"Siapa dia, Justin?" tanya Sonia. Wanita paruh baya itu sedang menggenggam jemari Vanilla yang dingin.
"Ayah Vanilla," jawab Justin. Tampang wajahnya masih datar. Ia sedang memikirkan cara apa yang akan ia lakukan untuk membuat Alex diam dan menyetujui apa yang ia inginkan. Ia menoleh ke Vanilla dan tersenyum.
Kemudian Justin berjalan tegak ke teras depan dan ia langsung disuguhi pemandangan dua pria yang dikenalinya beserta bodyguards.
"Mana Vanilla?" tanya Alex langsung dengan nada yang tunggi dan tegas. Seolah-olah Justin adalah tersangka dari penculik anaknya.
"Di dalam," jawab Justin santai. Ia berjalan satu langkah dan menutup pintu utama. Alex dan Alec mengerutkan keningnya.
"Aku ingin kita bicara berdua, Tuan Fernando."
Alex tidak segera menjawab.
"Aku mohon, demi putrimu yang saat ini sedang mengandung anakku."
Alex tampak terkejut. Sepertinya ia baru menyadari jika Justin sudah mengetahui tentang kehamilan Vanilla.
"Jadi bagaimana?"
Alex bingung. Ia menoleh ke arah Alec dan Alec hanya memberinya anggukan. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk berbicara empat mata di taman yang ada di samping rumah.
Di sana, mereka duduk berhadapan dengan dua gelas minuman yang mampu menyejukkan hati dan pikiran mereka.
"Aku tahu kau tidak menyukaiku karena perusahaan kita adalah rival dan karena aku adalah mantan suami dari Levina, tapi percayalah, aku sangat mencintai putrimu, Vanilla."
Alex akan terus mendengar penjelasan Justin, karena itu adalah perjanjian mereka untuk saling menghargai lawannya saat berbicara.
"Aku akan menikahi Vanilla minggu ini, dan aku berjanji, Tuan Fernando yang terhormat, aku akan menjaga Vanilla dari apapun. Aku tahu kau adalah Ayah yang terbaik bagi Vanilla, dan aku percaya kau akan mengambil keputusan seperti apa?"
Alex sedikit luluh dengan perkataan Justin. Ia mencoba untuk melihat keseriusan di mata cokelat itu, dan ia menemukannya.
"Aku berjanji, jika aku menyakiti Vanilla, maka aku akan menerima konsekuensi darimu. Meskipun kau membunuhku sekalipun, aku tidak peduli," janji Justin serius. Tatapannya begitu berbeda dan siapapun yang melihat itu, pasti percaya jika ia tidak sedang main-main.
"Jadi, bagaimana?"
"Jadi kau serius mencintai putriku?"
Justin mengangguk.
"Aku dengar kau teman Alec, jadi aku akan minta pendapat seseorang yang sudah mengenali sikapmu."
Saat Alex menghubungi Alec, Justin sedikit risih. Ia takut Alec akan mengatakan hal yang buruk mengenai dirinya, mengingat ia dan Alec sekarang ini tidak memiliki hubungan yang baik.
Beberapa detik kemudian Alec muncul dengan kedua tangan yang ia masukkan ke salam saku celana. Tatapan matanya tidak pernah ia lepaskan dari Justin.
"Aku ingin bertanya."
"Silakan," balas Alec.
"Apa pria ini benar-benar bisa dipercaya? Kau mengenalnya, kan? Jadi aku pikir kau bisa tahu bagaimana sifatnya."
Alec menatap Justin dengan serius. Ia mengangkat sudut bibirnya sedikit, dan itu membuat Justin lemah.
"Dia ... "
***
Vanilla tidak tenang. Ia merasa akan mati penasaran karena menunggu Justin yang tidak kunjung kembali ke sisinya. Ia mencoba untuk tenang, tapi tetap tidak bisa. Bahkan Sonia dan Javier sudah membantunya.
"Tenang, sayang. Justin akan baik-baik saja," seru Sonia. Wanita cantik itu berusaha semampunya untuk menenangkan Vanilla.
"Mama benar, meskipun Justin sedikit bodoh, tapi ia selalu bisa menyelesaikan masalah," timpal Javier.
Vanilla pun sedikit lega. Benar, Justin pasti bisa meluluhkan Alex. Apalagi dirinya sekarang sedang hamil, dan ia percaya bahwa Alex akan setuju. Namun, bagaimana jika tidak?"
Vanilla mendongak. Ia berdiri tegak ketika Justin muncul dengan kepala yang ditundukkan ke bawah. Bukan hanya itu, Vanilla dapat merasakan hawa hitam di samping Justin. Apakah gagal? Jadi, dirinya tidak bisa bersama Justin?
"Justin..."
Justin mendongak dan langsung berjalan memeluk Vanilla dengan erat. Perasaan Vanilla tidak enak.
"Kita..." Justin tidak melanjutkan ucapannya. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Vanilla dengan kedua tangan yang berada di pipi Vanilla.
"Kita kenapa?" Vanilla semakin khawatir. Jantungnya terus berdetak dengan kencang.
"Kita akan menikah," seru Justin dengan senyum yang terekah sempurna dia wajah tampannya, sehingga memunculkan lesung pipitnya yang terbaik.
Vanilla tidak mempercayai semuanya. Jadi, ekspresi tadi bohong?
"Ayahmu sudah menyetujuinya."
Vanilla tampak terkejut. "Daddy sudah setuju?"
"Benar, sayang." tiba-tiba saja Alex dan Alec muncul dan membuat Vanilla tersenyum dengan lebar.
"Jadi, anak ini akan segera memiliki Ayah?"
"Tentu saja, sayang. Lagipula ia sudah memiliki Ayah mulai awal."
Vanilla terus tersenyum, bahkan senyumannya itu membuat Justin salah fokus. Justin mendekatkan wajahnya ke wajah Vanilla dan seperti tahu apa yang akan Justin lakukan, Vanilla menutup kedua matanya.
"Ehem..."
Ciuman itu tentu saja tidak terjadi. Mereka berdua merasa malu dan bodoh karena lupa dengan keberadaan semua orang.
"Menikahlah besok."
Ucapan Alex membuat Justin dan Vanilla menoleh.
"Aku tidak ingin putriku mendapatkan masalah karena hamil di usia dini, lagipula akan sangat bahaya jika media mengetahuinya."
Sonia terlihat gembira mendengar perkataan Alex. Ia pun berjalan ke arah Alex dengan senyuman yang manis. "Tenang saja, pihak pria akan menyiapkan gedungnya untuk besok."
Alex pun hanya tersenyum. Justin dan Vanilla hanya mengedikkan bahu dan saling memandang. Sedangkan Alec, wajahnya terlihat muram. Ia mengembuskan napasnya dan berjalan ke teras. Ia memberi perintah pada bodyguards untuk pergi dan kembali ke markas. Ia sendiri akan pergi ke suatu temapt, tapi langkahnya terhenti saat ia keluar dari pekarangan rumah.
Ia menoleh ke sisi kiri, dan Alec terkejut saat melihat wanita yang sangat ia kenali berada di sana.
"Avira?"
Avira menoleh. Wajah wanita itu terlihat sedih dan marah. Avira berjalan ke arah Alec dan menatap pria itu dengan tajam.
"Seharusnya aku membunuhnya semalam," kata Avira.
Alec melebarkan matanya. Ia bingung dengan perkataan Avira.
"Kalian semua menyebalkan!"
Alec semakin bingung. Ia mencoba untuk menyentuh tangan Avira, tapi tangannya segera ditepis.
"Aku akan membunuh wanita yang berada di dekat Justin. Aku janji," ucap Avira penuh amarah. Ia berbalik dan berlari ke mobil sedannya yang terparkir tidak jauh dari rumah Justin.
Alec merasa lemah seketika. Ucapan dan tatapan Avira benar-benar serius. Ia tahu jika selama ini Avira-lah yang mengikuti Justin. Dan sekarang wanita itu sedang mengejar Vanilla. Oh astaga, apa yang akan Avira lakukan? Jika ia melukai Vanilla, maka bayi yang ada di perut Vanilla juga akan terluka.
Sial! Sial! Ia harus memberikan pengawasan yang lebih untuk Vanilla.
***
Vanilla terus menggigit bibir bawahnya sepanjang pertemuan keluarga setelah acara pemberkatan di Gereja tadi. Tidak henti-hentinya ia menggenggam jemarinya. Dan itu membuat Justin bingung.
Justin berjalan ke arah Vanilla yang sedang duduk di sofa tengah. Seluruh keluarga mereka berada di halaman belakang untuk menikmati pesta kecil-kecilan atas pernikahan mereka. Pernikahan ini benar-benar dadakan, bahkan mereka hanya mengundah beberapa orang saja, padahal keluarga Fernando dan keluarga O'brian memiliki kerabat yang sangat banyak. Itu tidak masalah bagi Justin, lagipula mereka akan melaksanakan resepsi besar-besaran bulan depan.
"Ada apa?" tanya Justin. Ia memeluk tubuh Vanilla dan membuat gadis itu tersentak.
"Melamun lagi, aku sering melihatmu melamun dari Gereja. Ada apa, sayang?"
Vanilla tidak menjawab. Ia masih menggigit bibir bawahnya dan menatap Justin dengan serius.
"Berhenti menggigit bibirmu, Vanilla," geram Justin. Namun, Vanilla tidak berhenti melakukan itu.
"Aku benar-benar cemas," seru Vanilla dengan kening yang berkerut.
"Cemas kenapa?"
"Apa kita akan melakukan 'itu'?"
Justin mengerutkan keningnya. Melakukan apa?
"Apa maksudmu, Vanilla."
"Jangan berlagak bodoh, Justin. Kau itu sudah dewasa, dan aku tidak akan bisa dibohongi."
Justin paham. Ia pun berusaha untuk menahan senyumnya, tapi meskipun begitu, Vanilla dapat melihat senyuman Justin. Vanilla kesal. Ia memukul d**a bidang Justin dan berniat melepaskan diri, tapi Justin tidak membiarkannya. Pria itu malah menggendong Vanilla ala bridal style dan membawanya masuk ke kamar.
"Ma, Justin dan Vanilla ke kamar," teriak Justin. Hal itu tentu saja membuat Vanilla malu dan mulai menenggelamkan wajahnya.
"Oke, sayang. Hati-hati, kandungan Vanilla masih lemah," balas Sonia dengan suara yang tidak kalah tegas. Dan tentu saja itu membuat Vanilla semakin malu.
"Kau gila," omel Vanilla ketika Justin mendudukkan Vanilla di pangkuannya, sedang nya dirinya sendiri duduk di sofa kamar.
Justin terkekeh geli dan mulai mencubit hidung Vanilla yang memerah. "Menggodamu adalah anugerah terbaik, sayang."
Vanilla mencibir dan memutar matanya jengah. Sontak hal itu membuat Justin geram. Ia berniat mencium Vanilla, tapi Vanilla dengan cepat menempelkan telunjuknya di bibir Justin.
"Aku masih belum memaafkanmu, Justin."
Justin mengerutkan keningnya bingung. Ia selalu tidak paham dengan kalimat yang keluar dari mulut Vanilla.
"Memangnya aku salah apa?"
"Kau sudah memperkosaku dulu," jawab Vanilla santai dan berniat untuk turun dari pangkuan Justin. Justin pun membiarkannya karena Vanilla terlihat risih dengan gaun pengantinnya.
"Astaga, Vanilla. Karena itu juga kita memiliki anak, seharusnya kau menyukai---"
Perkataan Justin terhenti karena tatapan mematikan dari Vanilla. "Diam dan bantu aku melepaskan gaun sialan ini!"
Justin mengembuskan napasnya kesal, tapi ia tetap berjalan ke arah Vanilla dan membantunya melepas gaun. Akhirnya, gaun itu benar-benar terlepas dan memperlihatkan tanktop dan hotpant seksi yang Vanilla gunakan.
Vanilla memungut gaunnya dan memasukkannya ke walk-in closet. Ia akan membereskannya besok.
"Vanilla..." rajuk Justin.
"Diam, Justin. Don't be childish!" Vanilla berjalan ke kamar mandi dan menutup pintu dengan bantingan yang keras.
"Agh..." Justin tampak frustrasi. Ia menginginkan jatah malam ini.
"Justin," panggil Vanilla dari balik pintu.
"Ada apa?!"
"Ingin mandi bersama?"
Senyuman Justin langsung muncul. Dengan cepat ia berlari ke kamar mandi dan menutup pintu dengan cepat.
Beberapa menit kemudian, Vanilla dan Justin keluar dengan rambut yang basah dan bathrobe bewarma biru tua. Vanilla berjalan ke meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya, sedangkan Justin berjalan ke walk-in closet.
Setelah Justin keluar, barulah Vanilla masuk untuk mengenakan pakaiannya. Beruntung, seluruh pakaiannya masih ada di rumah Justin, jadi ia tidak susah payah memindahkannya ke kamar Justin.
Vanilla keluar dengan hanya menggunakan boxer dan kemeja kebesaran milik Justin.
"Kau suka mengenakan itu?" tanya Justin yang sudah mulai berkutat ke laptopnya.
Vanilla mengangguk dan berjalan ke arah Justin.
"Duduk sini," pinta Justin. Vanilla pun menurutinya dan duduk di pangkuan Justin. Ada sesuatu yang ingin Vanilla bicarakan.
"Justin," panggil Vanilla lembut.
"Em?"
"Bagaimana jika aku tidak mencintaimu?"
Justin terdiam. Fokusnya ke laptop langsung hilang. Ia menatap Vanilla lekat-lekat dan mencari tahu apa yang ada di pikiran Vanilla. Namun, ia tidak juga menemukannya.
"Bagaimana jika kita tetap menjalankan pernikahan ini tanpa cintaku? Apa yang akan terjadi?"
Rasanya Justin ingin marah. Namun, ia tahu jika itu tidak bisa menyelesaikan amarah. Ia pun memilih jalan tenang.
"Vanilla, aku sudah janji untuk membuatmu mencintaiku."
"Bagaimana jika cinta itu tidak muncul?"
Pertanyaan bodoh yang mampu membuat Justin kehilangan rasa semangatnya.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi aku hanya takut, suatu saat, aku mencintai pria lain dan---hmmptt..."
Ciuman itu berbeda dengan kelembutan yang Justin berikan. Vanilla tahu jika pria yang sudah menjadi suaminya ini marah. Marah dengan perkataannya yang terdengar sangat menyakitkan.
Justin terus mencium Vanilla, bahkan ia tidak membiarkannya menghirup udara. Justin merobek kemeja Vanilla dan membuat dua gunung yang kenyal tampak olehnya.
"Enggg..." erangan Vanilla yang keluar karena perlakuan Justin, membuat junior Justin sakit. Ia ingin sekali memasuki Vanilla. Namun, ia akan melakukannya perlahan. Ia tidak ingin menyakiti Vanilla dan bayinya.
Justin membawa Vanilla ke ranjang, dan membaringkan tubuh mungil itu. Ciumannya belum ia lepaskan, dan itu membuat Vanilla hampir kehabisan oksigen.
"Justin!" akhirnya Vanilla berhasil melepaskan pagutan bubir mereka.
"Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?" tanya Justin sedih.
Vanilla merasa bersalah.
"Maaf," ucap Vanilla seraya membelai wajah tampan Justin. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku janji tidak akan melakukannya lagi."
Justin mengecup bibir Vanilla lembut. "Percayalah, Vanilla. Tidak akan ada pria lain yang menghinggapi hatimu. Tidak akan ada pria lain yang akan menjadi sandaranmu. Tidak akan pernah ada, kecuali aku."
Justin membelai wajah Vanilla dan menyingkirkan anak rambut Vanilla yang menutupi pipinya. "Jika itu terjadi, maka aku akan menyadarkanmu dan berteriak sekeras mungkin ke seluruh dunia bahwa aku adalah jodoh yang Tuhan kirimkan. Kau jangan pernah melupakan setiap kata yang kuucapkan, Vanilla. Aku milikmu dan kau milikku."
Justin mengembuskan napasnya sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku akan terus mencintaimu, maka kau juga harus selalu mencintaiku. Cinta itu bisa datang kapan saja, Vanilla. Dan aku akan memetik cinta itu untukmu. Karena dengan begitu, kau akan selalu mencintaiku."
Ya Tuhan, Vanilla begitu tertegun. Setiap kata yang Justin keluarkan benar-benar menyentuh hatinya. Vanilla pun tersenyum, dan entah dari mana datangnya keberanian itu, ia mencium bibir Justin lebih dulu.
***
Hal pertama yang Vanilla lihat ketika dirinya bangun adalah penampakan wajah tampan Justin. Ia tersenyum karena bisa melihat wajah tampan Justin setiap hari mulai sekarang. Ia mengecup bibir Justin dan beranjak dari ranjang dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun. Benar, tadi malam dirinya dan Justin berhasil melewati permainan yang sangat nikmat, bahkan mereka sampai melakukan sebanyak lima ronde. Sebenarnya Justin ingin lebih, tapi ia masih memikirkan anaknya dan juga Vanilla yang kelelahan.
Setelah membersihkan diri, Vanilla terlihat segar dengan dress selutut kesukaannya. Ia pun turun ke lantai bawah untuk melihat apakah seluruh keluarganya sudah bangun, tapi ia hanya mendapatkan memo kecil yang mengatakan bahwa mereka sedang berlibur.
Ini benar-benar aneh. Bukankah seharusnya dirinya dan Justin yang berlibur? Oh astaga, ini bulan madu terburuk.
Ting nong...
Suara bel membuyarkan Vanilla. Dengan cepat ia berjalan ke pintu utama dan mulai membuka pintu dengan pelan.
"Hai..."
Vanilla mengerutkan keningnya menatap wanita cantik dengan mata yang indah.
"Siapa ya?" tanya Vanilla.
Wanita itu tersenyum. "Aku Avira."
Vanilla mengerutkan keningnya. Nama itu sepertinya tidak asing di telinganya, tapi siapa dia? Kenapa ia berkunjung sepagi ini?