"Aku kemari hanya ingin memberikan sesuatu," ucap Avira. Itu membuat kening Vanilla berkerut.
Avira membuka tasnya dan mulai mengeluarkan sebuah kotak bewarna biru. Ia membuka kotak itu dan di sana ada kalung yang berliontinkan berlian. Vanilla mengamati kalung itu dan ia menemukan sebuah inisial 'AJ'
Inisial itu tampak tak asing di ingatannya. Sungguh, kenapa dirinya mendadak lupa sekarang ini? Bahkan ia melupakan siapa itu Avira.
"Bisa kau berikan itu pada Justin?"
Memberikannya pada Justin? Memangnya Justin penyuka kalung berlian?
"Berikan saja kalung ini, dan ia akan mengerti dengan cepat." Avira meletakkannya dengan paksa di tangan Vanilla dan pergi dari sana dengan secepat kilat.
Vanilla mengedikkan bahunya acuh. Kemudian ia berbalik dan tidak lupa menutup pintu. Ia berjalan ke sofa, merebahkan diri, dan mengamati kalung itu sekali lagi.
Merasa bosan, Vanilla meletakkannya di meja dan dirinya beranjak ke dapur. Ia harus membuatkan Justin sarapan. Sepertinya omelet cukup. Lagipula ia menginginkan makanan itu sejak kemarin.
"Aroma yang wangi..." Justin memeluk pinggang Vanilla posesif dan meletakkan kepalanya di bahu Vanilla.
"Justin, jangan membuatku kehilangan fokus dan menyebabkan minyak ini mengenaimu," kata Vanilla dingin.
Justin tidak peduli. Ingin wajah dan tangannya terkena api sekalipun, ia tidak peduli asal dirinya tetap mencintai Vanilla.
Justin memberikan sedikit ciuman di leher Vanilla. Sekarang, aroma Vanilla benar-benar candu untuk dirinya. Merasa Vanilla tidak keberatan dan masih sibuk dengan omeletnya, Justin terus mencium leher Vanilla dan memberikan hadiah kecil di leher mulus itu. Dan tentu saja kissmark yang Justin beri, membuat Vanilla menatapnya kesal.
Vanilla ingin marah, tapi ia tidak ingin melakukannya karena bayinya.
"Aku ingin honeymoon," ucap Justin. Tangannya masih sibuk memeluk Vanilla.
"Tidak ada kata honeymoon, Justin." Vanilla mematikan kompor dan melepaskan diri dari Justin, tapi Justin dengan cepat menarik dirinya dan membuat dirinya duduk di meja makan.
"Aku sudah menyiapkan tiket ke Roma," ucap Justin.
Vanilla mengembus napas kesal. "Jika ada kata honeymoon, aku ingin Indonesia, Justin."
"Vanilla, ak---"
"Aku sedang hamil, dan aku tidak ingin mengambil perjalanan yang jauh. Perjalanan ke Roma akan membuat kondisiku melemah, kita ke Lombok saja, em?"
Justin dengan cepat menyetujuinya. Menentang Vanilla berarti menandakan bahwa ia tidak menginginkan jatah dari Vanilla nanti.
"Baiklah, kita ke Lombok sore ini."
"Sore ini?"
Justin mengangguk. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh dalam kamar terlebih dulu sebelum kita berangkat." Justin berusaha mengalihkan pembicaraan.
Wajah Vanilla tidak memerah, ia mulai mengingat sesuatu. "Ada hadiah untukmu."
"Untukku?"
Vanilla mengangguk dan menunjuk meja yang ada di ruang tengah. Justin pun menurunkan Vanilla dan berjalan ke ruang tengah dengan tenang. Setibanya di sana, kedua matanya melebar karena hadiah yang dimaksud Vanilla. Dengan kaki yang lemas, Justin mengambil kalung itu dan menatap dengan dalam-dalam inisial yang terukir indah di dalam berlian. Hanya ada satu kalung di sana, dan demi apapun, Justin yakin kalung itu asli.
Vanilla menatap perubahan raut wajah Justin dengan penuh harap. Ia tidak tahu mengapa kalung itu membuat Justin seperti itu. Ia pun berjalan ke arah Justin dan duduk di samping suaminya itu. "Ada apa?"
Justin buru-buru memasukkan kalung itu saku celana pendeknya dan menoleh ke arah Vanilla. "Siapa yang memberikannya?"
"Namanya---"
"Jangan diberitahu. Aku tidak butuh itu," potong Justin seolah-olah ia mengerti siapa pengirimnya. Namun, ia masih ingin memastikannya.
"Apa ada rahasia yang belum kau beritahu padaku, Justin?"
Pertanyaan yang sangat ingin Vanilla ajukan. Ia tahu jika Justin menyimpan rahasia mengenai gadis yang pernah Reno ceritakan. Tunggu dulu...
Akhirnya Vanilla ingat. Avira Karl!
Jadi...
"Ada, tapi aku tidak ingin mengingatnya lagi dengan cara memberitahumu. Cukup itu menjadi kenangan," kata Justin lemah.
Vanilla mengerti. Memang benar, sebuah kenangan maupun rahasia hanya bisa disimpan sendiri. Vanilla berjalan dan memeluk punggung Justin dari belakang.
"I'm your only one, right?" Vanilla sendiri tidak tahu mengapa ia ingin sekali mempertanyakan hal itu. Ia hanya merasa takut.
Justin berbalik dan memeluk Vanilla dengan erat. "Believe that! I'm yours and you are my only one!"
Vanilla menghela napas lega. Ia harap semuanya akan baik-baik saja mulai sekarang, meski ia sendiri tidak yakin.
***
Siangnya, pasangan pengantin itu dikejutkan dengan kedatangan Lara. Gadis itu langsung menghambur ke pelukan Justin dan menangis sejadi-jadinya.
"Lara?"
Lara melepaskan pelukannya dan menatap Justin dengan benci. "Kau kenapa melakukan ini? Kenapa kau tidak memberitahuku jika kau akan menikah?"
Justin tersenyum geli. Ia memegang pipi Lara dan mengusap butiran bening itu. "Maaf, ini sangat mendesak. Vanilla hamil, jadi aku harus segera menikahinya."
Rasanya, ada beribu duri menusuk hati Lara. Bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan, tapi juga kekhawatiran. Sekarang, Lara tidak akan bisa melindungi mereka. Ia tidak bisa melindungi seseorang yang Justin cintai. Avira sudah pergi dan melepaskan diri dari belenggunya.
"Ada apa, girl?" tanya Justin penuh perhatian.
Lara menggeleng. "Aku harap kalian bahagia dan kau bisa menjaganya, Justin." sekali lagi Lara memeluk Justin dengan erat.
Justin sendiri bingung dengan maksud ucapan Lara, tapi ia ikut memeluk Lara.
Vanilla mengerutkan keningnya melihat tingkah Lara. Ia merasa ada yang disembunyikan Lara. Namun, ia tidak berani bertanya dan hanya melihat bagaimana kacaunya Lara di pelukan suaminya.
***
Setelah acara tangisan itu, Vanilla berjalan ke kamarnya dan mencoba untuk berbaring. Pikirannya benar-benar lelah melihat tangisan Lara. Ini seperti ia mengerti bagaimana perasaan Lara yang sebenarnya.
Vanilla mengembuskan napasnya, dan tepat saat itu, ponselnya berdering. Setelah melihat nama Alex tertera di sana, ia menggeser layar dan meletakkannya di telinga.
"Halo, Dad."
"Bagaimana harimu? Menyenangkan?"
"Sangat, Daddy."
"Sukurlah. Emm, begini sayang..."
"Ada apa, Daddy?"
"Kau tahu Nickolas Alexander?"
"Tidak Dad, memangnya dia siapa?"
"Dia hanya keluarga bangsawan yang perlu kita hormati. Ia berasal dari keluarga bangsawan Inggris, Alexander. Kau benar-benar tidak tahu siapa dia?"
Vanilla mengerutkan keningnya dan mencoba bangkit dari ranjangnya. "Aku tidak tahu, Dad. Apa dia seorang Pangeran?"
"Bukan, sayang. Ia hanya pemuda berusia 25 yang berhasil mengambil hati Daddy mu ini."
"Aku tidak mengerti, Dad." Vanilla berjalan ke balkon dan duduk di kursi yang tersedia di sana.
"Dia ada di Jakarta sekarang ini, dan dia sangat ingin menemuimu. Kau tahu, sebenarnya kau akan Daddy jodohkan dengannya."
Vanilla terkejut. Ternyata masih ada saja perjodohan di dunia ini.
"Tapi, Daddy terpaksa membatalkannya karena Justin. Yah, setidaknya putri Daddy bahagia."
"Dad..."
"Bisakah kau menerimanya di rumah Justin? Ia tidak suka tinggal di hotel. Bagaimana? Lagipula sudah sepatutnya kau menghormatinya, Vanilla."
Vanilla langsung menyetujuinya, meski jauh di lubuk hatinya, ia merasa was-was. Ini rumah Justin dan ia takut Justin tidak akan mengizinkannya.
"Baik, Dad."
"Thanks, sweety. Have a nice day."
Vanilla mengakhiri panggilannya dan membiarkan ponsel itu tergeletak di meja kaca yang ada di depannya.
"Vanilla..."
Vanilla menoleh dan melihat Justin yang berjalan ke arahnya.
"Kau tidak jadi istirahat?"
Vanilla menggeleng. "Ada yang harus ku lakukan?"
"Apa?" kening Justin berkerut.
"Ad---"
Perkataan Vanilla terhenti karena ponselnya berdering. Dengan cepat ia melihat pesan dari nomor yang tak dikenal.
Hei, Cousin. I'm in your house, now. Open the door, please.
Nick
Vanilla dengan cepat berdiri dan berlari ke lantai bawah. Justin yang melihat itu, merasa geram dan terus memanggil nama Vanilla, bahkan ia mengejar Vanilla.
"Vanilla, bayinya..."
Vanilla langsung berhenti berlari dan menoleh ke arah Justin. Ia hanya tertawa seraya memperlihatkan deretan gigi rapihnya. Sedangkan Justin, ia menatap Vanilla dengan tatapan membunuhnya.
Vanilla berbalik dan kembali melangkahkan kakinya ke pintu utama. Ia membuka pintu itu lebar-lebar dan di hadapannya ada pria berperawakan tinggi, tampan, rambut cokelat, dan mata yang sama persis dengan milik Vanilla. Oh astaga, pria di hadapannya ini benar-benar bagaikan Dewa Yunani. Mata biru indahnya berhasil membuat Vanilla terpaku.
"Ehem..."
Deheman Justin yang terlihat tidak suka dengan apa yang Vanilla lakukan tadi, berhasil menarik Vanilla dari lamunannya.
"Nick?" tanya Vanilla mengabaikan Justin yang mengerutkan kening ke arahnya.
Nick tersenyum. "Vanilla, kan? Aku tidak tahu kau mewarisi mata indah Daddymu. Kau tahu, aku begitu senang saat beliau mengatakan bahwa beliau memiliki anak secantik berlian dengan mata yang sama denganku. Awalnya, aku tidak percaya, tapi saat aku mendengar suaramu yang ia rekam, membuatku percaya sepenuhnya."
Pujian yang tidak seberapa itu membuat pipi Vanilla merona, dan Justin benci hal itu. Ia menoleh ke arah pria yang disapa Nick itu dan mencibir tidak jelas.
Tampan memang dan sepertinya Nick terlalu banyak mempertontonkan senyumannya.
"Dan kau pasti Justin, pria yang berhasil merebut tunanganku."
"Tunangan?" Justin mengerutkan keningnya. Dan Nick tertawa geli karena ekspresi yang Justin keluarkan.
"Ehm, bisakah kau membiarkanku masuk dulu?" Nick langsung masuk ke dalam tanpa seizin Justin, dan tindakannya itu membuat Justin menoleh ke arah Vanilla.
"Nanti ku jelaskan," kata Vanilla sambil menggandeng tangan Justin untuk mengeori Nick dari belakang.
"Ini terlalu bagus untuk disebut rumah," seru Nick.
"Ini mansion, asal kau tahu," desis Justin.
Vanilla sendiri hanya menggelengkan kepalanya bingung. Sepertinya Nick dan Justin sudah tidak saling menyukai. Atau lebih tepatnya, Justin enggan berteman dengan Nick.
"Di mana kamar untukku, Vanilla?"
"Kamar?" tanya Justin sebelum Vanilla membuka mulutnya.
"Nick berniat untuk menginap."
"Apa?!"
Vanilla memejamkan matanya karena teriakan Justin.
"Daddy memintanya, bagaimana?"
"Tidak!"
"Oh, ayolah, Justin. Aku ini seorang bangsawan dan---"
"Lalu kenapa jika kau seorang bangsawan? Kau warga Inggris, bukan Indonesia!" Justin menatap Nick dengan tajam.
Nick menghela napasnya. "Seharusnya aku menyetujui perjodohan itu secepat mungkin," desisnya.
Justin terlihat geram. Ia mengepalkan tangannya dan bersiap memukul wajah Nick jika saja Vanilla tidak menahan tangannya.
"Biarkan dia di sini, Justin. Lagipula kita akan honeymoon nanti. Setidaknya ia bisa menjaga rumah."
Justin tampak memikirkannya. Benar juga apa kata Vanilla. Mungkin setelah mereka pulang, pria gila itu akan pulang.
"Baik," kata Justin. Ia menoleh ke arah Nick yang memandangnya dengan datar. "Kau tidur di kamar bawah yang ada di sisi kiri," tunjuknya.
Nick tersenyum puas dan berjalan ke kamar yang ditunjuk Justin tadi.
Justin merasa lega. Ia menoleh ke arah Vanilla dan tersenyum karena senyuman istrinya itu. "Apa benar dia bangsawan inggris?"
Vanilla mengagguk. "Dia keluarga bangsawan Alexander, salah satu bangsawan Inggris terkenal. Aku memang sering mendengar namanya, tapi aku tidak pernah melihat wajahnya."
Justin mengerti. Ternyata Vanilla merupakan gadis yang terhormat di Inggris.
"Lalu kau, apa keluarga Ayahmu terkenal sepertinya?"
Vanilla mengedikkan bahunya. "Kata Daddy, keluarga Fernando termasuk keluarga yang pekerja keras. Mereka lebih terkenal sebagai konglomerat daripada bangsawan."
Justin semakin mengerti. Mungkin Fernando memang ditakdirkan bertemu dengan O'brian. Dan ia bersukur akan hal itu.
Justin menghela napasnya. Ia menggenggam jemari Vanilla dan membawa istrinya itu ke kamar.
"Justin..."
"Aku merindukanmu," bisik Justin di belakang telinga Vanilla. Vanilla sendiri merasa merinding.
"Kita akan melakukanya sekali sebelum ke Lombok, okay?"
"Just..." Vanilla berbalik dan menatap Justin lekat-lekat.
"Kenapa? Kau tidak ingin melakukannya?"
"Buk---hhmpptt..."
Justin tidak ingin mendengar apa-apa. Ia melumat bibir ranum Vanilla dan mencecap seluruh bibir yang sudah menjadi miliknya itu. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Vanilla dan membawa tubuh mungil itu lebih jauh ke tubuhnya.
Vanilla mencoba untuk mengikuti permainan bibir Justin, tapi ia hanya gadis polos yang tidak berpengalaman. Alhasil, ia membiarkan Justin memimpin semuanya. Merasakan gairahnya yang luar biasa, Vanilla mengalungkan tangannya ke leher Justin dan semakin mempermudah Justin mencicipi bibirnya.
Tangan Justin yang kosong, bergerak membuka pakaian yang dikenakan Vanilla san hanya menyisakan bra serta celana dalam Vanilla bewarna merah.
"Kau sungguh nikmat..." Justin menggendong Vanilla san merebah tubuh mungil itu ke ranjang.
Vanilla tersenyum dan Justin mulai menyingkirkan belaian rambut Vanilla dari lehernya. Ia mencium leher jenjang Vanilla dan memberikan tanda kepemilikannya di sana. Semakin lama, Justin semakin turun ke dua buah kenyal milik Vanilla.
Ia melepaskan bra Vanilla dengan cepat dan langsung mengulum gunung indah itu. Vanilla mendesah dan ia terasa tersiksa karena itu. Ia mencengkeram rambut Justin dan saat kenikmatannya tercapai, ia semakin menekan kepala Justin untuk mencicipi dadanya.
"Just...ah..."
"Kau sudah basah, sayang. Tapi aku akan melakukannya setelah mencicipi yang ini," bisik Justin. Tangannya sudah berada di daerah sensitifnya dan ia juga sudah melepaskan celana dalam Vanilla.
Vanilla menggeliat ketika Justin membuka pahanya lebih lebar. Vanilla melihat mata Justin yang bersinar. Ia merasa malu.
Justin pun memulai aksinya. Ia mengecup dan merasakan bagian sesnsitif Vanilla dan Justin tahu jika hal itu membuat Vanilla ingin cepat dimasukinya.
"Just... cep-cepat!"
Justin mengulum senyumnya. Ia mengakhiri kegiatannya di bawah sana dan mulai melumat bibir yang sudah menjadi candunya itu.
"Agh...."
"s**t! Kau masih sempit, sayang..."
Vanilla terus mencengkeram seprai itu ketika Justin mencoba untuk masuk lebih dalam. Dan akhirnya, Justin berhasil membuat Vanilla merasakan kenikmatan itu lagi.
"Tidurlah, aku akan membangunkanmu nanti," ucap Justin seraya mengecup bibir Vanilla.
Vanilla mengangguk dan tidur dalam posisi milik Justin yang masih ada di tubuhnya.
Justin tersenyum melihat mata itu terpejam, sekali lagi ia mengecup bibir Vanilla dan membisikkan sesuatu. "Aku mencintaimu."