Bab 21

1952 Words
Revan kembali datang ke ruang rawat Raka setelah dia pulang dan membersihkan tubuhnya. Ya, di sini ternyata sudah ada Dipta yang lebih dulu datang dibandingkan dengan Revan. Besok siang Raka memang sudah diizinkan untuk pulang, tapi tentu saja Raka tidak akan langsung pulang ke rumahnya sendiri. Ada beberapa perawatan yang seharusnya dilakukan sejak dulu untuk mencegah adanya kejadian buruk seperti beberapa hari yang lalu. Sayangnya, meyakinkan Raka untuk melakukan perawatan intensif untuk memperbaiki keadaan mentalnya adalah hal yang sanga sulit. Raka selalu merasa jika dirinya baik-baik saja padahal sebenarnya sama sekali tidak. Raka hampir mengakhiri hidupnya sendiri. Keadaan Raka sama sekali tidak baik-baik saja. “Bokap gue sendiri yang bakal pegang lo. Nggak usah khawatir, kita bakal sering ke sana” Kata Dipta dengan pelan. Kali ini Revan tidak terlalu banyak bicara karena di tidak terlalu mengerti dengan apa yang dibutuhkan oleh Revan. Sebagai anak seorang psikiater, Dipta jelas jauh lebih paham tentang hal-hal semacam ini. “Apa yang kalian harap dari gue? Gue nggak akan pernah bisa sembuh.. udah, biarin gue pulang..” Kata Raka. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan. Selama beberapa tahun belakangan ini Raka menyimpan sebuah masalah yang besar di dalam hidupnya. Revan dan Dipta memang tidak bisa memaksa Raka untuk menceritakan segalanya pada mereka, tapi setidaknya Revan dan Dipta menginginkan yang terbaik untuk Raka. Temannya itu membutuhkan perawan yang khusus agar dia tidak mengulangi perbuatannya yang benar-benar di luar kendali itu. “Bisa, Ka. Lo pasti bisa sembuh. Bokap gue bilang, ada kemungkinan besar buat lo sembuh asal lo ditangani dengan tepat. Jangan khawatir, ada bokap gue di sana. Lo pasti bakal sembuh kalo lo emang mau sembuh” Kata Dipta dengan tenang. Dipta itu sangat fleksibel. Dia bisa menjadi teman yang sangat menyebalkan tapi dia juga bisa sangat serius di beberapa waktu yang penting. Dipta mendapatkan didikan yang baik dari orang tuanya. Dipta adalah orang yang paling pandai dalam mengendalikan emosinya. Ya, setidaknya itulah yang Revan tahu tentang Dipta. Sekalipun kadang Dipta juga suka melakukan hal-hal tidak berguna seperti remaja pada umumnya, Dipta tetap saja mampu mengendalikan suasana semacam ini dengan sangat tenang. “Bokap lo bukan Tuhan. Dia nggak tahu apa yang terjadi sama gue” Kata Raka. “Bokap gue emang bukan Tuhan, elah. Ya kali nyokap gue nikah sama Tuhan?” Revan mendengus dengan kesal. Dipta akan tetap menjadi Dipta. “Gue rasa nggak ada salahnya lo ikutin saran bokapnya Dipta, Ka. Kita coba aja dulu, siapa tahu lo bakal semakin sembuh” Kata Revan dengan pelan. Setelah diam sejak awal pembicaraan serius ini dimulai, akhirnya Revan memilih untuk mengutarakan pendapatnya. “Gue mau ngapain di sana? Lo mau gue tambah gila karena tiap hari lihat orang gila?” Tanya Raka. “Gue juga nggak tahu lo mau ngapain di sana, b**o! Gua juga nggak nggak pernah tinggal di sana. Tapi lo tenang aja, nanti gue tanya-tanyain bokap gue” Kata Dipta sambil tertawa pelan. “Gue sebenernya nggak butuh pengobatan kayak gitu. Gue cuma butuh orangtua gue pulang.. itu ada sih sebenernya..” Kata Raka. Iya, sampai sekarang Revan masih tidak mengerti kenapa tidak ada satupun kabar dari orangtua Raka. Apakah mereka memang sudah tidak peduli pada apa yang terjadi dengan anak mereka? Entahlah, kadang manusia berpikir jika menjadi orang tua artinya mengirimkan uang yang banyak setiap bulan tanpa mau tahu tentang apa yang sedang dialami oleh anaknya. Tidak, tidak demikian. Menjadi orang tua jauh lebih sulit dibandingkan pekerjaan apapun. Ketika seseorang memutuskan untuk siap menjadi orang tua, maka seharusnya mereka juga siap menjalani sebuah pekerjaan seumur hidup. Menjadi orang tua bukan hanya dituntut untuk membiayai semua kebutuhan anaknya, tapi juga memberikan didikan, memberikan perhatian dan kasih sayang. Ada banyak orang yang sebenarnya tidak siap menjadi orang tua tapi memilih untuk tetap memiliki anak karena tuntutan masyarakat. Bagi sebagian orang, ada siklus hidup yang memang harus dipenuhi seperti; menikah lalu memiliki anak. Tidak demikian. Semua manusia mungkin bisa menemukan pasangan mereka dan akhirnya menikah, tapi tidak semua orang pantas untuk menjadi orang tua. “Masalahnya orangtua lo nggak mungkin ke sini. Jadi mendingan lo ke rumah sakit bokap gue aja. Udah, jangan kebanyakan mikir. Pusing gue kalo disuruh serius kayak gini” Kata Dipta dengan santai. Benar, memang tidak ada orang yang akan berbicara dengan kalimat ketus dan menyakitkan seperti yang dikatakan oleh Dipta kepada Raka, temannya yang baru saja melakukan percobaan bunuh diri. “Lo kalo ngomong anjing banget, ya? Ta, gimana sih rasanya punya keluarga lengkap? Gimana sih, Van?” Tanya Raka sambil menatap Dipta dan Revan. Revan hanya diam saja lalu mengalihkan pandangannya. Memang benar jika tidak semua orang diberkati dengan keluarga yang utuh. Revan memang beruntung karena sampai saat ini keluarganya masih baik-baik saja, Dipta juga demikian, tapi di luar sana ada banyak sekali anak-anak yang menjadi korban dari kehancuran rumah tangga orangtuanya. “Kalo gue sih biasa aja. Gue kadang juga lupa bersyukur kalo punya keluarga yang baik-baik aja adalah berkat yang nggak dimiliki semua orang. Gue sering merasa nggak pantes buat dapetin semua ini. Gila nggak, sih? Lo tahu sendiri hidup gue” Kata Dipta sambil tertawa. Revan tetap bungkam. Dia sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa kepada Raka. Iya, usia mereka bertiga memang sudah cukup dewasa, tapi pembahasan tentang keluarga tetap saja melemahkan hati mereka. “Gue suka mabok karena masalah keluarga, anjing! Lo suka mabok kenapa?” Tanya Raka sambil tertawa. “Nah, itu dia! Gua sendiri juga bingung. Gue kayak orang yang nggak bersyukur gitu. Gue punya keluarga yang baik, punya temen yang baik, tapi masih aja suka mabuk-mabukan. Nggak jelas banget ‘kan?” Kata Dipta. Revan tahu kalau sebenarnya Dipta juga pasti memiliki masalah di dalam hidupnya. Keluarga Dipta memang baik-baik saja, tapi masalah tidak hanya tentang keluarga saja, bukan? Semua manusia di bumi ini juga pasti memiliki masalah yang beragam. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan. Banyak orang yang terlihat baik-baik saja padahal sebenarnya mereka memiliki masalah yang besar. “Punya keluarga baik ternyata nggak menjamin kehidupan bahagia, ya?” Kata Dipta sambil tertawa pelan. Revan hanya diam saja. Diantara mereka bertiga, sepertinya hanya Revan saja yang belum pernah mendapatkan masalah serius yang akhirnya membuat dirinya sampai frustasi. Ah, Revan juga tidak mengharapkan hal itu akan terjadi di dalam hidupnya. Selama ini Revan menjalani kehidupan yang baik-baik saja, Revan harap sampai kapanpun dia juga akan menjalani kehidupan yang menyenangkan. Ya, tapi itu tentu tidak akan terjadi. Dalam hidup, pasti akan ada saatnya dimana seseorang mendapatkan satu masalah besar yang benar-benar membuat kekacauan dan perubahan yang menyakitkan. Revan sadar jika sekarang dia baik-baik saja, maka kemungkinan besok dia akan mendapatkan masalah. Entahlah, Revan percaya jika satu masalah datang untuk mengubah kehidupannya dan memberikan warna baru di dalam hidupnya. Mungkin memang tidak mudah untuk menerima dan melewati satu masalah yang besar, tapi jika berhasil maka kehidupan tentu akan semakin membaik. “Gue sebenernya juga nggak bisa paksa lo buat dateng ke rumah sakit bokap gue, Ka. Tapi gue peduli sama lo, gue peduli sama hidup lo. Tolong deh, lo pikir-pikir lagi aja. Nggak ada salahnya kalo kita cari obat pas kita lagi sakit. Gue yakin lo bakal baik-baik aja setelah pulang perawatan dari sana” Kata Dipta dengan pelan. “Gue juga pengen sembuh, Ta. Tapi lo tahu sendiri, hidup keluarga gue kacau banget. Percuma kali gue sembuh tapi mereka bikin gue hancur lagi” Kaa Raka. “Makanya lo sembuhin dulu diri lo. Nanti pasti mereka berulah, lo udah nggak kaget lagi. Mereka emang suka bikin ulah, jadi lo jangan khawatir. Sumpah, Ka. Gue bener-bener kaget pasti dengar keadaan lo beberapa hari lalu. Mungkin lo berpikir kalo orang tua lo nggak peduli, tapi gue peduli. Gue peduli banget..” Kata Dipta. Raka tampak merenungkan apa yang Dipta katakan. Iya, keadaan mental seseorang memang sangat berbeda. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang bisa menghancurkan mental seseorang. Sekalinya hancur, kesehatan mental sangat sulit untuk diperbaiki. Raka memang membutuhkan perawatan yang serius agar pemuda itu tidak lagi mengalami hal yang sama. Raka masih muda, masa depannya masih sangat panjang. Raka tidak boleh menghancurkan hidupnya sendiri hanya karena dia memiliki orang tua yang tidak peduli dengan dirinya. Raka anak yang baik. Sekalipun mungkin dia bergaul pada pergaulan yang sedikit salah, Raka tetap anak yang baik. Raka punya masa depan yang cerah, sangat disayangkan jika Raka memilih untuk terus menghancurkan dirinya hanya karena dia ingin mendapatkan perhatian orang tuanya. Bagi sebagian orang, kehilangan perhatian dari orang yang sangat disayangi sama seperti menghadapi kiamat. Revan tidak benar-benar tahu apa yang dirasakan oleh Raka dan beberapa anak korban broken home, tapi Revan yakin, mereka sangat hancur. Beberapa yang hancur memilih untuk menutupi semuanya dengan tawa, tapi ada juga beberapa dari mereka yang memilih untuk lebih menghancurkan hidup merea dengan harapan orang tua mereka akan kembali dan peduli. Sayangnya harapan mereka terlalu tinggi. Untuk orang-orang yang diciptakan dengan hati nurani tapi menolak untuk menggunakannya, mereka tidak akan pernah bisa diharapkan untuk peduli. Raka dan beberapa anak korban kehancuran rumah tangga orang tuanya memang harus menerima fakta itu. Memang ada seberapa orang yang memiliki hati nurani tapi menolak untuk menggunakannya. “Gue nggak tahu lagi sama gimana pandangan anak-anak kalo mereka dengar keadaan gue” Kata Raka dengan pelan. “Nggak ada yang tahu, kok. Gue sama Dipta sengaja nggak bilang ke siapapun. Tenang ada.. lagipula lo perlu mikirin gimana omongan orang, Ka. Mereka bisa bilang apapun yang mereka mau bilang, jangan lo masukin hati” Kata Revan dengan santai. Keadaan Raka yang saat ini mungkin memang mempengaruhi mental temannya itu. Raka memikirkan bagaimana pandangan orang-orang akan apa yang dia lakukan. Ya, Revan memang setuju jika tindakan Raka ini salah dan tidak patut untuk dilakukan, tapi jika ada orang yang berani menyalahkan Raka atau menyudutkan Raka, maka Revan akan memasang badannya untuk membela temannya. Raka adalah korban. Bukan dia yang seharusnya disalahkan. Kadang mulut manusia memang suka berbicara tanpa menunggu hasil kerja otak untuk berpikir. Revan tidak akan bisa mengendalikan apa yang ingin dikatakan oleh orang-orang tentang keadaan Raka, maka dari itu Revan memilih untuk merahasiakan keadaan ini. Ya, Dipta juga mengatakan hal yang sama. “Gue tahu kalo menurut lo respon orang-orang bakal penting banget buat didengerin, tapi nggak semua orang bakal kasih respon yang bener, Ka. Udah, jangan pikirin hal yang nggak penting. Lo harus sembuh, Aira mau lo sembuh. Lo masih punya Aira ‘kan? Kasihan cewek lo, walaupun nyebelin, gue tetep aja kasihan pas lihat dia nungguin lo sambil nangis” Kata Dipta dengan santai. Sebenarnya Revan juga melihat hal yang sama. Sekalipun Aira sering sekali membuat masalah yang akhirnya menimbulkan keributan dengan Revan, Revan tetap saja sering melihat perempuan itu merenung dalam kesedihan. Ya, pasti Aira sangat sedih karena melihat kekasihnya terbaring tidak sadarkan diri setelah melakukan percobaan bunuh diri. Sebagai teman, Revan dan Dipta merasa sangat gagal, Aira pasti juga merasa demikian. “Gue.. bakal pikirin lagi, Ta. Gue belum tahu juga gue bakal sembuh atau enggak” Kata Raka. Revan menganggukkan kepalanya. Iya, Revan dan Dipta memang hanya bisa memberikan saran kepada Raka, tapi keputusan tetap ada di tangan Raka. Orang yang memiliki masalah dengan kesehatan mental mereka tidak akan pernah bisa sembuh jika tidak karena kemauan mereka sendiri. Raka harus menemukan kembali semangat di dalam hidupnya agar dia merasa yakin untuk melakukan perawatan di salah satu rumah sakit kejiwaan yang cukup ternama di kota ini. “Pasti sembuh kali lo mau coba. Lo belum coba tapi udah pesimis aja, t***l!” Kata Dipta dengan kesal. Revan menggelengkan kepalanya ketika dia mendengar kalimat kasar yang kembali keluar dari bibir Dipta. Astaga, apakah Dipta lupa jika Raka sedang sakit saat ini? Sejak tadi dia terus menggunakan kalimat kasar untuk menyadarkan Raka. Ya, yang penting Raka mengerti jika Dipta dan Revan sangat peduli dengannya sekalipun sering kali mereka berbicara dengan kalimat yang begitu kasar.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD