Tok tok tok
Terdengar suara pintu kamarku diketuk.
Aku tau, itu pasti paman. Aku sengaja diam dan tidak bersuara, aku malas jika harus diinterogasi saat ini.
Karena, aku akan bingung harus menjawab apa.
“Ayda! Paman tau kamu belum tidur! Buka pintunya, paman menunggumu di depan!” ujar pamanku, iih kenapa aku harus mengalami hal seperti ini sih.
Ku dengar suara langkah kaki paman yang meninggalkan depan kamarku.
Meski malas, aku tetap melangkahkan kaki ku ini keluar dari kamar.
Aku menuju ke depan, sebuah ruangan keluarga yang merangkap ruang tamu.
Tampak paman sedang duduk, di sampingnya ternyata ada bibi juga.
Langkah kaki ku terhenti, aku berpikir keras. Kira-kira jawaban apa yang harus ku berikan pada paman dan bibi.
Mereka berdua adalah orang yang berjasa dalam hidupku, setelah aku kehilangan kedua orang tuaku.
Mereka yang sudah mengurusku sejak kecil.
“Ayda kemarilah!” pekik Paman dengan suara yang agak keras, mungkin kesal padaku.
Karena, aku tiba-tiba akan dilamar besok. Ah andai mereka tau, kalau aku juga sedang kebingungan saat ini.
Aku melangkahkan kaki ini menuju ke dekat mereka. Lalu duduk di seberang tempat mereka duduk.
“Apa benar besok kamu akan dilamar?” tanya bibi dengan penuh keheranan dan sepertinya tidak percaya.
Aku hanya garuk-garuk kepala yang tidak gatal, karena bingung.
“Aduh udah gadis masih aja kamu kutuan, makanya keramas yang rajin!” lanjut Bibiku.
Aku mendengus mendengar perkataannya, “Aku nggak kutuan Bi!” kesalku, sambil mengerucutkan bibir.
“Lalu kenapa kamu garuk-garuk kepala begitu?” tanya Bibi heran sepertinya.
Aku menatapnya malas, “ Aku bingung dengan pertanyaan Bibi,” jawabku jujur.
“Loh kok bingung, seharusnya kamu kan yang paling tau.” Bibi melotot padaku.
Aku makin bingung harus menjawab apa.
“Bukankah besok kamu akan dilamar?” nah kalau sekarang Paman yang bertanya.
“Nggak, orang itu ngadi-ngadi!” jawabku cepat.
“Apa!” Paman dan Bibi kompak berteriak heboh.
“Ish, segitunya ya! Pake teriak segala,” ujarku malas.
“Kamu jangan bercanda! Ini masalah lamaran, lalu pernikahan. Jadi bukan main-main!” ucap Pamanku dengan nada jengkel sepertinya.
“Tapi aku serius Paman, aku sama sekali tidak kenal dengan orang yang namanya Azam itu!” jawabku frustrasi, saking frustrasinya aku sampai menjambakki rambut boneka barbie yang tergeletak di sampingku.
“Jangan kamu rusak rambut boneka itu, nanti Nena bisa marah!” ujar Bibiku, sambil menghampiriku dan merebut boneka barbie itu dari tanganku.
Aku hanya mencebikkan bibir.
Nena adalah anak tetangga kami, dia sering main ke rumah ini. Usianya baru lima tahun.
“Kalau kamu tidak kenal, mana mungkin kamu tau namanya Azam!” ketus Pamanku.
“Iya, kan dia yang memperkenalkan diri,” jawabku jujur.
“Tuh kan itu artinya kamu kenal! Ayo katakan kenal dimana awalnya? Apa di kampus? Terus kenapa kamu nggak mau mengakui dia calon suamimu, apa kalian sedang marahan? “ Bibi bertanya dengan nyerocos, membuat kepalaku pusing saja.
“Bi, aku nggak kenal sama dia. Dia tiba-tiba saja menculikku, dan mengajakku menikah!” jawabku jujur, karena memang itu yang terjadi.
Kulihat Paman dan Bibiku saling tatap, sesaat kemudian mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Membuatku jadi bingung dengan tingkah mereka, udah pada tua juga! Astagfirullah, aku langsung istigfar karena sudah mengatai Paman dan Bibiku sendiri.
“Kamu itu terlalu sering membaca n****+ online, jadinya ngehalu kan? Mana ada orang menculik untuk dijadikan istri, terus kenapa juga harus kamu, Wanita yang jauh lebih cantik dari kamu itu segudang!” ujar Bibiku, dengan masih diiringi tawanya.
“Enak banget ya ngatain orang!” cibirku kesal.
“Bwahahahha!” Paman dan Bibi sepertinya sulit untuk menghentikan tawa mereka.
“Iiih kalian ini, terus aja ngetawain aku, teroos terooos!” ucapku jengkel.
“Habis kamu ini lucu ya, coba cari alesan lainnya. Jangan pake alesan diculik segala, hahahah,” lagi-lagi Bibiku tertawa.
“Udah ah aku ngantuk mau tidur!” raungku jengkel, sambil berdiri hendak meninggalkan mereka yang asyik menertawakan alasanku tadi.
“Issh ponakan Bibi pundungan banget sih.” Bibi langsung menghampiriku, lalu menggamit tanganku dan membawaku kembali duduk.
Tapi, aku bisa melihat bibirnya yang masih menahan tawa. Membuatku kesal saja!
“Beri kami alasan yang masuk akal,” ujar Pamanku setelah berhasil menghentikan tawanya.
“Alasan apa, karena itu memang kenyataannya.” Aku menjawab dengan bingung, tidak tau harus berkata apa.
“Ck ck, sudah paman lama-lama bisa jengkel mendengar jawabanmu itu. Tadi, Paman sempat mengobrol dengan Fadil sebentar, katanya kamu dengan Azam kakak sepupunya itu sudah sebulan kenal. Dan besok, Azam akan datang kemari untuk melamarmu, lalu segera menikah sebelum minggu ini.” Paman berkata dengan serius.
Aku sampai melotot mendengar apa yang Paman katakan, dasar si Fadil kutu kupret! Dia seenaknya saja mengarang cerita, harus aku beri pelajaran tuh anak. Tapi, pelajaran apa ya? Hemm, matematika aja kali, biar dia pusing hi hi hi.
Aku jadi cekikikan menertawakan apa yang ada dalam pikiranku ini, ah sungguh konyol!
“Kamu waras kan?” tiba-tiba saja, Bibi memegang dahi ku.
“Apaan sih Bi,” jawabku malas.
“Itu kenapa tiba-tiba saja kamu cekikikan?” Bibi menatapku cemas sepertinya.
“Nggak ada apa-apa tuh!” jawabku malas, tidak mungkin kan aku mengatakan pikiran konyolku itu.
“Jadi beneran besok kamu mau dilamar?” kali ini paman bertanya dengan nada tegas.
Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak tau!” jawabku jujur.
Kulihat Paman dan Bibi mendengus kesal.
“Kalau begitu ayo kita tanyakan langsung,” ujar Paman, dia menatapku lekat.
“Tanya sama siapa?” tanyaku, aku juga sangat bingung saat ini.
“Tanya sama calon suamimu lah Azam!” jawab Bibi dengan nada jengkel.
“Hahahah,” kali ini aku yang tertawa.
“Kamu kenapa tertawa?” tanya Paman dan Bibi kompak.
“Merasa lucu aja, selama ini punya pacar pun tidak. Tapi, sekarang tiba-tiba saja aku punya calon suami. Bukankah ini sangat lucu?” Aku kembali tertawa renyah, hingga mataku berderai.
“Aku bahkan masih kuliah saat ini, hahahah,” lagi—lagi aku tertawa.
Paman dan Bibi tampak diam membeku.
“Kamu jujur? Pria itu menculikmu dan memaksamu menikah dengannya?” tanya Bibiku lirih.
Aku berhenti tertawa, kuseka air mata yang membasahi pipi akibat terlalu banyak tertawa.
“Iya, seperti itulah yang terjadi sebenarnya.” Aku senang, karena sepertinya Paman dan Bibi mulai menyadari sesuatu. Kalau aku tidak berbohong, ataupun sedang bercanda.
Mereka salin tatap, sesaat kemudian kembali tertawa.
“Apa yang kalian tertawakan?” tanyaku heran.
“Kamu masih saja mengelak, mana ada pengusaha muda dan kaya mau menculik kamu hanya untuk dijadikan istri. Apa dia kurang kerjaan? Lagian kalau Azam mau, wanita mana pun akan bertekuk lutut padanya.” Bibi berkata dengan berapi-api, seperti yang sudah kenal sama Azam saja.
Aku mendengus kesal pada mereka berdua, ternyata mereka masih menganggapku berbohong, dan malah lebih mempercayai pria itu. Sungguh menyebalkan!
“Ya sudah daripada pusing, ini kamu telepon saja Azam sana!” ujar Bibiku serius.
“Hp ku ketinggalan di tempat kerja,” jawabku jujur.
“Kok bisa ketinggalan?” Paman bertanya dengan heran.
“Aku udah bilang, kalu aku diculik waktu di tempat kerja. Ya, jadi tas berikut isinya ketinggalan,” jawabku berapi-api. Jengkel saja, karena Paman dan Bibi tetap tidak mempercayai aku
“Ya sudah, alesan kamu itu terus saja itu. Diculik! Bwahahahah.” Bibi kembali tertawa, aku hanya memutar bola mataku malas.
“Ini pake Hp Paman.” Paman menyodorkan Hp nya padaku.
“Emang ada nomornya?” tanyaku dengan nada mengejek, sengaja sih ingin mengejek pamanku heheh. Gantian dong, dari tadi mereka terus saja menertawakanku, karena menganggap aku halu.
“Ya ada lah, kan tadi Fadil udah ngasih nomornya sama Paman.” Paman rupanya selangkah lebih maju, dan itu lagi-lagi karena ulah si Fadil! Bener-bener tuh anak minta diberi pelajaran!
“Kalau begitu, Paman aja yang telepon.” Aku malas saja, jika harus berbicara dengan orang itu.
“Kok begitu, ya kamu lah.” Paman sudah memberikan tatapan mengintimidasinya padaku, kalau sudah begitu mau tidak mau ya aku harus menghubunginya.
“Baik,” akhirnya, aku menerima Hp paman dan akan mulai menghubungi nomor pria itu.
“ Siapa namanya di kontak Paman?” tanyaku, karena saat aku cari nama Azam tidak ada.
“Menantu pertama,” jawab Paman santai.
“Apa!” pekikku terkejut.
“Iya, menantu pertama. Bukankah memang, dia akan menjadi menantu pertama di rumah ini?” jawab Pamanku santai seperti di pantai.
“Oh ya, hidup kan sepikernya,” lanjut Pamanku itu.
Tanpa berkata-kata lagi, aku segera mencari nama kontak itu. Benar saja ada, dengan malas aku mulai menekan nomornya.
Dalam panggilan pertama langsung tersambung, cepat sekali. Apa orang itu kurang kerjaan, ini kan sudah malam. Seharusnya dia sudah tidur, dan tidak usah menerima panggilan ini. Jadi, aku bisa bebas dari tugas bertanya padanya!
“Halo, Assalamualaikum. Ini dengan Azam, ini nomor Pamannya Ayda ya?” aku sampai membulatkan mulut, tak percaya saja, pria datar dan dingin itu bisa bicara dengan lembut dan begitu sopannya.
Ah, dia pasti sedang berakting!
“Hemm.” Aku berdehem cukup keras, hingga sedikit terbatuk-batuk. Karena terlalu keras berdehem.
“Kamu ini ada-ada saja,” cibir Bibi ku sambil geleng-geleng kepala. Aku hanya menyengir saja.
“Ini kamu Ayda, sayang!” rasanya aku ingin pingsan saja mendengar suara pria datar itu menggombal.
Paman dan Bibi terlihat mengulum senyum, mendengar perkataan Azam.
“Iya ini aku, apa maksudnya adik sepupumu itu bilang kalau besok kamu mau melamarku?” Aku berkata dengan nada ketus dan dingin.
Paman dan Bibi sepertinya syok mendengar nada bicaraku. Mereka sampai melayangkan tatapan horor padaku.
Aku tak peduli, supaya rencana pernikahan ini gagal!
“Kamu masih marah padaku sayang, maafkan aku ya. Iya, besok keluargaku akan datang melamarmu. Tunggu aku ya sayang, aku mencintaimu.” Aku sampai kejang-kejang mendengar gombalannya.
Dia sungguh pandai berakting, aaah! Ingin rasanya, aku berteriak sekencang mungkin.
“Kamu kenapa kejang-kejang begitu? Pasti senang ya digombalin?” tanya bibiku dengan menahan tawanya.
“Bu bukan begitu Bi,” aduh aku jadi malu kan.
Ini kali pertamanya ada laki-laki yang menggombali aku, tapi sayangnya dari pria yang sama sekali tidak aku kenal dan tidak aku cintai.
“Sayang kamu kenapa?” terdengar nada khawatir dari seberang sana, aku sampai lupa kalu telepon masih tersambung.
“Nggak apa-apa!” ketusku.
“Siapa bilang aku mau dilamar kamu, apalagi dinikahi!” jawabku masih ketus dan judes.
“Tapi sayang kita harus menikah secepatnya, apalagi kita sudah berduaan di hotel.” Aku tak percaya, dia mengatakan hal ini.
Paman dan Bibi tampak menatapku dengan tatapan kecewa dan marah sepertinya.
“Ini tidak seperti yang kalian bayangkan, kami memang di hotel berdua. Tapi, kami tidak melakukan apa pun,” ujarku panik.
Paman merebut Hp nya, “ Datanglah besok, kami akan menunggumu beserta keluarga,” ujar Paman.
Lalu Paman berbicara dengan Azam si pria pemaksa dan sok kuasa itu, tapi aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Karena, paman pergi ke kamarnya, dan bicara di sana.
“Bi, aku...,” ujarku pelan.
Tapi, Bibi menyela perkataanku.
“Tidurlah sudah malam, kamu sudah dewasa sekarang. Sebentar lagi, kamu akan menikah. Jadilah istri yang baik dan bisa menjaga kehormatan suamimu.” Bibi mengelus kepalaku dengan lembut, dan mengecup puncak kepalaku.
Lalu dia pergi, meninggalkanku sendirian di sini.
Aku sadar, Paman dan Bibi sepertinya kecewa mendengar aku ke hotel. Apalagi, kalau mereka tau, aku kerja di klub malam. Tempat, dimana banyak orang dugem dan minum-minuman haram.
Aaah, mereka pasti akan semakin kecewa padaku. Selama ini mereka taunya, aku bekerja di kafe. Maafkan aku, Paman dan Bibi.
Aku pun segera masuk ke dalam kamarku.
Kubaringkan tubuh ini di atas tempat tidur, hingga aku mengantuk dan akhirnya tidak sanggup lagi menahan gelayut manja sang kantuk.