Mata cokelat itu tidak pernah berhenti memandang wajah mungil dengan bentuk wajah yang pasti diinginkan semua perempuan. Tidak pernah sekalipun Justin meragukan kecantikan alami wajah mungil itu. Baginya, wajah itu adalah perpaduan beberapa bidadari dan peri yang memiliki kecantikan yang khusus.
Justin tersenyum. Melihat Vanilla tidur pulas di ranjangnya membuat hatinya bahagia. Ia ingin terus merasakan kebahagiaan seperti ini. Bangun dan tidur, ia selalu berada di sisi Vanilla. Keinginan yang mudah, tapi pencapaian yang membutuhkan perjuangan.
Helaan napasnya terdengar berat. Pikirannya melayang ke ucapan Vanilla mengenai peneroran itu. Astaga, ia tidak tahu apa motif dibalik peneror itu. Jika saja Justin mengetahui siapa itu, maka ia tidak akan tingal diam. Tidak akan ia biarkan Vanilla dan bayinya terluka sedikitpun.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi, dan itu membuat Justin kembali mengantuk. Melihat ketakutan di mata Vanilla benar-benar membuang energinya. Ia pun mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana pendek selutut dan naik ke ranjang. Ia membelakangi Vanilla karena ia takut jika gadisnya terbangun dan marah. Marah karena melihat Justin tidur di ranjang itu. Justin hanya ingin menemani Vanilla.
"Eung..."
Justin menoleh dan memutar badannya agar bertatapan dengan punggung Vanilla. Namun, sedetik kemudian, Vanilla berbalik dan membuat wajah mereka bertemu. Justin tersenyum. Ia menyingkirkan anak rambut Vanilla dan memperlihatkan bulu mata Vanilla yang lentik. Benar-benar cantik.
Vanilla menggeliat, dan Justin menjauhkan tangannya dari sana. Saat itu juga, Vanilla semakin merapatkan tubuhnya. Sepertinya ia kedinginan, mengingat suhu AC berada di 19. Justin berusaha menurunkan suhunya, tapi pergerakannya itu membuat Vanilla terbangun.
"Maaf..."
Vanilla tetap diam. Mata birunya masih fokus memandang Justin yang sedikit takut jika Vanilla marah. Justin berniat untuk pergi, tapi lengannya ditarik Vanilla dan gadis itu mulai memeluknya serta membenamkan wajahnya di d**a Justin.
Justin tentu saja terkejut. Ini kali pertama Vanilla melakukannya.
"Kau kedinginan?"
Vanilla mengangguk.
"Ingin kunaikkan suhunya?"
Vanilla menggeleng. Dan itu membuat Justin bingung.
"Hanya seperti ini aku sudah merasa hangat."
Ada rasa bahagia di hati Justin saat Vanilla mengatakan hal itu. Senyumannya merekah seiring dengan pelukannya pada tubuh Vanilla yang semakin erat.
Vanilla juga tidak lupa untuk merapatkan tubuhnya, dan mulai memejamkan matanya. Begitu juga dengan Justin. Mereka pun menikmati malam yang indah berdua.
*
Keesokan harinya, Vanilla terbangun lebih awal daripada Justin. Ia melihat jam di nakas, dan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia ternyata tidur selama delapan jam, dan itu waktu yang bagus.
Ia menyadari keberadaan Justin secepatnya. Kemudian ia menatap wajah tampan Justin yang sedang terlelap. Tiba-tiba saja semburat merah muncul di pipinya. Ia mengingat kembali perkataannya saat memeluk Justin. Sungguh, ia merasa malu.
"Tampan..." Tanpa sadar Vanilla mengatakan hal itu, dan siapa sangka pria itu langsung membuka matanya. Vanilla tahu satu hal ; Justin tidak tidur.
"Terima kasih." Justin langsung mengecup bibir Vanilla dan membuat gadis itu salah tingkah.
"Menyebalkan, apa yang kau lakukan di sini?" Vanilla segera bangkit, tapi Justin menarik lengannya dan sekarang dirinya ada di atas Justin.
"Morning kiss?"
Vanilla memutar matanya jengah, dan itu membuat Justin melebarkan matanya tidak percaya.
Cup
Vanilla terbelalak. Bagaimana bisa Justin menciumnya tanpa izin? Pria ini benar-benar tidak tahu sopan santun. Vanilla pun berniat untuk bangkit, tapi Justin masih tetap menahannya.
"Kenapa? Kau malu?"
Sial. Sial. Sial. Vanilla tidak tahu lagi harus bagaimana jika yang ia hadapi sekarang adalah Justin.
"Justin, ada Mam---"
Perkataan Javier terhenti. Begitu juga dengan kedua sejoli itu yang mulai merubah posisi mereka.
"Maaf..." Javier berusaha menahan tawanya, dan menutup kembali pintu kamar Justin. Sedangkan Vanilla? Ia menggerutu dengan kesal dan beranjak dari sana. Ia berjalan ke kamar mandi dengan perasaan yang sangat malu.
Setelah membersihkan badannya, Vanilla keluar dengan hanya mengunakan bathrobe bewarna putih dan berjalan ke arah Justin yang sudah siap untuk mandi.
"Aku ingin meminjam kemeja dan trainingmu."
"Amb---" belum selesai Justin melanjutkan perkataannya, Vanilla sudah berjalan melewati Justin ke walk-in closet milik Justin. Justin sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia berjalan ke kamar mandi dan membiarkan Vanilla menikmati waktunya untuk memilih pakaian Justin.
Setelah menemukan pakaian yang menarik hatinya : kemeja biru cerah dan training hitam, Vanilla langsung menggunakannya dan keluar dari kamar Justin. Ponselnya ia tinggalkan di nakas. Ia tidak akan membukanya, karena pasti ada banyak pesan dari Alec dan Alex.
Dengan langkah yang anggun ia turun ke lantai satu dan dirinya hampir saja jatuh ketika Sonia memeluknya dengan tiba-tiba.
"Oh astaga, Vanilla, ini benar-benar kabar yang menggembirakan."
Vanilla mengerutkan keningnya. Sonia melepaskan pelukannya dan menatap bangga ke arah Vanilla.
"Tante..."
Senyuman Sonia tidak pernah pudar. Ia memegang tangan Vanilla dan menuntun gadis itu ke sofa.
"Jadi, sudah berapa bulan?"
"Hah?"
"Kandungamu, sayang. Javier sudah menceritakannya."
Vanilla tampak kikuk.
"Mama, kenapa di sini?"
Keduanya menoleh ke arah Justin yang tampak gagah dengan setelan kerjanya. Vanilla mengerutkan kening. Ini hampir pukul 11 dan Justin akan berangkat kerja?
"Tentu saja menemui menantu Mama," ucap Sonia. Wanita itu kembali menatap Vanilla dengan kelembutan yang sangat Vanilla sukai.
"Ma..."
"Mama sudah meminta Jenny dan yang lainnya untuk mengurus pernikahan kalian."
"Apa?!" teriak Vanilla.
"Kenapa?" tanya Sonia bingung. "Bukankah Vanilla sedang hamil? Jadi, kalian harus secepatnya menikah. Tidak baik menunda pernikahan disaat kondisi seperti ini."
Vanilla menggigit bibir bawahnya, dan ia menoleh ke arah Justin. Ia mencoba untuk meminta Justin bicara dengan Sonia.
Justin menghela napasnya. Ia berjalan ke arah Sonia dan duduk di samping wanita itu. "Ma, leb---"
"Jenny memiliki kenalan wedding organizer yang terbaik, dan Mama sudah memutuskan untuk menikahkan kalian minggu ini."
Vanilla semakin terkejut, tapi tidak dengan Justin. Justin tahu jika Sonia sudah mengatakan ini, maka harus ini. Tidak ada yang bisa melawan keputusan Sonia.
"Ma, bisa kita bic---"
lagi-lagi ucapan Justin dihentikan Sonia karena wanita itu sudah menarik Vanilla ke dapur.
"Makanlah yang banyak, kandunganmu harus diberi gizi yang banyak."
Justin menghela napasnya melihat pemandangan yang sangat jarang ia lihat itu. Ia bingung dengan sikap Sonia yang berbanding terbalik saat Levina masih ada di sini. Terlihat jelas sekali Sonia tidak menyukai sosok Levina.
Justin berjalan ke arah Vanilla dan duduk di samping gadis itu, sedangkan Sonia duduk di hadapan mereka.
"Makanlah," bisik Justin lembut seraya menggenggam jari Vanilla yang masih saja gugup karena perlakuan Sonia.
"Apa kalian sudah memeriksanya? Kau harus hati-hati, Justin. Kandungannya masih lemah, dan Mama tidak ingin terjadi apa-apa pada Vanilla. Mama pernah merasakan sebuah kehilangan, dan Mama tidak ingin Vanilla mengalami itu, mengerti?"
Sonia menyadari raut wajah Vanilla yang berubah. Ia tersenyum dan menggenggam tangan Vanilla satunya lagi. "Jangan khawatir, Mama yakin kau akan baik-baik saja."
Vanilla lega. Kehangatan Sonia benar-benar menyentuh hatinya. Ia bahagia hanya dengan mendapatkan perhatian Sonia yang jauh dari kata sempurna.
"Kau berjanji akan menjaganya, kan?"
Vanilla tersenyum dan mengangguk. Ia tidak memerlukan sebuah janji untuk menjaga buah hatinya. Itulah yang memang harus dan akan ia lakukan.
Vanilla pun mengambil sendok dan garpunya, kemudian melahap makanan yang dibuatkan Sonia dengan susah payah.
"Bagaimana?" tanya Sonia. Ia berharap Vanilla menyukai masakannya.
"Ini yang terbaik," jawabnya dengan senyuman yang mania.
Justin terus saja tersenyum. Ia bahagia bisa melihat dua perempuan yang sangat ia cintai bisa bercanda dan tersenyum terus-menerus.
"Ma, ada yang harus kubicarakan dengan Vanilla. Aku izin ke atas setelah ini," ucap Justin.
Sonia tentu saja mengizinkannya. Dan setelah sarapan, Justin menuntun Vanilla ke dalam kamar. Mereka duduk berhadapan di sofa.
"Bagaimana?"
"Apanya?" tanya Vanilla bingung.
"Mama ingin kita menikah, tapi aku tidak akan melakukannya terlebih dulu tanpa persetujuanmu."
Vanilla terdiam. Ia juga tidak ingin cepat menikah. Ia masih 18 tahun dan ia masih ingin kuliah. Namun, sekarang kondisinya benar-benar berubah. Ada satu nyawa di perutnya, dan ia tidak mungkin membiarkan anak yang sedang di kandungnya tidak bisa merasakan kehangatan ayahnya.
"Apa aku masih bisa kuliah jika menikah?" tanya Vanilla dengan polosnya.
Justin mengangguk mantap. "Tidak ada yang bisa melarangmu kuliah, Vanilla. Namun, kau tetap harus cuti sampai kau melahirkan."
Wajah Vanilla berubah seketika. Ia merasa senang dengan perkataan Justin. "Tapi, ini pernikahan tanpa cinta, kan?"
Atmosfer di kamar itu berubah drastis. Hawa sejuk yang ada disekitarnya, berubah menjadi panas. Justin merasakan hawa itu.
Ia maju sedikit ke arah Vanilla dan kedua tangannya bergerak ke wajah Vanilla. Ia menangkup kedua pipi indah itu.
"Kau masih belum paham rupanya."
"Paham ap---" Justin mengecup bibir Vanilla singkat dan melepasnya lagi.
Justin tersenyum. "Aku mencintaimu, jadi ini bukan pernikahan tanpa cinta."
"Tapi aku tidak men---" Justin melakukannya lagi. Kali ini ia mengecup bibir Vanilla lebih lama.
"Kau sudah mencintaiku, Vanilla. Hanya saja kau belum menyadari itu."
"Percaya diri sekali," desis Vanilla.
"Sejak kapan aku tidak percaya diri? Itu memang kenyataannya, Vanilla. Tidak perlu bukti, tapi aku akan membuatmu mengungkap itu semua secara langsung."
"Rasa percaya dirimu harus dikurangi, Tuan," cibir Vanilla.
"Akan kukurangi jika kau memelukku seperti tadi malam, Nyonya O'brian." godaan Justin berhasil membuat pipi Vanilla yang merah semakin merah.
"Berhenti menggodaku atau aku tidak akan menikahimu."
"Jadi kau akan menikahiku?"
Vanilla terdiam sejenak.
"Vanilla..."
"Iya."
"Iya apa?"
"Iya, Tuan. Aku menerima lamaranmu."
"Ini bukan lamaran, Vanilla."
"Menyebalkan," gerutu Vanilla sambil melepaskan tangan Justin dari pipinya.
Justin terkekeh geli dan mengusap puncak kepala Vanilla dengan lembut. "Kau percaya jika kau hanyalah satu-satunya di hatiku, kan?"
Vanilla mengangguk dengan penuh keyakinan. "Aku percaya, dan aku berharap kau tidak merusak kepercayaanku itu."
"I swear, you are my only one, baby." Justin kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Vanilla dan mengecup lembut bibir ranum yang sekarang akan menjadi miliknya.
"Justin!"
Sial!
Justin mengumpat dan menoleh dengan tajam ke arah Javier. "Ada apa?!"
"Ada yang mencari Vanilla. Kau tahu Alex Fernando? Ia yang mencari Vanilla."
Justin dan Vanilla saling memandang.
"Dan ... ia membawa beberapa bodyguard," sambung Javier panik.
Justin dan Vanilla menelan salivanya kuat-kuat. Sepertinya ini semua tidak akan mudah.
Tbc.