Bullying

1648 Words
Terpaksalah kami berlari keliling lapangan, betapa malunya dilihatin semua orang yang ada disini. Pagi-pagi sudah berlari mengelilingi lapangan. Dimana keringat sudah mulai bercucuran. Tidak indah sama sekali, pagi-pagi baju sudah basah kuyup oleh keringat. Inilah satu yang paling tidak sukai dengan namanya OSPEK ataupun MOS, dimana junior selalu menjadi bulan-bulanan para senior. Senior merasa berkuasa atas junior. Mereka menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan pihak sekolah ataupun kampus. Hal ini menjadi seperti sebuah tradisi turun-temurun, dimana akan selalu ada yang namanya senioritas. Aku selalu membayangkan andaikan di negeri ini tidak ada lagi yang namanya MOS, OSPEK, ataupun yang lain sebagainya yang berbau bullying. Aku sangat mendukung propaganda yang menyatakan ‘STOP BULLYING’. Tetapi aku juga berharap itu bukan hanya sebatas kata-kata saja. Karena semua orang ingin bersekolah untuk menuntut ilmu, untuk menjadi pintar, dari tidak tahu menjadi tahu, dari buta aksara jadi bisa baca-tulis. Sangat disayangkan, jika anak-anak menjadi takut datang kesekolah karena adanya bulian. Sebagian besar orang menggantungkan mimpi dan cita-cita mereka dengan bersekolah. Haruskah mimpi dan cita-cita itu punah oleh segelintir orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Aku hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga yang namanya bullying tidak pernah ada lagi. Sehingga semua orang bisa bersekolah dengan merasa nyaman. Karena dengan begitulah ilmu yang disampaikan oleh para pengajar bisa diserap dengan baik oleh para peserta didik. Sekarang aku dan Yoga sudah ngos-ngosan karena capek berlari, tidak kuat lagi rasanya, tetapi syukurlah sekarang kami sudah berhenti berlari walaupun napas masih belum teratur. "Enak... pagi-pagi sudah lari-larian?!" Kak Sarah kembali bertanya lebih tepatnya menyindir terang-terangan. "Enggak kak," jawabku dan Yoga. Tiba-tiba Kak David datang menghampiri kami. Pertama-tama dia menuju ke Yoga dan melihat papan nama yang ada di d**a Yoga. "Abi Yoga Pranata," dia membaca tulisan yang ada dipapan nama Yoga. Selanjutnya, dia berpaling menuju kearahku dan melakukan hal yang sama "Alicia Marcella". "Nama yang bagus," ucap Kak David lirih. "Terimakasih kak," jawabku. Diapun berlalu kembali ketempatnya semula. Benar-benar tenang orang yang satu ini. Lihat saja dia sudah berdiri dengan tenang melihat kearah kami tanpa bergeming. Tetapi setidaknya aku senang dia memuji namaku bagus. Sekarang yang ada di kepala hanya mengingat kata-katanya tadi, ‘Alicia Marcella’ nama yang bagus. Ya itulah namaku Alicia Marcella. Dilahirkan dari keluarga bahagia. Anak dari Bapak Fatur Rachman Syah dan Ibu Elisya Putri. Anak ke dua dari dua bersaudara. Memiliki seorang Abang yang bernama Rabani Nugroho. Sekarang dia berada diluar negeri melanjutkan study S2-nya disana. Dia seorang yang sangat mencintai pendidikan dan tidak akan pernah berhenti untuk menuntuk ilmu pengetahuan. Mungkin saja dia akan menghabiskan sisa hidupnya disana. Lamunan terhenti, ketika mendengar ucapan dari Kak David yang menyuruh kami kembali ke dalam barisan. Senang sekali rasanya bisa sedikit terbebas dari bulan-bulanan Kak Sarah. Hari ini berbagai kegiatan OSPEK telah terlalui, capek tidak usah ditanya. Seharian ini habis dijadikan bahan buli-bulian sama kakak-kakak senior. Lebih parahnya lagi, kakak-kakak senior dari kelompok yang lain juga suka ikut-ikutan nimbrung untuk membuli kami. Semoga dengan apa yang terjadi hari ini, bisa menjadikan kami semua bermental baja dalam menghadapi masa depan. Apa yang terjadi hari ini belum ada apa-apanya. Tentu dimasa yang akan datang, akan ada banyak hal yang penuh dengan misteri yang akan kami hadapi nantinya. Mungkin saja jauh lebih parah dari apa yang kami alami hari ini. Ingin beristirahat terlebih dahulu sebelum pulang. Yoga juga ikut bersamaku. Kami duduk dipelataran kampus. "Capek banget ya, Yog, hari ini?" "Iya." "Rencananya mau kemana lagi setelah ini, Yog?" "Sepertinya langsung pulang kerumah saja, capek sekali rasanya. Kalau Elis?" "Sama, juga mau langsung pulang. Aku mau sms Zahra terlebih dahulu. Karena tadi numpang sama dia ke kampus." "Okelah... aku juga mau sms Satya nih." Akupun mengambil hp dari saku celana, langsung sms Zahra. "Zahra, kamu dimana? Aku duduk dipelataran kampus nih, kesinilah!" Tidak beberapa lama ada bunyi pesan di hp. "Aku masih beres-beres. Sebentar lagi aku kesana bersama Aldo." Akupun melanjutkan kembali obrolan bersama Yoga. "Yog, Satya ambil jurusan apa?" "Dia ambil jurusan Programmer." "Wow... keren." "Dia mungkin ingin jadi Hacker terkenal. Hahaha..." "Ada-ada saja kamu Yog, tapi bagus juga tu." Tidak selang beberapa lama Zahra dan Aldo datang secara bersamaan dan langsung duduk didekat kami. "Capek banget ya hari ini." Zahra berucap. "Iya nih," jawab Yoga. "Bagaimana Do, OSPEK hari ini?" Tanyaku. "Biasalah habis jadi bulan-bulanan senior," jawab Aldo. Tidak beberapa lama kemudian, Satya muncul dengan wajah letihnya. "Uuuuhhh... Capek banget rasanya. Mana lama lagi selesainya." Keluh Satya. "Ya sudah, duduk sini," jawabku. "Kita langsung pulang saja yuk!" Ajak Satya. "Ayoklah..." jawab Zahra. Kami semua berdiri beranjak untuk pulang. *** Tidak terasa sudah seminggu berlalu, semenjak masa-masa OSPEK. Aku dan yang lain sudah memulai perkuliahan. Sekarang aku berada di kelas mata kuliah umum yang artinya aku dan teman-temanku yang lain masih bisa bertemu. Pagi ini kelas sudah ramai, tetapi belum melihat salah satu dari temanku. Pada kemana mereka. Apa tidak ada satupun mengambil kelas yang sama denganku. Tidak selang beberapa lama Zahra muncul bersama Yoga. Dimana Aldo. Mungkinkah dia mengambil kelas yang berbeda. Zahra dan Yoga datang menghampiri. "Dimana Aldo, Zar?” Tanyaku. "Oh Aldo, dia mengambil kelas yang berbeda dengan kita," jawab Zahra. "Terus kalau Satya, Yog?" "Sama juga, dia ambil kelas lain," jawab Yoga sambil melihat kearahku. "Ohhh... iyalah," kilahku. Mereka sekarang sudah duduk dikursinya masing-masing. Zahra duduk disebelahku, sedangkan Yoga duduk dibelakang karena kursi disana masih kosong. Kami sudah lama menunggu, namun dosen juga tidak kunjung datang. Kulirik jam tangan sudah menunjukkan pukul 10.35 wib. Seharusnya dia sudah masuk lima belas menit yang lalu. Tiba-tiba masuk seorang pria muda, memakai kemeja lengan panjang, berwarna biru muda, ditaksir umurnya kira-kira 23 tahunan. "Perkenalkan nama saya Doni Hermansyah. Saya adalah Asisten Pak Prasetya Mulya, dosen kalian pada hari ini. Kebetulan beliau berhalangan hadir pada hari ini dikarenakan sesuatu hal. Jadi beliau meminta saya untuk menyampaikan tugas yang diberikannya untuk kalian semua. Yakni, membuat makalah mengenai isu sosial yang lagi aktual pada saat ini. Tugas dikumpulkan minggu depan. Demikianlah pesan dari Pak Prasetya. Ada yang ingin ditanyakan?" "Pak, kenapa tidak bapak saja yang mengajar kami pada hari ini?" Tanya salah seorang mahasiswi. "Kebetulan saat ini saya ada mengajar dikelas lain. Jadi untuk saat ini saya tidak bisa," jawab Pak Doni. "Ayolah Pak, kami pasti semangat jika bapak yang mengajar." Rengek salah seorang mahasiswi yang lain dengan suara manjanya. "Huuuuu..." sorak anak-anak yang lain. Kelas menjadi hiruk-pikuk, sedangkan Pak Doni hanya tersenyum saja. Senyum yang menawan, pantesan ada mahasiswi yang keganjenan. Kurasa wajar-wajar saja kalau ada mahasiswi yang seperti itu. Maklum saja, kami semua masih dalam masa peralihan dari remaja menuju kedewasaan. Jadi wajar masih banyak yang bersikap ababil. Sekarang kelas sudah dibubarkan sama Pak Doni. Aku, Zahra, dan Yoga sudah berada diluar kelas. "Kemana kita?" Tanya Yoga. "Kekantin saja yuk!" Ajak Zahra. "Ayoookkk..." jawabku dan Yoga bersamaan. Kamipun berjalan kearah kantin, sepanjang perjalanan menuju kantin Zahra tidak berhenti-henti mengoceh. Ada saja hal-hal yang ingin dibahasnya, mulai dari gosip, politik sampai dengan fashion. Aku juga terkadang lelah mendengar ocehan Zahra, tetapi mau bagaimana lagi, dia adalah temanku dan seperti itulah karakternya. Tetapi ada hal yang istimewa dalam dirinya yang membuat orang-orang tidak bisa menjauh dari dia. Merasa selalu ingin didekatnya. Dia memiliki hati nurani yang sangat baik, hatinya mudah tersentuh, dia tidak tega bila melihat ada orang yang kesusahan. Hal itulah yang membuat orang lain tidak bisa jauh-jauh dari dia. Kurasa dia sangat tepat mengambil jurusan Keperawatan dengan kelembutan hati yang ia miliki, maka kelak akan ada banyak pasien yang cepat sembuh dari hasil perawatannya. Tidak terasa sekarang kami sudah tiba dikantin. Kami duduk dimeja bagian pojok dekat dengan ruangan terbuka, agar bisa merasakan angin sepoi-sepoi. Ku menatap ke sekeliling ruangan, disana terlihat sosok Kak David bersama teman-temannya. Mereka lagi asik bercanda-tawa, kali ini terlihat girang di wajah Kak David. Beda dengan terakhir kali melihatnya yang begitu tenang. Sudah seminggu dari kejadian itu, perhatianku teralihkan semenjak perkuliahan sudah dimulai. Kulihat Kak David juga melihat kearahku. Tatapan mata kami bertemu, cepat-cepat kualihkan pandangan dari tatapannya. Takut ketahuan kalau aku lagi memperhatikannya. Langsung meminum jus yang sudah kupesan tadi. Diam-diam kucuri pandang kearahnya, dari kejauhan dia masih melihat kearahku tanpa bergeming. Ada apa gerangan dia masih melihatku. Apakah dia tahu aku memperhatikannya. Karena kalau benar-benar dia mengetahuinya. Betapa malunya diri ini. Tetapi bagaimanapun diri ini masih penasaran terhadap dirinya. Orang seperti apakah dia. Ada keinginan kuat untuk mencari tahu tentang dirinya. "Elis lihat deh, aku perhatiin dari tadi cowok yang disana lihatin kamu terus." Zahra berbisik kepadaku. "Yang mana?" Aku pura-pura tidak tahu. "Itu loh, cowok cakep, tinggi putih, di meja sudut sana," lanjutnya. "Cie... cie... yang lagi dilihatin," goda Yoga. "Apaan sih loe..." ketusku ke Yoga. "Akhirnya teman gue bakal laku juga. Hahaha..." Yoga menertawaiku. Kucubit paha Yoga sedikit keras. "Aaauuu... sakit Lis..." Yoga meringis kesakitan. Akhirnya Yoga berhenti meledek. "Enakan cubitan gue, rasain loe". Berucap lirih dalam hati. Tidak terasa sudah lama juga kami duduk dikantin ini. Bentar lagi ada kelas, aku harus beranjak dari sini. "Yog, bentar lagi kita ada kelas nih," melihat Yoga. "Oh ya ya," Yoga mulai beranjak dari kursi. "Loe sendiri bagaimana Zar?" Menatap ke arah Zahra. "Yaudah kalian berdua duluan saja. Aku masih mau disini dulu." Kilah Zahra. "Benaran nih?" Tanyaku memastikan. Zahra hanya mengangguk perlahan. Melihat Zahra yakin dengan keputusannya. Kamipun berlalu pergi. *** Ternyata sekarang sudah sore. Aku sudah ada rencana dengan teman-teman yang lain pergi hangout bersama untuk mencari udara segar, sambil me-refreshing-kan diri. Rencananya, kami berangkat menggunakan mobil si kembar Yoga-Satya. Mereka yang akan menjemput kami ke rumah masing-masing. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 16.15 wib, tetapi mereka juga belum sampai. Janjinya jam 16.00 wib kami sudah berangkat. Namun, tidak selang beberapa lama, terdengar bunyi klakson. Segera aku menuju keluar. Benar saja, itu klakson mobil mereka. "Maaf ya, kami sedikit telat, tadi jalanan macet." Dengan wajah memelas Yoga berucap. "It's Okey," sambil berlalu masuk ke dalam mobil aku berucap. "Mau kemana lagi nih?" Celetuk Zahra. "Café biasa ja," sambung Satya. "Sip deh..." ucap Yoga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD