu, kulihat sepasang paruh baya lainnya. Nah, kalau yang ini terlihat hangat dan mereka tersenyum kepadaku sambil menganggukkan kepalanya sedikit.
Niatku balas mengangguk pelan sebagai bentuk hormat dan sopan santun, eh malah tanpa sadar aku mengangguk cepat dan kuat-kuat, seperti boneka hiasan dasbor mobil.
Kontan semua orang tergelak, apalagi Fadil dan Kayla, mereka sampai ngakak.
Pipiku rasanya memanas, mungkin kalau aku bercermin sudah semerah tomat matang.
Aku menyengir malu.
Tanpa kuduga, Azam langsung menghampiriku. Dia menggenggam tanganku erat, dan membisikan sesuatu.
“Kenapa? Geer ya? Salah tingkah? Mau cepet-cepet nikah?” diiringi senyuman tipis khasnya, yang semakin membuatnya tampan saja.
Aku mendengus keras, “ Apa maksudmu? Siapa juga yang mau jadi istrimu!” jawabku, berbisik juga.
Dia mencebikkan bibir, lalu menarikku dan membawaku melangkah ke arah ruangan untuk acara lamaran.
Anggota keluargaku, juga keluarga Azam sudah duluan rupanya.
“Cie yang udah nggak sabar!” goda Fadil, yang disahuti semua orang yang ada di ruangan ini.
Aku hanya memutar bola mata malas, dan memilih duduk di samping Esha sepupuku.
Sedangkan Azam duduk di samping Fadil.
Ternyata dugaanku benar, sepasang paruh baya yang tampak datar itu adalah kedua orang tua Azam.
Mereka semua memperkenalkan diri kepada kami.
Dua orang paruh baya yang tadi tersenyum hangat padaku, ternyata orang tua Fadil.
Mereka semua tampak berbincang hangat, sedangkan aku begitu cemas.
“Apa kamu yakin ingin menikahi Ayda putri kami?” tiba-tiba saja Paman bertanya dengan serius, dia menatap Azam lekat.
Aku yang sedari tadi banyak menunduk, sekarang mendongakkan kepalaku. Dan, menatap Azam lekat dengan hati berdebar.
Ah, apa ini? Kenapa hatiku berdebar kencang dan dipenuhi kecemasan? Apa aku sedang berharap untuk menjadi istrinya? Dasar tidak waras! Itu sungguh tidak mungkin.
Azam balas menatapku lekat, dengan tatapan matanya yang tajam. Namun, sesaat kemudian, aku bisa melihat tatapan mata itu melembut, meski sekilas.
Azam beralih menatap pamanku, “ Ia saya yakin untuk menjadi imam bagi Ayda. Saya menyukai Ayda, saya mencintainya dan saya ingin menikahinya.” Aku sampai terbatuk-batuk mendengar ucapan Azam yang menurutku sangat bohong.
“Kamu kenapa Kak?” Esha menepuk-nepuk punggungku. Lalu, mengambilkan air putih dan memberikannya kepadaku.
“Terimakasih,” ucapku. Lalu segera meminumnya sampai habis.
“Apa kamu yakin?” pertanyaan itu, sekarang keluar dari papanya Azam.
Aku menarik nafas dalam dan menahannya beberapa detik.
“Iya, aku yakin Pah. Ayda adalah cinta pertamaku yang hilang, dan kini aku sudah menemukannya.” Azam melirikku sekilas, dengan senyuman yang semanis gula kapas.
Pipiku memanas, sepertinya aku sungguh baper dibuatnya. Meski sadar, semua yang dikatakannya tentu saja bohong.
Aku sendiri, jadi semakin penasaran dengan apa alasannya ingin menjadikanku sebagai istrinya.
Raut wajah papanya Azam sungguh tidak terbaca sama sekali.
Begitu datar tanpa ekspresi.
Membuatku bingung, apakah merestui ataukah tidak.
“Baiklah kalau kamu sudah yakin, Papa akan merestui. Papa hanya berharap, kalian hidup bahagia dan jangan ada lagi kegagalan,” ujarnya santai. Meski masih terlihat datar.
Seketika tubuhku lemas mendengarnya. Aku pikir, tidak akan merestui. Eh ternyata malah merestui hubungan kami.
Tapi, tadi papanya Azam mengatakan sesuatu. Jangan ada kegagalan lagi, apa maksud perkataannya? Apa Azam sebelumnya sudah pernah menikah?
Kepalaku semakin pusing saja rasanya.
Acara lamaran pun dimulai.
Aku sungguh tidak menyangka, karena pada akhirnya pria asing itu menyematkan cincin tunangan di jari manisku.
Apa aku benar-benar akan menikah dengannya?
Tidak, tidak. Aku masih punya waktu untuk membatalkan pernikahan konyol ini.
Aku dan dia sepasang orang asing, lalu tiba-tiba kami akan menikah? Ini tidak sesuai harapanku.
Karena aku masih harus menyelesaikan kuliah, dan aku selalu bermimpi menikah dengan pria yang aku cintai.