PART 18

1544 Words
Alec terus menegak minuman beralkoholnya. Minuman itu seperti obat dari masalah yang dihadapinya. Berjam-jam ia habiskan waktunya hanya dengan duduk di sofa merah yang menjadi saksi kekacauannya. Di ruangan sempit itu, ia hanya sendiri dengan beberapa buah dan lima botol alkohol. Hari sudah mulai gelap sejak ia mengantar Vanilla ke rumah, dan pikirannya terus tertuju ke ucapan Vanilla yang memberikan kesempatan bagi Justin untuk memilikinya. Helaan napasnya keluar, seiring dengan habisnya lima alkohol itu. Dan ia masih kuat, ia memang Alec Damian. Peminum yang tahan dengan alkohol. Ini pertama kalinya Alec meminum alkohol setelah ia berjanji pada Vanilla bahwa ia tidak akan meminumnya. Alec sendiri bingung, kenapa juga ia harus minum hanya karena melihat dua sejoli yang tadi benar-benar menusuk hatinya. Memikirkan sebentar lagi Vanilla akan dimiliki Justin, membuat rasa perih yang sudah lama tidak ia rasakan, timbul lagi. Ini seolah-olah dejavu. Ini membuat ia mengingat lagi mengenai Avira Karl. Merasakan tubuhnya yang mual, Alec berdiri dan berjalan ke kamar kecil. Setibanya di sana, ia memuntahkan isi perutnya dan mulai membersihkan mulutnya yang basah. Setelah itu ia keluar dari sana dan bertabrakan dengan seseorang. Beruntung dirinya masih waras untuk meminta maaf pada wanita itu, tapi itu bukan wanita asing yang tidak ia kenali. Itu adalah wanita yang sangat ia kenali dan yang ia cari dari dulu. "Avira?" Meskipun wajahnya sedikit berbeda, tapi Alec tahu jika wanita yang ada di hadapannya ini adalah Avira. "Maaf, ak-ak---" "Kau Avira, kan?" Kini keduanya berada di atmosfer yang berbeda. Hanya ada suara musik DJ yang memenuhi telinga mereka. *** Vanilla terus mondar-mandir di depan kulkas. Waktu sudah menunjukkan dua pagi, dan ia belum juga memejamkan matanya. Ini benar-benar tidak baik untuk kandungannya. "Tidak ada bahan, bagaimana ini?" gumamnya sedih. Tadi, ia sedang menonton acara memasak dan di acara itu mereka membuat omelet. Vanilla pun menginginkannya, tapi telurnya habis karena ia sudah menghabiskannya tadi sore. Dengan terpaksa Vanilla mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Justin. "Kau di mana?" "Di rumah, Vanilla." suara khas Justin yang baru bangun terdengar lembut di telinga Vanilla. "Kau harus bertanggungjawab." "Ada apa?" "Aku lapar." "Makan." Vanilla tampak geram, ia duduk di meja pantry dan menggerutu karena kebodohan Justin. "Aku ingin omelet, bawakan telur yang banyak." "Astaga, ini masih pag---" "Aku tidak peduli, ini keinginan anakmu dan kau harus menurutinya, mengerti?!" Tit... Panggilan berakhir, dan Vanilla masih dengan setia menunggu Justin. *** Di lain tempat Justin merasa kesal, tapi ia tetap bangun dari tidur nyenyaknya dan keluar dari kamar. Ia berjalan ke dapur dengan santai, sampai ia tiba-tiba saja melihat Javier yang sedang memainkan PS-nya. "Tumben sekali kau bangun," ucap Javier tanpa menoleh ke arah Justin. "Vanilla ingin telur," kata Justin sambil mencari telur di kulkas. Dan ia beruntung, persediannya masih banyak. "Kenapa pagi sekali? Ia ngidam?" "Memang benar." "APA?!" Javier meletakkan stick nya dan berjalan ke arah Justin. "Bagaimana bisa?" "Bisa saja, usia kandungannya masih satu bulan. Itu yang kudengar dari Reno," jawab Justin. Ia masih fokus memasukkan telur-telur itu ke wadah. "Lalu kenapa kau tidak segera menikahinya?" "Aku akan melakukannya, tapi Vanilla masih mengetesnya." Javier paham. Wanita memang selalu merepotkan, dan selalu membuat para pria kelelahan. Namun, ia juga tidak menyangkal fakta bahwa si pria menikmati hal itu. "Kau ingin ke sana?" Justin mengangguk. "Bisakah kau menyusunnya? Aku akan ganti pakaian." Javier mengangguk dan membiarkan Justin pergi. Sebenarnya ia tidak ingin melakukan itu, tapi demi keponakaannya, maka ia akan melakukan apapun. Dengan penuh hati-hati ia meletakkan telur di wadah dan membungkusnya dengan kantung plastik tebal. Selang beberapa menit, Justin turun dari lantai dua dengan pakaian formalnya. Ia berterimakasih pada Javier dan pergi mengendarai mobilnya. Setibanya di sana, ia menghubungi Vanilla bahwa dirinya sudah tiba. Dengan sigap Vanilla keluar dan tersenyum melihat Justin yang sudah membawanya sekantung telur. "Pulanglah." Belum sempat Vanilla masuk kembali ke rumahnya, Justin sudah mencekal tangannya. "Ada apa?" "Aku akan membuatkannya untukmu." "Tid---" belum sempat ia bicara, Justin sudah menarik tangannya dan mereka mengendap-endap masuk ke rumah itu. Vanilla menyarankan mereka untuk menggunakan dapur yang ada di lantai dua, agar semua orang tidak terbangun. Karena jika itu terjadi, maka akan sulit bagi Justin yang sudah dicap sebagai musuh oleh Alex, keluar hidup-hidup dari sini. Sesuai perkataan Justin, Vanilla hanya duduk santai dan menikmati masakan Justin. Vanilla begitu bahagia memakan oemlet itu. "Enak?" Vanilla mengangguk. Ia berdiri dan membawa piringnya ke kamar. Justin mengikutinya, dan Vanilla membiarkannya. "Kau tidak pulang?" tanya Vanilla sambil duduk di sofa dan mulai menyalakan televisi. Justin hanya diam dan duduk di samping Vanilla. "Aku akan menunggumu sampai tidur. Setelah itu aku akan pulang." "Jangan, kau pul---" "Aku harus memastikan Istri dan Anakku baik-baik saja, Vanilla," potong Justin. "Aku tidak akan membunuh anakku, Justin. Dan juga, anakmu akan baik-baik saja jika aku yang menjaganya." Bukan itu yang Justin pikirkan. Bahkan ia sama sekali tidak pernah memikirkan Vanilla yang akan melukai anak mereka. Karena Justin tahu jika Vanilla sangat menyayangi janin itu. Justin mengembuskan napasnya pelan. "Baiklah, aku akan pulang." Vanilla diam saja ketika Justin keluar dari kamarnya, tapi beberapa menit kemudian ia berjalan untuk mencari Justin. Namun, pria itu sudah meninggalkan rumah. Vanilla, yang sedang berdiri di teras, hanya memperlihatkan wajahnya yang kecewa. *** Alec berjalan masuk ke rumah itu dan ia terkesiap saat melihat Vanilla yang sedang meringkuk di sofa. Alec terus memperhatikan wajah mungil Vanilla yang tampak sedih. Alec ingin duduk di samping Vanilla, tapi pikirannya kembali melayang ke perkataan Avira. "Aku kembali untuk Justin, Alec. Aku akan melakukan apapun untuk memilikinya lagi. Jika aku tidak bisa mendapatkannya, maka semua wanita juga tidak bisa mendapatkannya. Ini sudah takdir Tuhan, Alec. Kau harus melupakanku dan membiarkanku kembali pada Justin." Kalimat yang diucapkan dengan nada yang lembut, tapi memiliki makna yang sangat kejam. Alec takut. Ia takut jika Avira melukai Vanilla. Ia takut jika dua wanita yang disayanginya bertarung hanya untuk memperebutkan satu pria. Ya Tuhan, apa yang akan ia lakukan? Justin dan Vanilla saling mencintai, tapi hubungan mereka akan terus dilanda masalah. Dan siapa yang tahu endingnya akan seperti apa kecuali Tuhan? Alec mengembuskan napasnya berat. Ia pun berjalan ke kamarnya, dan meninggalkan Vanilla yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Sehingga membuat gadis itu tidak menyadari keberadaannya. Vanilla sendiri sedang sibuk dengan pikirannya. Ia merindukan Justin, dan ia menyesali keputusannya yang tidak mencegah kepergian Justin tadi. Dengan tekad, ia bangkit dan berjalan ke luar. Ia terus mencoba untuk menghubungi Justin, tapi tidak ada jawaban. Ini sudah jam tiga pagi, dan sepertinya akan turun hujan. Untuk kali ini, Vanilla kembali membenci hujan. Mungkin bawaan bayi, Vanilla akan menemui Justin. Ia mengambil kunci mobil secara diam-diam dan mulai mengemudikannya ke rumah Justin. Ia sedikit lupa jalan ke rumah Justin, dan itu membuatnya berhenti disekitar halte yang dulu pernah ia kunjungi. Karena bingung dan ketakutan, Vanilla keluar dari mobil dan mulai menghubungi Justin. Merasakan suasana yang mencekam ditambah hujan yang turun, Vanilla berusaha untuk masuk ke dalam mobil. Namun, tiba-tiba saja ia terlonjak kaget ketika mobilnya ditabrak dari belakang. Tubuh Vanilla bergetar, dan itu membuatnya mundur ke belakang. Ia menoleh ke mobil bewarna merah itu, dan matanya menyipit untuk melihat siapa pemilik mobil itu. Saat Vanilla berhasil melihatnya, mobil itu pergi dan meninggalkan Vanilla serta mobilnya dalam kerusakan yang parah. Vanilla benar-benar takut. Jika ia menghubungi Alec, maka Alex akan tahu. Jadi, ia akan terus menghubungi Justin. Merasa tidak ada jawaban, Vanilla mengetik sebuah pesan pada Justin mengenai apa yang terjadi dan di mana dirinya berada sekarang. Beberapa menit kemudian Justin tiba dengan wajah yang sangat panik. Di sana, berdiri Vanilla dengan tubuh yang basah dan bergetar. Justin keluar dari mobilnya dan berlari memeluk Vanilla. Sebisa mungkin Justin mencoba untuk menenangkan Vanilla. "Kita pulang, em?" bisik Justin. Vanilla mengangguk saja, karena ia tidak akan menolak untuk sekarang. Ia membutuhkan ketenangan. Setibanya di rumah Justin, Vanilla dibawa masuk ke kamar Justin. Di kamar itu Vanilla diminta oleh Justin untuk membersihkan diri. Setelah selesai, Justin membimbingnya ke ranjang dan ia kembali memeluk Vanilla. "Apa yang terjadi? Bagaimana bisa kau dalam keadaan seperti ini ketika aku meninggalkanmu selama beberapa menit?" Tidak ada jawaban. Vanilla terlalu takut untuk bicara. Kejadian yang baru saja menimpanya, benar-benar tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Sedikit saja ia tidak mundur, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. "Kenapa aku merasa diteror terus?" Vanilla semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Justin. "Aku takut, Justin. Aku benar-benar takut berada di sini. Aku ingin pulang, aku ingin kembali ke London. Kembali ke tempat yang sudah 18 tahun kutempati." Justin bergeming. Ia tidak akan pernah membiarkan Vanilla pergi ke London. Sekalipun itu membuat Vanilla ketakutan. Ia berjanji akan menjaga Vanilla dari apapun. "Jangan khawatir, aku akan menjagamu." Ada sedikit keraguan di mata Vanilla. Vanilla pun melepaskan pelukannya dan menatap mata cokelat Justin dengan mata birunya. "Kenapa kau harus menjagaku?" Pertanyaan yang sangat bodoh, tapi Justin akan tetap menjawabnya. Justin tersenyum dan mengelus pipi merona Vanilla. "Sejak kau masih ada di surga, Tuhan sudah menulis tanggal kelahiranmu, kematianmu, rezekimu, dan jodohmu. Dan kau tahu siapa jodohmu itu? Itu aku, Vanilla." Justin mengecup kening Vanilla lembut sebelum melanjutkan ucapannya. "Percayalah, aku adalah jodoh yang Tuhan tuliskan di hidupmu. Jadi, sudah sepatutnya aku menjagamu dari mara bahaya." Vanilla tertegun. Ini adalah kalimat terindah yang pernah Justin katakan. Ia pun tersenyum dan memeluk Justin dengan lembut. Ia merindukan pria ini, Tuhan. Ia hampir mati karena merindukan pria yang mampu membuat ia tersenyum dan mampu membuat pikirannya kacau. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD