8- Bukan Azam

2351 Words
EPISODE 8 “Aku hanya Ingin bilang, kalau aku tidak suka di kekang. Jangan pernah mengganggu privasiku, biarkan aku berteman dan bersama siapa pun aku mau! Jangan sok mengatur hidupku!” Aku berkata dengan lantang penuh emosi, namun pelan. Dia tersenyum cool, sebuah senyuman yang membuatnya makin terlihat tampan saja. “Tentu kamu boleh berhubungan dengan siapa pun, aku tidak masalah. Hanya saja kamu harus mulai bisa memilah-milah mana yang boleh dan mana yang tidak. Kamu tidak boleh terlalu dekat dengan laki-laki, karena pengkhianatan berawal dari sana. Awalnya teman, semakin akrab, dekat, merasa nyaman, hingga akhirnya berubah menjadi rasa yang lain. Aku yakin kamu paham maksudku,” ujarnya lembut, namun penuh penekanan. Membuatku merasa terpojok dan bersalah, dia memang pandai membuat hatiku ketar-ketir nggak karuan! “Pikirkan baik-baik, sayang!” lalu, dia menggenggam tanganku erat. Aku menghela nafas, tak menyangka setiap perbuatan dan perkataannya selalu sukses membuatku baper, kebat-kebit, sekaligus kesal. “Ayo, kita ke dalam!” masih menggenggam tanganku erat, menggiringku masuk ke dalam rumah. Namun saat di ambang pintu, aku menghentikan langkahku. “Ada apa?” tanyanya. “Dion,” jawabku. Masa mau membiarkan dia di teras, kan nggak pantas. “Memangnya dia kenapa?” tanyanya datar, dengan raut wajah polos. Aku sampai geleng-geleng kepala mendengar perkataannya. Dasar tidak punya perasaan, masa gitu aja nggak mengerti sih. Aku benar-benar kesal. “Dion sendirian di teras, aku mau menyuruh dia masuk.” Aku tersenyum semanis gula kapas, meski dalam hati menahan kesal. “Oh, baiklah,” mulai kembali ke mode dinginnya. Jadi heran, orang ini cepat banget berubah mood. Dari mode dingin, ke hangat, sampai ke mode panas rasanya begitu cepat. Aku segera berbalik, hendak menghampiri Dion. Tapi, ternyata tuan sok kuasa si tukang maksa itu malah kembali mencegahku. “Tunggu, biar aku yang menyuruhnya masuk.” Aku menghela napas kesal. Dia kenapa sih, rasanya kok posesif banget, tidak mungkin kan kalau dia beneran bucin padaku! “Kamu ini kenapa sih Om Azam, ini kan rumahku. Maka, akulah yang lebih pantas mempersilahkannya masuk!” ketusku, sambil meremas tangannya yang sedang menggenggam tanganku. “Om? Kamu manggil aku Om?” tanyanya dengan nada tidak suka, dia menatapku tajam dan dingin. Nah kalau udah mode dingin dan galak kayak gini, nyaliku jadi ciut. “Lalu, aku harus manggil kamu apa dong?” Aku menjawab dengan bertanya balik, dengan mata yang menatapnya sekilas. Aku masih belum kuat bertatapan dengan pria tampan ini lama-lama. “Apa saja, tapi jangan Om. Sebentar lagi, kamu akan menjadi istriku.” Dia masih berada dalam mode dingin. Aku coba berpikir keras, karena bingung. “Baik, mulai saat ini kamu harus mulai memikirkan nama panggilan untukku. Tapi ingat, jangan manggil aku Om!” ujarnya penuh penekanan dengan mata yang menatapku penuh intimidasi. Aku hanya berusaha menahan kesal mendengar perkataannya itu. “Hemm, apa kamu mulai menyukaiku?” Azam menatapku dengan mata berkilauan penuh bintang. Dia kenapa? Aku benar-benar bingung dengan sikapnya. Sungguh, aku takut salah sangka. “Apa maksudmu?” tanyaku penuh keheranan. Dia tidak menjawab, tapi matanya menatap ke arah tanganku yang sedang meremas tangannya kuat. Aku langsung melepaskan tanganku, malu rasanya. “Calon bucin!” bisiknya tepat di telingaku, membuatku merasakan getaran aneh. Aku merinding! “Siapa yang calon bucin!” ketusku. “Kamu,” jawabnya tanpa beban. “Mungkin kamu yang akan bucin padaku!” balasku dengan menyeringai penuh ejekan. “Kalau itu sudah!” jawabnya santai. Aku langsung membulatkan mataku, aku pasti salah dengar! Jeritku dalam hati. “Ka kamu bilang apa barusan?” tanyaku dengan hati berdebar, sekedar ingin memastikan pendengaranku. Dia mengedikan bahu, lalu pergi meninggalkan aku yang seperti linglung akibat perkataannya itu. Hingga, suara Azam yang mempersilahkan Dion masuk menyadarkanku. “Masuklah!” ujar Azam dingin. Aku segera menghampiri mereka. “Dion, masuk yuk!” ucapku dengan seulas senyuman. “Hmm!” terdengar deheman keras seseorang, dan itu adalah suara Azam. Aku melihat ke arahnya. Entah kenapa, tapi raut wajahnya tampak muram. Aku jadi heran. Tetapi, aku tidak memedulikannya. Dengan cepat aku mengajak Dion ke dalam. Dion memang sudah akrab dengan keluargaku. Paman dan Bibi menyambutnya dengan senang hati. Dion diperkenalkan dengan keluarga Azam. Dion memang supel, dia langsung berbaur dan akrab dengan keluarga Azam, termasuk Fadil. Kulihat Azam baru masuk ke rumah setelah sepuluh menitan aku masuk. Raut wajahnya terlihat muram. Dia yang tadi sebelum kedatangan Dion tampak lebih hangat, saat ini malah terlihat lebih pendiam dan hanya sesekali menyahuti jika ada yang bertanya padanya. Selebihnya, dia hanya diam. Melihat hal itu hatiku sedikit terusik dan merasa tidak nyaman. Setelah makan bersama, kami mengobrol lagi . Dion mengajakku mendiskusikan sesuatu terkait materi pelajaran di kampus. Setelah izin kepada semua orang, kami pun pergi ke teras. Dan membahasnya di sana. Hanya kami berdua, aku dan Dion. “Kamu membuatku patah hati, tega sekali.” Canda Dion, namun dengan nada bicara serius. Membuat hatiku sedikit terusik. Aku hanya membalasnya dengan decakan. Dion memang suka bercanda. Kami pun mengobrol, sambil tertawa sesekali, jika ada hal yang lucu. “Itu!” Dion menunjuk ke belakangku dengan lirikkan ekor matanya. “Apa?” awalnya aku tidak paham maksud Dion. “Ck, dasar lemot!” Dion menangkup kedua pipiku dan mengarahkannya ke belakang. Aku sungguh terkejut, ternyata ada Azam di belakangku dengan tatapan dinginnya. Aku menatapnya dengan salah tingkah, dan hanya merutuki kelakuan Dion yang menangkup kedua pipiku tadi. Anehnya, Azam tetap diam tak bersuara. Dia menatapku, lalu Dion. Setelahnya, dia masuk kembali ke dalam. Tidak lama kemudian, mereka semua pamit pulang. Apa ini ada hubungannya dengan apa yang Dion lakukan padaku tadi? Kenapa hatiku tiba-tiba saja merasa cemas ya? Apa aku sedang takut pernikahan ini gagal? Ah tidak-tidak, seharusnya aku senang. Bukankah, ini yang aku inginkan? Tidak jadi menikah dengan Azam! Tapi, tetap saja hatiku sedih, apalagi saat tiba-tiba teringat tatapan dingin dan muram Azam saat pulang tadi. Malamnya Sekitar jam delapan malam, terdengar suara deru mesin mobil. Aku yang sedang rebahan di dalam kamar, langsung bangkit dengan hati penuh harap kalau Azam yang datang ‘Aku kenapa sih!” kupukul-pukul kepalaku kuat, untuk menghilangkan nama Azam yang selalu saja mengusik pikiranku. Aku memilih diam di kamar, dan menunggu Bibi atau siapa pun di rumah ini yang memberitahuku tentang kedatangannya. Hatiku sudah berdebar tak karuan. “Ayda! Jangan baper nanti kamu sakit hati!” pekikku dalam hati. Tok tok tok, “Kak Ayda ada Kak Fadil!” berteriak heboh. Terdengar suara pintu kamarku diketuk, diiringi suara cempreng Keyla. “Dasar bocah!” gerutuku. Jujur saja, aku sangat kecewa, karena yang datang ternyata bukan Azam. Dengan malas, aku melangkahkan kaki ku ke arah pintu kamar dan memutar knopnya. Ceklek, pintu terbuka lebar. Ternyata, Keyla sudah tidak ada di depan pintu kamarku. Aku langsung menuju ke ruangan dimana Fadil berada. Saat sampai di ruang keluarga yang merangkap ruang tamu itu, tampak Fadil sedang berbincang dengan paman dan Bibiku. “Hai!” sapaku malas, lalu duduk di samping Fadil. “Hai Kakak ipar,” sahut Fadil dengan senyuman cerahnya. “Kok kesini malam-malam, ada apa?” tanyaku heran, yang langsung dihadiahi pelototan oleh Paman dan Bibi. ‘Dasar tidak sopan!’, itulah kira-kira arti tatapan mereka padaku. Aku hanya menyengir sambil memutar bola mata malas, bingung juga dimana letak kesalahanku? “Maafkan Ayda, dia anaknya memang terkadang suka ceplas-ceplos,” ujar Bibiku dengan raut merasa bersalah. Aku hanya berdecak menanggapi perkataan Bibi yang kurasa berlebihan. “Tidak apa Bi, saya tau Kak Ayda memang terkadang begitu,” jawab Fadil dengan tawa kecil yang kurasa mengejekku. Aku menatap Fadil kesal. “Ini, aku mau menjemputmu Kak,” ujar Fadil santai, matanya menatapku sekilas. Kenapa aku merasa ada raut kesal dari tatapan matanya padaku ya? Memangnya aku punya salah apa padanya? Bukankah dia dan Kakak sepupunya itu yang selalu membuatku jengkel! Kuhembuskan napas cepat. “Menjemputku? Mau apa?” tanyaku, malas sebenarnya untuk pergi dengannya. “Kak Azam yang memintaku?” jawabnya. “Kenapa bukan dia yang menjemputku?” tanyaku, rasanya aku ingin memukul mulutku sendiri, kok bisa-bisanya aku bertanya seperti itu sih! Aku hanya merutuki diri sendiri dalam hati, apalagi saat melihat tatapan mengejek Fadil, yang seolah sedang mengatakan padaku ‘ kenapa ingin dijemput Kak Azam? Kangen? Mulai jatuh cinta? Apa kubilang, Kakak ipar tidak akan mampu menolak Kak Azam!’. Rasanya sebal melihat mimik wajah menyebalkan Fadil saat ini. “Aku hanya bertanya saja, tidak ada yang spesial,” lanjutku ketus, untuk menutupi kegugupanku sebenarnya. Aku takut, Fadil benar-benar berpikir kalau aku menyukai Azam. “Sebenarnya tidak ada yang salah, kamu ingin dijemput Azam, kamu pasti selalu merindukan dia kan?” Paman tersenyum menggodaku. “Eh, tidak begitu Paman!” sahutku cepat, tak mau semua orang berpikiran kalau aku bucin pada Azam. Karena pada kenyataannya, pernikahan ini adalah paksaan. “Ya sudah, kamu bersiaplah cepat biar tidak kemalaman.” Bibi menginterupsi. Dengan malas, aku segera masuk ke dalam kamarku kembali dan mulai mengganti pakaian. Aku memakai longdres warna dusty pink, dengan lengan tiga perempat dan belahan d**a bentuk v, namun tidak terlalu rendah. Model bajunya, mengetat pada bagian atas, dan sedikit mengembang pada bagian bawah. Untuk rambut, aku memang tidak pernah mengurainya selama ini. Aku selalu mengikatnya, apa itu kuncir kuda, ataupun kuncir satu di belakang. Untuk kali ini, aku pun mengikatnya kuncir satu rendah di belakang, dengan memakai ikat rambut berhiaskan mutiara imitasi. Ya Cuma ikat rambut, harga lima ribuan yang aku beli di pinggir jalan heheh. Polesan make up minimalis, dengan tambahan liptin pink muda kesukaanku. Aku memang hanya menyukai liptin atau lipstik warna pink muda, pink pucat dan nude. Tak lupa kubawa tas selempang kecil motif croco warna putih kesukaanku. Meski isinya Cuma, bedak padat dan liptin sih. Karena tas yang berisi dompet dan Hp ku masih ada di klub. Sedangkan hari ini, aku tidak pergi ke klub, karena malas. Mungkin efek dari lamaran tadi siang. Tapi besok malam, aku akan ke klub untuk kembali bekerja. “Yuk!” ajakku pada Fadil setelah sampai di ruangan dimana semua berkumpul. Kecuali Esha dan Keyla tentunya. Esha sedang mengerjakan PR di kamarnya, sedangkan Keyla memang anak itu tidak pernah tidur lebih dari jam delapan. Dia memang tukang tidur, asal nempel di bantal udah langsung nyenyak aja. Kalau kata orang Bandung mah pelor, nempel langsung molor. “Kamu cantik banget malam ini,” ujar Bibiku dengan tatapan terpana. “Kok Bibi baru nyadar sih aku cantik, kemana aja,” ujarku pura-pura sedih. “Walah dasar ya kamu!” Bibi mendelik judes, tapi setelahnya dia tertawa. Karena tau, aku sedang bercanda. Begitu pun Paman dan Fadil, mereka ikut tertawa. Setelah pamit, aku dan Fadil pun pergi. “Kita mau kemana?” tanyaku pada Fadil yang sedang fokus nyetir. “Menemui Kak Azam,” jawabnya tanpa menoleh. “Ish, iya aku tau. Maksudku Azam menunggu kita dimana?” tanyaku malas. “Dia tidak sedang menungguku, dia sedang menunggumu,” sahutnya cepat. Ingin rasanya aku berteriak, jengkel kepada Fadil rasanya. “Hmm,” Aku berdehem keras. “Dia menungguku dimana?” tanyaku kembali, berusaha santai dan menyembunyikan rasa kesalku kepada Fadil. Aku bahkan memasang senyuman manis, semanis madu. Meski sebenarnya masih berusaha menahan jengkel kepada Fadil. “Kak Azam menunggumu di apartemennya,” jawaban Fadil membuatku terkejut. “Ada siapa saja?” tanyaku cemas, cemas kalau hanya berduaan dengannya. “Tidak ada, hanya Kak Azam seorang dan nanti jadi berdua dengan Kakak Ipar,” jawabnya. Aku diam, tapi jujur hatiku cemas, harus berduaan dengan pria itu, takut dia m***m. “Tenang, Kak Azam bukan tipe pria nakal. Dia tipe setia dan penuh cinta.” Fadil melirikku sekilas, lalu fokus kembali ke depan. “Tetap saja, dia pria.” Sahutku, yang hanya gumaman saja. “Kak!” Fadil memanggilku pelan. “Hmm, apa?” sahutku cepat, tanpa menoleh padanya. Aku hanya fokus melihat ke luar jendela mobil. “Jangan buat Kak Azam patah hati untuk kedua kalinya,” berkata dengan serius. Aku menoleh ke arah Fadil. “ Apa maksudmu?” Aku tidak mengerti maksudnya. “Pikirkanlah,” jawab Fadil datar, sungguh jawaban yang tidak memuaskanku. “Apa ini alasanmu terlihat dingin, karena marah padaku?” mulutku rasanya gatal ingin bertanya. Fadil yang selengehan, seolah berubah menjadi dingin. Sepertinya, dia sedang marah kepadaku. Karena merasa, aku membuat kakak sepupunya patah hati. Ah dia sungguh mengada-ada. Mana mungkin, aku bisa membuat tuan sok kuasa itu patah hati! “Tentu saja jawabannya iya, aku kesal padamu karena begitu dekat dengan Dion. Padahal calon suamimu, ada di depan matamu!” ketusnya dengan mata melirik kesal padaku. “Dia teman baikku sejak lama, lagian Azam...,” Aku tidak melanjutkan perkataanku. Hampir saja aku keceplosan, mengatakan kalau Azam memaksaku menikah. Tapi, aku kok mau ya? Ah heran, apa karena dia tampan dan kaya? Tapi rasanya bukan karena itu. Aku menerimanya, karena tidak mau membuat Paman dan Bibiku kecewa. Apalagi, mereka terlihat begitu percaya kepada Azam, dan terlihat begitu menyukainya. Azam memang hebat, dia mampu berkamuflase dengan baik. Mampu bersikap dingin sampai menggemaskan! Setelahnya, kami tidak berbicara lagi. Hingga, Fadil menghentikan mobilnya di area parkir sebuah apartemen. “Wow!” pekikku dalam hati. Aku sungguh terpana, bisa berada di apartemen mewah ini. Jangankan apartemen mewah apartemen biasa -biasa saja, aku belum pernah menginjakkan kaki. “Ayo!” ajak Fadil. Aku mengikutinya dari belakang, langkah Fadil sungguh lebar-lebar membuatku kesulitan untuk menyeimbangi jalannya. Fadil menoleh ke arahku, yang masih tertinggal jauh olehnya. “Kak, lama banget!” Dia berdecak. “Bukan aku yang lama, kamu yang terlalu cepat jalannya.” Aku mendelik kesal, dengan bibir mengatup rapat, cemberut. ‘Ah, banyak ngeles.” Fadil memegang pergelangan tanganku, dan membawaku masuk ke dalam lift. Kami naik ke lantai paling atas, yang biasa orang sebut penthouse. “Sudah sampai!” ujar Fadil, dia menoleh kepadaku. Aku tak menjawabnya, saat ini hatiku berdebar keras. “Aku kenapa?” beberapa kali aku menghembuskan napas gusar. “Kak temui sendiri ya, aku mau pulang dulu. Sudah ngantuk,” ujar Fadil. Dia langsung pergi tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan hati berdebar keras. Aku bahkan merasa kaku, tanganku tak ada bergerak untuk sekedar menekan bel pintu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam. Ceklek Seketika otakku bleng, saat melihat siapa yang berdiri di hadapanku. Keringat dingin sudah meluncur dari sekujur tubuhku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD