"Menyebalkan!" gerutu Vanilla, lalu pergi meninggalkan Javier yang masih tidak berdaya di lantai. Vanilla berjalan ke ruang tengah dengan muka yang kesal, bahkan ia tidak menggubris Justin yang ternyata sedang berjalan ke arahnya.
Justin menyadari raut muka Vanilla. Ia pun berjalan ke arah Vanilla dan bertanya. "Ada apa?"
Vanilla menggeleng. Ia terlalu malas membahas itu.
"Vanilla kenapa? Ceritakan semuanya. Sekarang aku adalah Ayahmu, dan aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadamu, mengerti?"
Vanilla berpaling ke Justin dan menatap mata cokelat Justin dengan intens. "Ada yang menciumku."
Justin tampak terkejut, kemudian ia duduk di hadapan Vanilla. "Siapa?"
"Itu," tunjuk Vanilla ke Javier yang sedang terkulai di dapur.
Justin membulatkan mata ketika melihat Javier, ia berdiri dan berlari untuk melihat keadaan adiknya itu.
"Oh, astaga, Javier ... Apa yang terjadi?!"
Justin mengangkat Javier dan menggotong pria itu ke kamar yang semalam ia tempati.
Vanilla yang masih kesal ke Javier, memilih untuk membuang mukanya ke arah lain. Ia benar-benar kesal dengan Javier.
Sekitar dua menit kemudian Justin keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah Vanilla.
"Apa dia menciummu? Di mana?" tanya Justin langsung.
Vailla tidak menjawab, tapi ia menyentuhkan telunjuknya ke bibirnya. Dan Justin langsung paham di mana Javier mencium Vanilla.
"Dia siapa?" Vanilla bertanya.
"Dia adikku, namanya Javier. Maaf jika seperti itu. Anaknya memang playboy," jawab Justin sambil duduk kembali di tempatnya tadi.
"Aku membenci playboy. Kata guruku, itu manusia terjelek."
Oh astaga, perkataan Vanilla otomatis menyindir Justin. Walaupun tidak seprofesional Javier, tapi cap playboy sudah ada di jiwanya. Yah, walaupun ia tetap setia ke satu wanita sampai saat ini.
"Vanilla, aku ingin tahu siapa gurumu itu."
"Ehm? Kenapa?" tanya Vanilla dengan polosnya. Dan hal itu semakin membuat Justin gemas.
"Aku ingin bertemu dengannya, kemudian berbicara, dan memastikan apakah ia baik-baik saja," jawab Justin dengan nada yang menurut Vanilla sangatlah menyeramkan.
Vanilla tidak menjawab dan malah menggigit bibir bawahnya. Oh astaga, tepat saat itu, Justin melihatnya. Dan Justin benci itu! Ia tidak pernah terangsang seperti ini, kecuali pada Avira.
"Berhenti melakukan itu!" ucap Justin tanpa sadar.
"Melakukan apa?" tanya Vanilla bingung.
Justin kemudian sadar dan ia menggeleng kepalanya keras-keras. "Tidak ada. Jadi, siapa nama gurumu itu?"
"Alec Demian," jawab Vanilla cepat.
"Usia?"
"Ehm, dua puluh delapan."
Justin tercengang. Dua puluh delapan? Berarti guru itu memiliki usia yang sama dengannya, dan Justin meragukan guru itu bisa menahan hasratnya saat di depan Vanilla.
"Jangan berkomunikasi dengannya lagi, mengerti?"
Vanilla langsung menggeleng. "Katanya aku tidak boleh memutuskan komunikasi dengan siapapun, apalagi kepada guru."
Justin menghembuskan napasnya kesal. Bagaimana mungkin ia bisa membuat Vanilla menuruti perkataannya. Jika ia memaksa Vanilla, maka bisa dipastikan bahwa gadis itu akan membencinya.
"Baiklah, Vanilla. Tapi ada satu hal yang harus kamu ingat selama di Indonesia."
"Apa?"
"Jangan keras kepala!"
Vanilla mengerutkan keningnya. "Aku tidak keras kepala."
"Apakah aku mengatakan kamu keras kepala?"
Vanilla menggeleng.
"Astaga, Vanilla. Apa kamu benar-benar polos atau berlagak polos?" akhirnya pertanyaan yang selama ini ingin Justin lontarkan keluar juga. Ia sudah cukup lama menahan pertanyaan itu beberapa jam yang lalu.
"Aku tidak tahu, tapi selama di London aku hanya tinggal di apartemen yang sepi dengan beberapa penjaga. Bahkan, aku melakukan home schooling," kata Vanilla dengan wajah yang sedih.
Justin mengerti. Pantas saja Vanilla tidak terpengaruh sedikitpun oleh perubahan zaman.
"Jadi, kamu tidak memiliki teman?"
Vanilla mengangguk. "Aku hanya bicara dengan bibi Alice, guru Alec, dan penjaga. Hanya itu."
"Oh iya, aku ingin menanyakan hal ini. Nama belakangmu Fernando, tapi Levina tidak menggunakan Fernando. Apa itu nama belakang Ayahmu?"
Vanilla menggeleng. "Kata Mom di suratnya, itu nama belakang Ayah, tapi dia tidak memberitahu di mana Ayah. Katanya, Ayah sudah menikah lagi. Aku juga tetap menggunakan nama belakang Ayah, karena itu permintaan Ayah. Itu yang Mom katakan kepadaku."
Justin semakin bingung. Jadi, apa maksud ayah Vanilla pergi meninggalkan mereka, tapi membiarkan Vanilla menggunakan nama belakangnya? Ini lebih dari kata aneh.
Justin mengembuskan napasnya. "Baiklah, bersiap-siaplah! Kita akan keluar dan pergi ke suatu tempat."
"Ke mana?"
"Kamu akan tahu nanti."
***
Di sinilah Vanilla dan Justin berada. Di mansion yang sangat mewah, melebihi kemewahan mansion Justin.
"Ini rumah siapa?" tanya Vanilla.
"Ini rumah orangtuaku, mereka ingin bertemu denganmu," jawab Justin.
Vanilla mengerutkan keningnya. "Kenapa mereka ingin menemuiku? Apa aku melakukan kesalahan? Di drama-drama, banyak gadis yang dibawa ke rumah besar kemudian dia bentak. Apa aku akan seperti itu?"
Justin tidak bisa berkata lagi. Vanilla benar-benar gadis terpolos yang pernah ia temui. Dan anehnya kepolosannya itu membuat Justin merangsang. Oh astaga, Justin benar-benar ingin bunuh diri jika seperti ini.
"Vanilla, kamu pilih diam atau aku akan menciummu."
"Diam," jawab Vanilla langsung.
Justin tersenyum dan berjalan mendahului Vanilla ke ruang tengah. Vanilla pun mengikuti Justin dengan bibir yang tertutup rapat.
"Halo, Ma," sapa Justin pada wanita berambut hitam yang sangat cantik.
"Mana dia?" tanya wanita itu.
"Itu," tunjuk Justin pada Vanilla.
Sonia tiba-tiba saja tersenyum bahagia dan berlari ke arah Vanilla.
"Kamu Vanilla, kan? Oh astaga, kau cantik sekali," ujar Sonia sambil memegang kedua pundak Vanilla.
"Terima kasih, tante juga cantik. Seperti peri yang sering kulihat di channel disney," jawab Vanilla.
Sonia yang mendengar itu mulai tertawa, sedangkan Justin ia hanya bisa menggelengkan kepalanya karena ucapan Vanilla. Benar-benar anak kecil.
"Terima kasih untuk pujiannya. Ngomong-ngomong Tante belum masak, jadi maukah Vanilla menunggu sampai tante selesai masak?"
"Aku bisa membantu jika tante butuh bantuan," ucap Vanilla menawarkan diri.
Sonia mengelus kembut pucuk kepala Vanilla. "Kau tamu, jadi duduklah yang tenang bersama Justin."
"Tapi kata gur---"
"Shhh." Sonia menghentikan ucapan Vanilla dan pergi ke dapur.
"Huft..."
"Sudahlah, Mama tidak suka diganggu. Sebaiknya kita duduk dan menunggu anak-anak," kata Justin sambil duduk di sofa.
"Anak-anak? Siapa?" tanya Vanilla seraya duduk di hadapan Justin.
"Adik-adikku."
"Halo..."
Vanilla menoleh ke belakang dan muncul dua gadis yang tidak kalah cantiknya dengan Sonia.
"Kamu Vanilla, kan? Kakak menceritakannya ke kami kemarin malam lewat telepon. Dan astaga, kau memiliki kulit yang indah."
"Rara..." Justin berdehem.
Rara pun diam.
"Aku turut berduka cita," kata gadis lain yang memiliki nama Ira.
Vanilla tersenyum.
"Ehm, sepertinya Vanilla harus menemui satu orang lagi," kata Justin.
Semuanya pun menoleh ke Justin.
"Kak Lara?" tanya Rara.
Justin mengangguk, kemudian ia bangkit dan menarik tangan Vanilla. "Katakan pada Mama, bahwa aku membawa Vanilla ke rumah Lara," ucapnya pada Rara dan Ira.
Setelah itu mereka keluar dari rumah dan berjalan ke rumah merah yang berada tepat di samping rumah orang tua Justin.
"Lara siapa?" tanya Vanilla disepanjang jalan.
"Hanya sahabat," jawab Justin.
"Tapi kenapa kamu membawaku ke sana?"
"Katanya dia ingin bertemu," jawab Justin.
Tibalah mereka di teras depan rumah Lara. Beberapa detik kemudian muncul wanita berparas cantik yang memiliki mata yang indah.
"Ini Vanilla?" tanya Lara.
Vanilla mengangguk.
"Kamu cantik sekali," katanya sambil memeluk tubuh Vanilla dengan erat.
Justin dan Vanilla bingung karena reaksi Lara.
"Ayo masuk. Aku ingin bicara denganmu, karena aku mengenal ibumu." Lara menarik tangan Vanilla dan membawa gadis itu masuk ke rumahnya.
Justin sendiri memilih duduk di sofa seraya menikmati segelas wine yang memang sudah ada di sana.
Sedangkan Vanilla dan Lara, mereka mulai mengobrol di taman belakang.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu denganku?" tanya Vanilla.
"Aku ingin mengenal anak dari tunangan Justin. Hanya itu. Ngomong-ngomong, ada yang ingin kukatakan. Tapi berjanjilah jangan beritahu Justin, mengerti?"
Vanilla mengangguk. "Apa tidak apa-apa memberitahuku?"
"Tentu saja," jawab Lara langsung.
"Baiklah, katakan."
"Jadi, ehm, aku mencintai Justin. Sebenarnya kamu memiliki hubungan dulu, tapi itu semua gagal karena sedikit masalah.
"lalu?"
"Aku dan Justin tidak pernah berhubungan lagi, dan itu akan sulit karena perasaan Justin yang berubah. Jadi, bisakah kau membantuku?"
"Bantu seperti apa?"
"Membantuku agar Justin kembali mencintaiku."
Vanilla otomatis mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu bahwa dirinya dan Lara bisa akrab secepat ini.
"Tapi kenapa kamu meminta bentuanku? Aku juga belum mengenal Justin dan---"
"Karena kamu sekarang tinggal di rumahnya. Dan kemungkinan besar kalian akan semakin dekat. Jadi bagaimana? Aku mohon katakan ya."
Vanilla masih memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan pada Lara. Sebenarnya ia ingin menolak karena ia tidak ingin ikut campur, tapi jika ia menolak, maka Lara akan sangat kecewa.
Vanilla mengembuskan napasnya. "Baiklah," jawabnya pelan. Seolah-olah ia tidak ingin melakukan hal itu.
Kemudian Vanilla meneliti wajah cantik Lara. Mata cokelat wanita itu terus ceria, tapi Vanilla dapat merasakan keceriaan itu seperti fake?
Seperti ada yang wanita itu sembunyikan.
***
Malam ini Justin dihadapakan sebuah cobaan lagi. Ia terpaksa berada di satu ruang bersama Vanilla. Sepulang dari rumah orang tuanya, Vanilla langsung merebahkan diri di ranjang Justin, karena kelelahan.
Justin terpaksa membiarkan Vanilla tidur di ranjangnya, karena kamar Vanilla masih belum dibersihkan. Bukan karena belum, tapi memang karena Justin yang lupa meminta seseorang membersihkannya.
Sebenarnya ia bisa saja tidur di kamar Javier, tapi adik nakalnya itu malah menggunakannya untuk 'tidur' bersama wanita-wanita nya.
Justin menghembus napas kesal, dan wajahnya ia usap dengan gusar. Kemudian kedua matanya menatap wajah Vanilla yang tengah tidur dengan lelap.
Beberapa menit kemudian, Justin tidak pernah melepaskan tatapannya dari Vanilla. Wajah gadis itu benar-benar memasukkannya, terlebih bibir ranum yang sukses membuat Justin menggigit bibir bawahnya.
Sialan!
Ia tidak akan bisa tidur jika begini terus. Sepertinya ia harus membersihkan diri dengan air dingin.
"Agh segarnya..."
Justin merasa segar setelah air dingin mengenai tubuhnya. Ia berjalan ke kamarnya lagi dan hanya menggunakan boxer.
Saat akan tidur di sofa, langkah Justin terhenti ketika melihat sekali lagi wajah Vanilla. Sekarang wajah itu terlihat jelas karena sinar rembulan.
Tanpa ia sadari, Justin berjalan dan berjongkok di depan wajah Vanilla. Justin memejamkan matanya dan merasakan aroma napas Vanilla yang menyeruak. Aroma buah-buahan berhasil menghipnotis Justin.
"Eung..."
Erangan Vanilla membuat Justin membuka matanya. Ia melihat lagi wajah cantik Vanilla dan kedua matanya beralih ke bibir nan ranum itu.
Astaga, bibir itu sangat berbeda dengan milik Levina. Namun, ada kesamaan dengan Avira. Sama-sama ranum, tanpa polesan lipstick. Benar-benar kesukaan Justin.
Tanpa sadar, Justin menghilangkan jarak yang ada diantara mereka, sekali gerakan saja, ia akan berhasil menyentuh bibir ranum itu.
"Ap-apa yang kamu lakukan?"
Justin tersentak. Ia terodorng ke belakang dan terkejut melihat Vanilla yang terbangun.
"Apa yang kau lakukan?" Vanilla bertanya sekali lagi.
"A-aku?"
Vanilla mengangguk.
"Oh, aku sedang olahraga. Kamu tahu, olahraga malam sangat baik untuk tubuh," jawab Justin bohong sekaligus gugup.
Vanilla menyipitkan matanya. "Benarkah?"
"Tentu saja, memangnya apa yang akan kulakukan?"
Vanilla masih menyipitkan matanya. Ia tetap memikirkan kenapa wajah Justin sangat dekat dengan wajahnya tadi.
"Astaga, Vanilla. Apa aku terlihat membohongimu?"
"Iya," jawab Vanilla cepat.
Justin terkekeh geli, kemudian ia berdiri tegal dan berjalan ke arah Vanilla. Vanilla yang melihat itu merasa takut. Ia menarik selimutnya hingga menutupi setengah tubuhnya dan berusaha memikirkan apa yang akan Justin lakukan.
"Ka-kamu mau apa?"
Justin tidak merespon. Ia semakin berjalan ke arah Vanilla dan berhenti tepat di depan gadis itu. Ia menunduk dan kedua matanya bertemu dengan mata biru milik Vanilla.
"Bagaimana jika aku melakukan ini?"
Vanilla menyipitkan matanya bingung. Di detik itu juga, Justin menempelkan bibirnya di bibir ranum Vanilla.
Vanilla sendiri membelalakkan matanya.
Plak...
Justin meringis ketika Vanilla tiba-tiba menamparnya. Seolah-olah ia benda yang memang harus ditampar.
"Jan-jangan bercanda," ucap Vanilla gagap lalu menutup dirinya dengan selimut dan tidur membelakangi Justin.
Sedangkan Justin, ia mulai tertawa kecil karena apa yang baru saja terjadi.
"Selamat malam," ucapnya sebelum keluar dari kamar itu. Sepertinya ia akan tidur di sofa tengah.
Setelah merebahkan tubuhnya di sofa, Justin menyentuh bibirnya. "Manis..."
Bibir Vanilla sangat manis. Ditambah napas gadis itu yang membuat Justin betah di sana. Sekarang pikirannya benar-benar dikendalikan Vanilla Fernando. Ia bahkan mulai memikirkan hal yang tidak-tidak, seperti mencumbu Vanilla dan membuat gadis itu mendesah.
"Agh..."
Pikiran Justin benar-benar kacau sekarang. Bagaimana bisa ia memikirkan hal itu disaat istri sekaligus ibu Vanilla baru saja meninggal. Ia memang b***t.
Drt...
Justin dengan malas-malasan mengambil ponselnya dan mulai membuka pesan yang dikirimkan seseorang ke email pribadinya.
Just, kamu merindukan Avira?
Seketika saja tubuh Justin menegang. Tangannya gemetar dan keningnya sudah mengeluarkan keringat dingin.
"Avira..." lirihnya.
Betapa ia merindukan wanita cantiknya itu. Delapan tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakannya, tapi tidak pernah sekalipun Justin berniat menghilangkan rasa sayangnya pada Avira.
Avira Karl, wanita bermata biru yang sanggup menggetarkan hatinya.