Bab 4

1576 Words
Revan melangkahkan kakinya dengan pelan menuju ke kelasnya. Ini adalah hari yang sangat sibuk. Sejak pagi hingga sore ini, Revan sama sekali tidak mendapatkan waktu istirahat karena beberapa kelas yang seharusnya diadakan besok, semuanya jadi dipindahkan menjadi hari ini. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan ketika perutnya mulai terasa lapar. Ya ampun, kalau Revan mampir dulu ke kantin, dia pasti akan terlambat. Sebagai salah satu mahasiswa berprestasi, Revan sama sekali tidak boleh terlambat. Apalagi reputasi Revan sebagai seorang anggota organisasi paling penting di kampus ini. Iya, Revan harus selalu memberikan contoh yang baik untuk teman-temannya yang lain. Baiklah, sepertinya tidak masalah kalau Revan harus menahan rasa laparnya sampai dua jam lagi. Revan tidak akan langsung pingsan hanya karena dia kelaparan, bukan? Revan menundukkan kepalanya lalu memberikan salam hormat setiap kali dia berpapasan dengan beberapa dosen. Sering kali Revan juga harus melemparkan senyumannya ketika ada beberapa rekannya yang menyapa. Iya, kebanyakan dari mereka adalah wanita. Revan sebenarnya sama sekali tidak mengerti kenapa dia bisa menjadi sedikit terkenal di kampus ini. Sudahlah, semua itu sama sekali tidak penting. Yang paling penting adalah Revan harus segera sampai di kelasnya karena kalau terlambat sedikit saja, sudah pasti Revan akan mendapatkan masalah besar. Revan mengernyitkan dahinya ketika dia melihat ada seorang perempuan yang berbelok ke arah lorong sebelah kanan. Tunggu dulu, Revan tidak salah lihat, bukan? Tidak, tentu saja Revan tidak salah lihat! Benar, perempuan yang baru saja berbelok itu adalah perempuan yang dia selamatkan tadi malam. Iya, perempuan yang mencoba untuk bunuh diri itu! Secara spontan Revan langsung melangkahkan kakinya dengan cepat sambil memanggil perempuan itu dengan harapan kalau dia akan berhenti. Iya, Revan ingin menanyakan perihal ponselnya. Siapa tahu saja perempuan itu tahu sesuatu.. “Hei!” Kata Revan sambil berjalan dengan langkah cepat. Revan menyadari kesalahannya dengan melakukan semua itu. Revan akhirnya menurunkan tangannya lalu berjalan dengan cepat karena sekarang ada banyak sekali orang yang mulai menatap Revan sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya mereka. Astaga, Revan sama sekali tidak habis pikir kalau dia sampai mempermalukan dirinya sendiri dengan cara seperti ini. Revan melangkahkan kakinya dengan cepat sambil mengejar seorang perempuan yang menggunakan kemeja warna merah. Iya! Revan sangat yakin kalau perempuan itulah yang tadi malam dia temui. “Hei..” Kata Revan setelah dia berhasil mengejar perempuan itu. Revan mengernyitkan dahinya, sama seperti Revan, perempuan yang ada di depannya itu juga mengernyitkan dahinya seakan dia kebingungan dengan apa yang Revan lakukan. “Kenapa, Van?” Tanya perempuan itu. Revan langsung menggelengkan kepalanya dengan singkat karena dia sadar kalau dia telah salah orang. Oh ya ampun, Revan benar-benar malu saat ini. Perempuan ini bahkan mengenal Revan ketika Revan merasa kalau dia sama sekali tidak pernah melihat wajah perempuan ini. “Eh, sorry, gue salah orang kayaknya..” Kata Revan sambil tersenyum canggung. Astaga, dia melakukan kesalahan besar. Revan salah lihat dan dia salah memanggil orang. Sepertinya Revan memang terlalu kepikiran dengan ponselnya yang hilang itu. “Gue duluan, ya..” Kata Revan sambil melangkah pergi lebih dulu. Baiklah, sekarang Revan harus benar-benar menahan rasa malunya karena telah melakukan sebuah kesalahan besar. Oh sial! Revan baru ingat kalau dia seharusnya sudah berlari menuju ke kelasnya. Ya ampun, kenapa Revan bisa benar-benar sial seperti ini? *** Revan duduk tepat di samping Dipta setelah dia mendengar ceramah panjang yang dikatakan oleh dosennya hanya karena Revan terlambat kurang dari 5 menit saja. Benar, Revan akhirnya terlambat karena dia mengejar seorang perempuan yang dia kira adalah perempuan yang dia temui kemarin malam. Ya ampun, Revan mendapat banyak sekali kesialan hari ini. “Lo kenapa? Bukannya tadi ke perpustakaan? Kenapa bisa telat?” Tanya Dipta yang terlihat sedang menahan rasa kantuknya. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan. Akibat begadang sepanjang malam untuk menunggu Raka yang sedang di rumah sakit, Revan dan Dipta jadi kacau seperti ini. Tidak, Revan sama sekali tidak ingin menyalahkan Raka atas keadaan ini. Revan sendiri yang memang kurang fokus.. “Nggak pa-pa..” Jawab Revan dengan pelan. Revan sedang fokus untuk mendengarkan dan mencatat beberapa hal penting yang dikatakan oleh dosennya ketika perutnya berbunyi dengan cukup keras hingga membuat Dipta menatap heran ke arahnya. Oh sial! Kenapa Revan bisa melakukan hal memalukan seperti ini? “Lo kenapa, b**o?” Tanya Dipta sambil tertawa pelan. Revan hanya meringis sambil memegang perutnya yang mulai terasa lapar. Revan sama sekali tidak memiliki waktu untuk bisa datang ke kantin untuk sekedar membeli makanan yang bisa dia makan diam-diam di dalam kelas, sekarang inilah yang dia dapatkan. Baiklah, Revan memang harus menahan rasa lapar ini selama beberapa jam ke depan sampai dia terbebas dari dosen galak yang sedang menatapnya dengan tajam dari depan. “Gue ada roti di tas. Mau, lo?” Tanya Dipta sambil berbisik. Mendengar jika Dipta memiliki roti, Revan seperti menemukan harapan baru di dalam masalahnya ini. Revan segera menganggukkan kepalanya sambil menatap Dipta yang sedang berusaha untuk mengeluarkan roti yang ada di dalam tas miliknya. Revan mengulurkan tangannya lalu mulai membuka bungkus roti itu. tidak masalah, sekalipun ukurannya yang kecil, yang penting masih bisa digunakan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Revan baru saja ingin memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya ketika suara dosennya kembali menggema dan membuat Revan harus menghadapi satu lagi kesialan di hari ini. “Revan! Keluar dari kelas!” Sial! *** “Lo b**o banget, anjir! Makan roti aja sampai ketahuan. Bikin kena masalah aja..” Kata Dipta dengan wajah kesal. Benar, selain Revan, Dipta juga diusir keluar dari ruang kelas. Revan sama sekali tidak mengerti kenapa dosen itu bisa melihat ketika Dipta memberikan roti kepada Revan. Ah, kalau begitu Revan jadi merasa semakin bersalah. Revan yang membuat masalah, tapi Dipta juga harus menerima hukumannya. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan sambil menyantap semangkuk bakso yang ada di depannya. Dari pada Revan merasa kesal karena untuk yang pertama kalinya, Revan harus diusir keluar dari kelas dengan cara yang sangat memalukan. Ya, begitulah adanya.. Revan memang merasa kesal tapi dia juga sadar dengan kesalahan yang dia perbuat. Revan melanggar peraturan kelas yang awalnya sudah disepakati bersama. Baiklah, Revan memang layak dihukum kali ini.. “Makanya, Van, kalau nggak terbiasa, jangan ikut-ikutan! Lo itu mahasiswa tertib, ngapain mau sok langgar peraturan?” Dipta kembali mengejek Revan. Banar, seharusnya Revan memang tidak melanggar peraturan itu. “Iya, udah.. diem dulu, lo. Gue mau makan, ini..” Kata Revan dengan kesal. Hari ini akan selalu Revan ingat sepanjang hidupnya. Benar, Revan merasa sangat kesal karena tadi ketika dia sedang ada di perpustakaan, bukannya belajar, Revan malah tertidur di salah satu sudut ruangan. Revan melanggar banyak sekali peraturan dan dia juga melakukan banyak kesalahan karena dia ceroboh. “Bokap gue bilang kalo Raka emang butuh buat dibawa ke rumah sakitnya dia. Bokap gue sendiri yang bakal rawat Raka..” Kata Dipta sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya. Revan menatap Raka dengan kesal, temannya ini sangat suka merokok padahal Dipta sendiri tahu kalau rokok akan membuat kesehatannya terganggu. Sebagai seorang teman, Revan sudah sering mengingatkan Dipta untuk mulai mengurangi rokoknya, tapi Dipta tetap akan menjadi Dipta. Dia tidak akan bisa berhenti jika bukan karena kemauannya sendiri. “Kita tinggal tunggu orang tuanya Raka aja. Anak itu emang udah nggak ketolong lagi kalau nggak cepet ditangani..” Kata Revan dengan santai. Sekalipun sama-sama terlihat santai, baik Revan maupun Dipta sebenarnya sangat kebingungan dengan apa yang harus mereka lakukan untuk membantu teman mereka itu. Raka mengalam depresi akut karena keadaan keluarganya. Sekalipun seorang laki-laki, Raka sudah tidak tahan lagi dengan apa yang dia tanggung selama ini. Iya, sekalipun laki-laki, kalau sedang ada masalah mereka sebenarnya juga merasa terbeban juga. “Dia aja yang t***l! Gue nggak habis pikir sama apa yang terjadi..” Kata Dipta sambil memainkan ponselnya. Revan menatap Dipta dengan pandangan yang tidak setuju. Apapun yang terjadi, Raka sudah berjuang dengan keras untuk bisa tetap bertahan. Benar, temannya itu memang melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, tapi Dipta juga tidak seharusnya mengatakan kalimat kasar pada Raka. “Lo belum tahu aja gimana keadaan keluarga dia..” Kata Revan dengan pelan. Sebenarnya, baik Revan maupun Raka sama-sama tidak terlalu tahu dengan apa yang terjadi di dalam keluarga Raka. Sejak dulu Revan berpikir kalau keluarga Raka juga baik-baik saja, Revan sama sekali tidak mengira kalau Raka memutuskan bunuh diri karena dia merasa tidak sanggup dengan masalah keluarganya. Begitulah manusia, kadang yang selalu terlihat tertawa bukan berarti tidak memiliki masalah sama sekali. Dari kehidupan Raka, Revan jadi semakin bersyukur dengan keluarganya yang sampai saat ini masih bersama. “Emang keluarga dia kaya gimana? Tadi siang Aira telepon gue buat nanyain keadaan Raka. Gue cuma bilang kalau Raka sekarang ada di rumah sakit, gue masih nggak tega kalau kasih tahu semuanya ke cewek itu..” Kata Dipta sambil menatap Revan. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan karena dia juga masih kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini. Kira-kira apa yang harus dia katakan pada Aira? Selain Revan dan Dipta, satu-satunya orang yang sangat peduli dengan keadaan Raka adalah Aira. Bukankah akan sangat tidak adil kalau Revan dan Dipta berusaha menyembunyikan apa yang terjadi? Aira juga memiliki hak untuk tahu semuanya. “Bilangin aja ke dia kalau kita bakal cerita semuanya pas udah di rumah sakit. Lo temenin dia dulu pas nanti jenguk Raka..” Kata Revan. Aira memang mengenal Revan dan Dipta dengan baik. Tapi sebenarnya Aira jauh lebih dekat dengan Dipta dibanding dengan Revan. Akan lebih nyaman kalau Dipta yang menemani Aira. “Susah banget itu..” Kata Dipta sambil tersenyum tidak jelas. Raka juga tahu apa maksud dari perkataan Dipta. Tapi biarlah.. temannya itu harus mulai menerima kenyataan yang ada. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD