Justin menyesap anggur merahnya dengan tenang, sebelah tangannya tengah sibuk memainkan ponselnya. Sebenarnya ia tidak sedang melakukan sesuatu, tapi ia sedang menunggu pesan dari Vanilla. Hari ini Lara mengajaknya ke Mall, dan tidak tahu mengapa, Justin merasa khawatir dengan gadis polos itu.
"Berhentilah menatap ponselmu dengan tajam, Just."
Justin menoleh ke sampingnya. Ada Mike. Temannya yang sedang b******u dengan wanita malamnya.
"Sebaiknya kamu fokus ke kerjaanmu, Mike."
Mike menyudahi kebiasaannya dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ke wanita-wanita uang ada di sampingnya. Kemudian Mike mengambil wine dan menegaknya langsung.
"Ada apa? Apa ada sesuatu yang membuat seorang Justin gelisah? Apa karena Levina?"
Justin menggeleng. Ia bahkan tidak mengingat lagi nama wanita itu, seolah-olah Levina sudah menjadi debu yang terbang melewati Justin.
"Lalu siapa? Apa gadis polos yang membuatmu terangsang itu?"
Justin mengalihkan tatapannya ke Mike dan memberikan tatapan super mengerikannya pada pria blasteran Jerman-Indonesia itu.
"Sudahlah, Mike. Jangan membuatku ingin menghajarmu," kata Justin malas.
Mike terkekeh geli. "Sepertinya aku benar. Akhir-akhir ini kau sering berbicara tentang Vanilla. Aku jadi penasaran bagaimana rupanya. Apa ia secantik Levina atau Avira?"
Mike tahu bahwa perkataannya itu akan membuat hati Justin berdetak dengan kencang. Namun, itulah Mike. Pria dengan segala pesonanya yang sering mengucapkan sesuatu tanpa ia pikir terlebih dulu. Dan Justin seringkali menjadi korbannya, tapi ia tetap diam karena ia sangat meangenal Mike.
"Dia secantik Avira, tapi dia selembut peri. Kalau boleh memilih, dia melebihi kecantikan Avira dengan mata birunya."
Jawaban Justin cukup memberikan gambaran yang sempurna tentang Vanilla. Dan itu semua semakin membuat Mike penasaran.
"Kamu menyukainya, kan?"
Otomatis Justin mengerutkan keningnya. "Jangan bercanda, Mike. Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda."
"Aku tidak dalam kondisi untuk bercanda, Justin. Kamu menyukainya dan itu terlihat jelas di matamu. Ayolah, Just. Jangan mencoba membohongi pria tampan ini. Kita bersahabat sejak kau melepaskan Lara dan mulai mencintai Avira, remember?"
Justin menggigit bibir bawahnya. Mana mungkin ia mengalahkan Mike, disaat pria Yunani itu selalu menang jika berargumen dengannya.
"Aku selalu mengingatnya, Mike. Dan aku harap kamu tidak sedang membuatku mengingat kembali kenangan itu."
Mike tertawa kecil. "Jangan munafik, Justin. Kamu bukan Reno yang bilang akan melupakan Sintia tapi malah menidurinya."
"Mengenai Reno. Ke mana b******n itu?"
"Kamu berusaha mengalihkan pembicaraan rupanya. Oke, aku gubris. Katanya dia sedang mengantar Sintia ke butik untuk membeli gaun."
"Apa mereka akan menikah, sehingga membeli gaun."
Mike mendesis dan menyandarkan punggungnya ke belakang. "Kamu benar-benar... malam ini ada pesta topeng. Kamu tidak melupakannya, kan?"
Justin lupa. Dan tentu saja dia melupakan acara yang tidak penting itu.
"Sudah kuduga. Kamu harus datang dan membawa pasangan. Ingat, kamu akan menyakiti keluarga Karl jika tidak datang. Aku tidak tahu kenapa kamu selaku menolak jamuan mereka. Apa karena Avira?"
Tidak dijawab pun, Mike sudah tahu apa jawaban Justin. Ia sahabat terdekat Justin, dan sudah sepatutnya ia mengetahui itu semua.
"Aku hanya merasa bersalah, Mike. Kupikir kepergian Avira diseb---"
"Itu bukan kesalahanmu, Just. Salahkan Avira yang pergi disaat kamu melarangnya," sela Mike serius.
Atmosfer yang ada di ruangan itu benar-benar berubah. Semuanya menjadi serius, dan tidak ada tanda kebercandaam di sekitar mereka.
"Tetap saja, Mike. Jika aku mencegahnya pergi, maka ini semua tidak akan terjadi."
Mike menatap Justin dengan serius. Tatapan sedih itu ia tujukan pada Justin. Dan Justin benar-benar risih akan hal itu.
"Sudahlah, aku juga harus siap-siap. Kamu bilang malam ini harus membawa pasangan, kan? Maka aku akan membawa Vanilla."
Tiba-tiba sebuah senyuman terekam jelas di wajah Mike. Dan Justin paham akan senyum itu.
"Jangan berani-berani, Mike..."
"Tenang saja, Just. Aku hanya akan mengajaknya berdansa nanti," kata Mike sambil menegak minumannya.
"Dasar..."
Setelah itu Justin bangkit dan pergi meninggalkan Mike yang masih bergelayut mesra dengan wanita panggilannya yang batu.
***
Demi dewa Neptunus, Justin hanya bisa membuka mulutnya tak percaya. Keadaan rumahnya benar-benar kacau seperti kapal pecah. Dan dua orang yang ia yakini sebagi pelakunya, sedang duduk tanpa saling memandang di sofa tengah.
"Javier, Vanilla, bisa kalian cerita apa yang kalian lakukan sampai membuat rumah ini seperti kapal pecah?!"
Tidak ada yang menjawab. Baik Javier maupun Vanilla, keduanya hanya fokus ke jalan pikiran masing-masing.
"Javier, tell me!"
Javier menyerah. Ia menoleh ke arah Justin. "Gadis ini ingin membunuhku."
Justin mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu dengan kata 'membunuh'?"
Javier menarik napasnya dalam-dalam. "Karena aku menciumnya kemarin, dia jadi melakukan segala cara untuk membuatku terluka. Seperti meletakkan telur mentah di lantai dan sabun batang. Bukankah ini gila, Just? Dia seperti anak kecil."
Vanilla yang mendengar perkataan Javier, segera bangkit dan menampar pipi pria itu. Justin dan Javier sontak tercengang.
"Jika saja hukum di dunia tidak berlaku, maka aku sudah mencincang tubuhmu menjadi delapan bagian. Kemudian akan ku goreng setengah matang, dan kuberikan ke Kitty!"
"Siapa Kitty?" tanya Justin, yang sontak membuat Javier memandangnya dengan tajam.
"Kucing liar di depan rumah," jawab Vanilla tanpa mengalihkan tatapan tajamnya pada Javier.
Justin hanya mengangguk dan berusaha skeuat mungkin untuk menahan tawanya agar tidak keluar, dan membuat Javier memusuhinya.
"Dasar gila. Kamu itu benar-benar gila. Lihat dirimu! Cantik, tidak. Bahkan kamu tidak memiliki p******a seperti artis Hollywood. Milikmu benar-benar kecil."
Plak...
Justin meringis ketika melihat pipi Javier yang ditampar kedua kalinya oleh Vanilla.
"Dasar Ayam... lihat saja, aku akan membunuhmu. Tidak peduli kamu siapa. Agh, Justin ... lihat pria ini. Dia benar-benar menyebalkan."
Javier bersiap-siap untuk melawan Vanilla, tapi Justin menghentikannya.
"Vanilla, bisakah kita bicara?"
Vanilla mengangguk. "Aku ingin bicara di kamarku." Setelah itu ia berbalik dan berlari ke kamarnya yang ada di lantai dua.
"Astaga, Dewa Neptunus. Apa kesalahanku sampai bertemu dengan gadis polos menyebalkan itu?" gerutu Javier sambil merebahkan dirinya ke sofa.
Justin hanya menggelengkan kepalanya. "Kau benar-benar. Jangan mengganggunya, Javier. Atau aku akan mengusirmu, mengerti?"
"Cih ... terserah kau saja," balas Javier malas.
Justin pun menghela napasnya dan berlari ke kamar Vanilla.
Setibanya di sana, ia membuka pintu kamar Vanilla dan terkejut ketika melihat Vanilla sedang berdiri di cermin. Justin mengerutkan keningnya bingung, tapi saat Vanilla menggunakan kembali perkataan Javier tadi, ia tahu apa yang Vanilla amati.
Gadis itu sedang memastikan apakah payudaranya benar-benar kecil. Astaga, Justin ingin tertawa saat itu juga.
Tok... Tok...
Vanilla langsung terperanjat dan ia segera membalikkan tubuhnya. Sedangkan Justin, ia masuk ke dalam dan berdiri di belakang Vanilla.
"Vanilla Fernando?"
Vanilla dengan wajah yang tertunduk, berbalik dan ia tidak berani menatap mata Justin.
Justin tertawa geli dan ia menyentuh dagu Vanilla dengan lembut. Vanilla pun berani menatap mata Justin.
"Kenapa? Kamu malu?"
Vanilla tidak menjawab, tapi wajahnya yang bertemu merah membuat Justin tahu jawabannya.
"Kamu jangan cemas, suatu saat aku akan membuatnya menjadi besar," kata Justin dengan nada yang terdengar seksi.
Vanilla mengerutkan keningnya bingung. "Apa maksudnya?"
Justin tersenyum manis dan membawa Vanilla ke ranjang. Mereka duduk di sana sambil berhadapan.
"Kamu akan tahu saat waktunya tiba. Ngomong-ngomong, kamu ingin ke pesta topeng?"
Wajah Vanilla langsung berubah ceria. Pesta topeng adalah kesukaannya, karena ia percaya bahwa saat seorang gadis mengenakan topeng, maka gadis itu akan terlihat cantik. Ia tidak pernah ke pesta topeng sebelumnya, tapi ia sering melihatnya di televisi dan Vanilla pernah berharap, bahwa suatu hari ia ingin datang ke pesta topeng.
"Bolehkah? Tapi aku tidak memiliki gaun."
"Jangan khawatir, aku akan menyiapkan gaunmu. Sekarang, lebih baik kamu tidur dan akan ku bangunkan tiga jam sebelum pesta."
Vanilla mengangguk dan segera membaringkan dirinya di ranjang. Justin terus tersenyum memperhatikan Vanilla. Ia pun berdiri dan menunduk sedikit untuk mengecup kening Vanilla. Setelah itu ia berjalan keluar dari kamat itu, karena jika ia tidak cepat keluar, maka ia khawatir dirinya tidak bisa menahan dirinya.
***
Seperti yang Justin bilang, tiga jam sebelum acara dimulai, Vanilla sudah bangun dan sekarang gadis itu tengah dirias oleh suruhan Justin.
Justin dan Javier sudah siap dengan setelahnya. Justin tampak gagah dalam balutana kemeja biru dan jas hitam. Rambutnya ia sisir rapi dan membuat dirinya terlihat semakin gagah. Javier pun tidak kalah kerennya dengan Justin.
Satu jam kemudian Vanilla turun dari lantai atas. Dan bisa dikatakan penampilan Vanilla malam ini benar-benar luar biasa. Gadis itu mengenakan gaun hitam yang hanya memperlihatkan punggung mulusnya.
"Ayo," ucap Vanilla yang berhasil mengembalikan kesadaran Justin saat itu juga.
Justin yang gugup segera menggandeng Vanilla dan membawa gadis itu ke mobilnya. Sedangkan Javier, ia hanya mencibir karena melihat adegan itu. Namun, ia tetap mengikuti keduanya dari belakang.
Setibanya di sana, Justin langsung membawa Vanilla ke lantai dansa setelah membantu Vanilla mengenakan topengnya.
"You can dance?" tanya Justin.
Vanilla menggeleng.
"Okay, ikuti aku," kata Justin lalu ia menyentuh pinggang Vanilla dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya.
"Kamu sangat harum," bisik Justin ke telinga Vanilla.
"Just, kau bilang kita akan berdansa."
Seakan ingat, Justin menjauhkan dirinya dan sekarang mata cokelat nya berhadapan dengan mata biru Vanilla. Tiba-tiba saja, senyuman nakal muncul di wajahnya.
"Vanilla, kamu ingin melakukan sesuatu?"
"Apa?"
"Kiss dance."
"Apa itu?"
"Kita berciuman di lantai dansa." Oke, anggap Justin gila karena mengarang itu semua. Tapi, ia benar-benar tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menyentuh bibir ranum Vanilla.
"Are you kidding me? Kita tidak boleh berciuman."
"Kata siapa?"
"Kata gu---"
"Jangan menyebutkan itu," sela Justin dengan nada tak suka nya.
"Oke, tapi tetap saja kita tidak boleh melakukannya. You're my mother's fiance, dan i'm your fiancee's daughter, remember?"
"Stepdaughter, Vanilla." Justin mengoreksi.
Vanilla menghembuskan napasnya. "Tetap saja."
"Baiklah begini. Bagaimana jika kita bermain 'I kiss you and you will fly', Pernah dengar?"
Vanilla menggeleng. Siapa juga yang memberi nama permainan gila ini.
"Aku menciummu dan kamu akan merasa terbang, bagaimana?" ulang Justin dalam bahasa Inggris.
"Bisakah?"
Justin mengangguk. "Ingin mencoba? Kamu akan kuberi hadiah kucing. Aku dengar dari pelayan, kamu sering membicarakan kucing tadi pagi."
Wajah Vanilla berubah ceria. "Setuju."
Saat itu juga, Justin mendekatkan bibirnya ke bibir Vanilla dan mengecup lembut bibir ranum itu. Vanilla hanya diam karena gadis itu bingung harus melakukan apa. Tapi, Vanilla merasa terbang karena permainan ciuman Justin yang mampu mendorong alam bawah sadarnya untuk meminta lebih.
"Bagaimana?" Justin mengakhiri ciumannya.
"Amazing. Ini yang dinamakan French Kiss?"
Justin mengangguk. "Ini yang dinamakan French Kiss."
Sekali lagi Justin mencium Vanilla, tapi kali ini lebih dalam dengan lidahnya yang masuk ke mulut Vanilla. Ia semakin memperdalam ciumannya dan mencecap setiap rasa yang ada di mulut Vanilla.
Strawberry, jeruk, dan sebagainya. Oh astaga, aroma buah-buahan Vanilla benar-benar merusak akal sehatnya.
Setelah cukup lama mereka berciuman, Justin mengakhirinya karena Vanilla kesulitan bernapas.
"Ingin lanjut?" tanya Justin nakal.
Vanilla menggeleng. "Jangan melewati batas, Justin."
Kemudian Vanilla melepaskan diri dari Justin dan pergi ke arah minuman. Tiba-tiba saja tenggorokannya kering, dan ia ingin meminum sesuatu.
"Agh..."
Vanilla meringis. Ia merasakan benda asing masuk ke perutnya. Kemudian ia menggerakkan tangannya ke perutnya dan terkejut saat melihat darah segar mengalir dengan derasnya.
"Bye," ucap gadis yang melakukan hal itu. Dengan gaun merahnya, gadis itu berjalan dengan santai dan pergi meninggalkan Vanilla yang wajahnya sudah pucat pasi.
Tiba-tiba saja, kesadaran Vanilla menghilang dan ia jatuh ke lantai, sehingga membuat sebagian orang menoleh ke arahnya.
"Vanilla!" teriak Justin, lalu berlari ke arah Vanilla.
"Panggil ambulan!" teriak Justin sekali lagi.
"Oh, astaga, Vanilla..."