PART 3

1350 Words
Setelah meletakkan koper Vanilla di kamarnya, Justin berjalan mencari Vanilla dan ternyata gadis itu masih berada di lantai bawah. Anehnya gadis itu hanya duduk melamun di sofa tengah. Justin mengembuskan napasnya dan berjalan ke arah Vanilla. "Kenapa kamu di sini? Kamu tidak ingin istirahat?" Vanilla mendongak. "Aku akan tidur di sini," jawabnya pelan. "Kamu akan kedinginan, sekarang sedang musim hujan." Justin berjalan dan menarik tangan Vanilla. "Aku tidak bisa tidur denganmu, guru mengatakan untuk tidak melakukannya." Justin mengerutkan keningnya, astaga, ia tidak percaya Vanilla menganggap perkataannya dengan serius. Padahal ia hanya bercanda. "Astaga, Vanilla. Aku tidak serius saat mengatakan itu. Aku akan tidur di ruang pribadiku, dan kamu tidur di kamarku, semuanya beres, kan?" Vanilla mengerjap-ngerjapkan mata indahnya. "Benarkah? Kita tidak akan tidur seperti di drama-drama itu?" Justin ingin sekali tertawa mendengar kepolosan gadis itu. Ia salut dengan guru yang berhasil mendidik Vanilla seperti ini. "Tentu saja tidak, sekarang aku adalah pengampumu, tapi kamu harus memanggilku Justin. Aku tidak setua itu untuk dipanggil Tuan atau Pak, mengerti?" Vanilla tersenyum dan mengangguk. "Maaf sudah membuat kesalahpahaman ini berlanjut, aku hanya ingin menghindari sesuatu yang tidak-tidak." "Yang tidak-tidak? Seperti apa?" goda Justin. Dan lihat, Vanilla benar-benar memikirkan hal itu. Astaga bagaimana polosnya gadis cantik ini. "Seperti yang Mok lakukan? Aku dengar dia hamil di luar nikah, dan aku tidak ingin seperti itu. Itu akan menghancurkan prinsipku." Justin tertegun. Vanilla benar-benar luar biasa. Hidup di London tidak membuat gadis itu mengikuti zaman yang sudah rusak. "Tapi bagaimana jika ada seseorang yang akan melakukan itu kepadamu? Misalnya seperti menciummu?" "Mencium boleh, tapi aku tidak akan membiarkan dia melewati batas," jawab Vanilla tenang. "Bagaimana jika dia melewati batas itu?" "Mudah. Kutinggalkan dia. Kata guru, pria yang seperti itu adalah pria ter-berengsek." Shit... Justin ingin sekali menemui guru sialan yang mengatakan bahwa pria seperti itu adalah pria ter-berengsek. Masalahnya, ia seperti itu. Sebelum itu, ia adalah seorang player. "Bagaimana jika aku yang melewati batas itu?" Vanilla mengerutkan keningnya. "Jangan bercanda, kamu tidak akan melakukannya." "Yeah, tapi bisa saja binatang buas yang disimpan setiap pria terbangun." Vanilla menyipitkan matanya tidak mengerti. "Apa maksudmu nafsu mereka?" Justin tersenyum. Ia berjalan ke sofa yang ada di hadapan Vanilla dan duduk dengan manis. "Salah satunya, sayang." "Oleh karena itu, aku berusaha menjauhi pria sampai saat ini." "Benarkah?" Vanilla mengangguk. "Berarti kamu tidak pernah ciuman, pelukan, atau have a s*x?" Vanilla menggeleng dengan cepat. "Aku hanya akan melakukan itu pada suamiku kelak." Justin tersenyum. "Apa kamu yakin akan menikah?" Vanilla mengangguk. "Bukannya Tuhan sudah mengatur jodoh kita?" Jodoh? Justin berhenti tersenyum. "Kenapa?" Justin menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, aku hanya memikirkan seseorang." "Siapa? Mom?" Bukan. "Salah satunya," jawab Justin bohong. "Ngomong-ngomong, kamu tidak pernah jatuh cinta?" Justin bertanya. Vanilla mengangguk. "Tidak pernah. Aku pun heran kenapa aku belum merasakan cinta, bahkan aku sempat mengira diriku lesbi." Rasanya Justin ingin tertawa dengan keras saat itu. Gadis ini sangatlah polos. "Kamu ingin membuktikan sesuatu?" "Membuktikan apa?" tanya Vanilla bingung. "Bahwa kamu lesbi atau normal." "Caranya?" "Berciuman dengan pria." "Tidak." "Kenapa?" "Aku yakin diriku sangat normal, buktinya aku masih merasakan jantungku berdebar saat kamu melihatku." Gadis ini begitu blak-blakan, dan Justin suka itu. "Sudahlah, sekarang kamu istirahatlah." Vanilla mengangguk. Ia berjalan melewati Justin dan menaiki anak tangga satu-persatu. Setibanya di anak tangga terakhir, ia meoleh ke arah Justin. "Kamarmu yang mana?" Justin ikut menoleh. "Pintu bewarna putih." Vanilla langsung melanjutkan perjalannya dan ketika ia membuka pintu itu, ia terkejut bukan main. Kamarnya sangat indah. Maskulin dan aroma ruangan yang menyegarkan membuat Vanilla menutup matanya. Ia suka dengan kamar ini. Jika boleh, ia tidak ingin pindah esok hari. Tapi, ia harus pindah, karena ini bukan rumahnya. Vanilla mengembuskan napasnya dan berjalan ke ranjang super besar itu. Ia duduk di sana dan meringkuk seperti apa yang ia lakukan di hotel tadi. Alasan kenapa ia meringkuk di hotel adalah, ia memimpikan sang ibu. Ia memimpikan kehadiran Levina di sisinya. Tes... Lihatlah gadis ini. Ia mulai mengeluarkan air matanya. Ia memang terlihat kuat, tapi di balik itu semua, ia menyimpan kesakitan yang luar biasa. Ia tidak pernah bertemu dengan ibunya secara langsung. Ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu yang biasa temannya dapatkan. Dari ia lahir sampai sekarang, ia hanyalah sebatang kara. "Mom..." Ia tidak menyangka ibunya bisa pergi secepat itu. Ia ingin bertemu Levina walaupun hanya sekali. Ia ingin menanyakan sesuatu pada Levina, mengenai ayah kandungnya. Levina hanya mengatakan bahwa ia hasil dari luar nikah di dalam surat-suratnya. Vanilla merasa hampa. Dunianya sudah hancur sejak ia dilahirkan dan dibuang ke London. *** Justin berjalan ke halaman belakang mansion itu. Ia menapaki jalan setapak dan tibalah di taman bunga tulip yang sudah lama ia tanam. Ia berjongkok dan menyentuh daun tulip itu dengan lembut. "Bagaimana kabarmu di sana, Avira?" Avira Karl. Nama itu ingin sekali Justin lupakan. Sebenarnya ia hampir melupakan nama itu berkat Levina, tapi kepergian Levina membuat ia teringat lagi dengan nama itu. Ia pun mengangkat tangan kirinya dan bergerak menyentuh benda bulat yang melingkar di jari manisnya. Cincin... Di dalam cincin itu terdapat inisial. 'A love J' Dor... Justing tersentak. Ia berlari secepat mungkin ke dalam rumah. Ia berlari ke lantai atas dan menuju kamarnya, tempat di mana bunyi itu berasal. Setibanya di sana, ia membuka pintu dan di sana terlihat Vanilla meringkuk di pojokan dengan tangisannya yang keras. Justin langsung berlari ke arah Vanilla dan memeluk gadis itu erat-erat. Kemudian Justin menoleh ke jendela kamarnya. Dan itu pecah. "Mom..." "Sayang, tidak apa-apa," seru Justin yang berusaha menenangkan Vanilla. Vanilla tidak bisa tenang. Ia baru saja mengalami hal yang sangat gila. Bagaimana tidak, ada seseorang yang menembak dirinya dari luar. Beruntung tembakan itu meleset, sehingga hanya vas bunga Justin yang terkena. Vanilla tidak bisa membayangkan jika peluru itu mengenai tubuhnya. "Ak-aku ta-takut..." Justin semakin memeluk tubuh Vanilla. "Tenang, sayang. Semuanya akan baik-baik saja." Tiba-tiba saja rahang Justin mengeras. Sepertinya penembak sialan itu tidak suka dengan keberadaan Vanilla. Sepertinya Justin harus melindungi Vanilla mulai sekarang, mengingat sebelumnya ia gagal melindungi satu perempuan dari peneror psiko itu. "Aku akan tidur di sini, hem?" Vanilla menggeleng. "Tidak bisa, kit-kita harus tidur pis---" Persetan dengan itu. Justin mengangkat tubuh Vanilla dan membawa gadis itu ke kamar Javier. Untuk sekarang, mereka akan tidur di kamar Javier. Ia akan menghubungi Javier untuk tidak pulang malam ini. "Tidurlah!" ucapnya sambil mengecup kening Vanilla dengan lembut. Justin berniat untuk menghubungi Javier, tapi tangannya dicekal Vanilla. "Jangan pergi, ak-aku tak---" "Aku tidak akan pergi," sela Justin seraya mengusap rambut Vanilla. Seperti sihir, Vanilla tertidur karena sentuhan itu. Setelah ia tertidur, Justin meninggalkannya untuk menghubungi Javier dan beberapa pengawalnya. Ia membutuhkan pengawalnya kembali. Ada satu nyawa yang harus ia lindungi sekarang. *** Pagi ini Vanilla bangun sangat awal. Bukan karena ia ingin bangun awal, tapi karena ia baru saja mengalami mimpi buruk. Ia turun dari ranjangnya dan melihat jam di dinding kamar itu. 04.50 Masih pagi dan sangat pagi. Ia berjalan ke kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya di sana. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan pakaian yang sama yang ia gunakan tadi. Saat akan keluar, ia tersentak melihat Justin yang sedang tertidur pulas di sofa. Ia berjalan ke arah Justin dan menunduk untuk melihat wajah tampan pria itu. Tiba-tiba saja Vanilla tersenyum. "Ternyata kamu tampan jika dilihat dari dekat," gumamnya sambil mencolek-colek pipi Justin. "Vir..." Erangan Justin membuat Vanilla tersentak. "Avira..." Vanilla mengerikan keningnya bingung. "Avira? Siapa?" batinnya mulai bertanya-tanya. Tiba-tiba saja tangan Vanilla mulai bergerak, ia membela pipi Justin dengan lembut dan saat itulah Justin dapat tidur dengan nyenyak. Vanilla bahkan dapat melihat bagaimana manis senyuman Justin saat ia membelai wajahnya. Ia pun berdiri dan keluar dari kamar itu. Merasa perutnya bunyi, Vanilla berjalan ke dapur. Kali ini ia akan membuat nasi goreng, karena sudah lama ia tidak mencicipi makanan kesukaannya itu. Saat akan menyalakan lampu dapur, Vanilla terkejut bukan main. Di sana ada Javier yang sedang menikmati sebotol wine. "Kamu bukan---" Belum selesai Vanilla bicara, Javier sudah memeluk posesif pinggangnya dan mencium bibirnya. Vanilla membelalakkan matanya. Astaga, Vanilla, dia menciummu, batinnya mengingatkan. Seolah-olah itu adalah hal yang kurang ajar. "Apa yang ka-kamu lakukan?!" teriak Vanilla sambil mendorong tubuh Javier. Javier sendiri hanya tersenyum nakal dan tiba-tiba saja pingsan tak berdaya di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD