“Courage does not always roar. Valor does not always shine.” – Tomi Adeyemi, Children of Blood and Bone
***
[Yongdusan Park, Busan]
[Korea Selatan]
Ia mengambil langkah seribu. Berderap-derap menjauh dari kerumunan. Wajahnya berpeluh, raut gelisah tergambar jelas di rupanya. Ia menjinjing tas ransel kecoklatan yang terlihat berat itu sambil terus menghindari tatapan orang sekitar.
“Hei, berhenti di sana!!”
“Cegat Kim!”
“Si miskin itu berani ya sekarang? Hah!?”
“Ayo cepat kejar!”
“Kim s****n! Dasar kampungan!!”
“Wah, dia tak mau menurut lagi sekarang, habisi saja!”
Gerombolan lelaki berpakaian seragam acak-acakan mengejar sosok yang sedari tadi menghindar diantara pepohonan. Salah satu dari mereka melotot dan menuding ke sana-sini. Memberi perintah untuk berpencar.
Nicholas Kim. Sang target bully SMA Kyungnam – kini tengah menyelinap ke dalam salah satu toilet umum di dekat taman. Tangannya menggenggam erat tas ransel itu. Saking takutnya ia nyaris tak sadar bahwa kakinya gemetaran.
Awalnya, Nicholas Kim hanya bocah SMP yang lulus dan menjadi siswa baru di SMA Kyungnam. Kim melalui masa-masa MOS layaknya siswa biasa. Pelajaran juga tak terganggu. Semua benar-benar normal.
Hingga akhirnya, suatu saat ia berjalan ke kantin sehabis olahraga. Sebelum itu, seseorang telah mengingatkan untuk mengikat kembali tali sepatunya yang lepas, namun Kim tak menghiraukannya. Kim mengambil nampan dan segera meminta nasi beserta lauk yang disediakan ibu kantin. Begitu ia berbalik, kakinya menginjak tali sepatu tadi dan nampan penuh makanan pun terbang hingga akhirnya menimpa punggung seseorang.
Ironisnya, orang itu adalah Choi Min Hyun. Anak gangster sekaligus ketua geng berandalan yang disegani di Busan. Sejak itulah, nama Nicholas Kim jadi incarannya. Seluruh data termasuk kekayaan Nicholas Kim diselidiki oleh Choi Min Hyun. Begitu ia tahu Kim adalah anak yang serba kekurangan, Kim langsung dihajar habis-habisan, walaupun sudah meminta maaf dan mengganti pakaian Min Hyun perihal kejadian di kantin.
Kali ini, Min Hyun ingin mengacak-acak isi tas Kim dan merusak seluruh bukunya. Kim yang sudah tahu gelagat mereka tentunya kabur begitu ada sekian detik kesempatan. Semoga saja, nasib baik berpihak padanya.
Kim mendengar sayup-sayup ramai dari luar toilet. Sudah pasti, gerombolan itu mulai mencurigai toilet umum yang mungkin terlihat aneh karena tidak kunjung terbuka.
“Pecundang itu pasti di dalam sini.”
Antek-antek Min Hyun sudah mengerubungi di luar. Seorang Nicholas Kim dipastikan kalah telak, sekali lagi.
Benar saja, didobraknya toilet tempat Kim bersembunyi. Begitu melihat Kim yang ada di dalam, puaslah mereka.
“Sudah senang bermainnya? Mau sampai kapan kau menghindar, dasar sampah!” Choi Min Hyun berjalan serampangan dan menarik kerah Kim. Berniat adu jotos. Namun mengingat ini tempat umum, masih banyak orang berseliweran, termasuk petugas ketertiban masyarakat, mau bagaimana lagi, ia harus menahan diri.
“Ikut aku atau mati, pilihlah,” bisik Min Hyun tajam tepat ditelinga Kim. Ia berbalik dan bergegas cepat. Mencoba bersandiwara dengan merangkul pundak anteknya serta berbincang kecil, termasuk pula merangkul pundak Kim. Walaupun dia risih sebelumnya, Min Hyun terpaksa agar lepas dari kontak mata orang-orang. Mereka pun berjalan menuju tempat tersembunyi demi menjalankan aksinya.
***
[SMA Kyungnam, Busan]
[Korea Selatan]
[Sepuluh hari kemudian]
Kim mencoba mencari cara agar terlepas dari cengkeraman Min Hyun. Ia tak mau menghabiskan masa mudanya hanya dengan menjadi korban kejahatan sosial. Sudah sepuluh hari sejak insiden tas, namun ia masih trauma dengan yang dilakukan Min Hyun kala itu.
Dalam lorong gelap yang diapit dua gedung terbengkalai di pinggir kota, bajunya dilucuti, ia dipermalukan dan dibuat jera. Tasnya dimasukkan dalam air busuk yang entah dari mana mereka bisa mendapat air itu. Habis sudah. Min Hyun tertawa laksana psikopat yang bangga dengan eksperimennya.
Mereka bilang, itu untuk yang terakhir kali, setelah itu takkan ada lagi karena mereka tak ingin dicurigai kepala sekolah. Kim tidak bisa percaya omongan yang keluar dari seorang Min Hyun. Nyatanya, ia merasa kehadiran Min Hyun dan antek-antek digantikan dengan teman-teman sekelasnya. Mereka seperti mendapat mandat untuk selalu mengerjai Kim.
Begitu jam terakhir usai, Kim berlari melesat ke koridor menuju perpustakaan. Berniat mencari-cari berita atau pamflet jika ada pertukaran pelajar di awal bulan nanti.
Kakinya terhenti didepan papan pengumuman yang jaraknya lima meter dari perpustakaan. Sebuah pamflet bertajuk nuansa merah dan putih tak lepas dari netranya.
[Students Exchange]
[For all South Korean High School students!]
[Destination: South East Asia (Indonesia, Thailand, Laos, Singapore, Malaysia)]
[Full information please contact : +82 xxxxxxxxx]
[Or ask student’s counselor for further information]
Kakinya nyaris melompat begitu membaca pengumuman tadi. Langsung ia menyimpan nomor telepon yang tertera dan akan menghubungi begitu pulang.
Akhirnya setelah sekian lama, Kim mendapat kesempatan untuk melepas kesialan. Sudah dipastikan, ia harus bisa terseleksi dalam pertukaran pelajar itu. Ia tak mau pulang sambil menahan tangis lagi. Bukan cengeng, ia sudah tak kuat menahan semua tekanan.
Nicholas Kim mungkin dikenal sebagai korban buli massal yang didasari perbedaan strata ekonomi. Meskipun begitu, ia bukan anak bodoh, ataupun bermental lembek. Dari kasus yang sering menimpanya, ia dapat mengasah otak dan batin. Ia belajar bersabar untuk selalu menyalin ulang catatan atau bahkan meminjam bertumpuk buku dari perpustakaan. Hatinya takkan melemah, apalagi kesempatan emas di depan mata. Nicholas Kim, sekali lagi akan menguji diri, nasib macam apa kali ini yang akan berpihak padanya.
***
“Mikha, ada tamu! Sepupumu dan temannya datang lagi, ayo turun! jangan mengurung diri di kamar terus!” Bibi Gilbert, Amanda Dev, berseru dan memanggil Mikha yang masih mengurung diri dalam kamar. Untuk kesekian kalinya, Mikha masih merajuk sejak kejadian gulungan diungkit kembali oleh Emily.
“Tante, biar kami saja yang menghampiri Mikha di kamar. Boleh ya?” Emily meminta ijin pada Mrs. Dev. Beliau hanya mengangguk dan mempersilakan tiga orang itu menjajaki kamar Mikha.
Mikha yang setengah tertidur merasa pintunya digedor kencang. Suaranya seperti hantaman bom berjatuhan.
“Jika tidak dibuka akan kubuka paksa, lho.”
Dari dalam, Mikha dapat mendengar teriakkan Emily, teman kakak sepupunya. Mencoba untuk tak peduli, ia memilih memasang earphone dan menyetel Ipod.
BRAK!
Pintu terbuka dan mendadak kamar Mikha menjadi pengap. Tiga orang itu: Emily, Gilbert, dan Luke langsung menjajah kasur dan sofa kecil. Mikha merutuki kemampuan Emily yang bisa melakukan apa saja itu dalam hatinya.
“Kali ini apa lagi, Kak? Aku ingin sendirian,” gerutu Mikha pada Gilbert.
Gilbert menghela napas. “Ayolah sebentar saja, bantu kami. Kami hanya ingin bertanya.”
Mikha menggeleng. "Tidak mau."
Gilbert menarik alis. Sebuah tantangan telah dilontarkan sepupunya. Jika bukan dengan cara lembut, maka ini pasti berhasil. “Kamu boleh bungkam saja disitu semaumu. Biarkan aku mengetahui jawaban dengan melihatmu saja. Aku pasti langsung menemukannya di antara informasi tak berguna yang terselip di pikiranmu. Oh, atau mungkin rahasia besarmu juga.”
Mikha masih keukeuh. “Terserah saja.”
Gilbert tersenyum menantang. Terlihat jelas seringai licik disitu. “Oke.”
Gilbert mulai fokus, dalam hitungan detik ia langsung mengutarakan hal menggelikan yang ditemukannya, “Apa!? Gila! Masih kecil sudah punya paca –”
“Iya, iya cukup, Kak!!”
Skakmat. Emily dan Luke tersenyum puas dan ber-tos ria dengan Gilbert.
“Oke, kakak akan diam soal yang tadi, janji nggak bakal bilang ke bibi. Asalkan Mikha mau menjawab pertanyaan dengan jujur. Walaupun kakak sudah tau sih, tapi teman, ehm, kakak kelas kakak dan adiknya, masih belum tahu. Kakak juga malas memberitahu semua yang ada di pikiranmu pada mereka. Jadi tolong kerja samanya ya?” pinta Gilbert.
Mikha hanya mengangguk pasrah. “Huft! Interogasi sesuka kalian!”
Emily tersenyum. “Oke. Maaf ya kita agak memaksa, tidak ada pilihan lain.”
“Yayaya, langsung saja ke intinya, Kak,” sahut Mikha.
Luke gantian bertanya. “Jadi, kami hanya ingin mengonfirmasi, apa benar kau punya bakat seperti kami? Atau bukan? karena kami masih tidak tahu.”
Mikha mengangguk. “Ya. Tapi, itu tak bisa dihitung bakat menurutku.”
“Kenapa tidak?” tanya Luke .
“Karena bakat bisa kita kendalikan dan manfaatkan untuk hal penting. Contohnya seperti kak Emily, atau kak Gilbert. Kak Luke juga. Tapi bakatku hanya sepintas saja. Itupun muncul diluar kendali,” jelas Mikha. “Mungkin lebih tepatnya kemampuan sesaat. Kadang-kadang aku dapat melihat urutan kejadian yang akan terjadi.”
“Future visions. Mungkinkah itu?” tanya Gilbert. “Pasti mirip dengan kondisi orang yang merasa deja vu.”
“Aku tidak yakin. Untuk saat ini anggap saja begitu. Begitu aku search, sudah banyak orang yang pernah mengalami gejala ini walaupun hanya sesaat. Mereka merasa mendapat penglihatan mengenai apa yang akan terjadi setelah atau saat nanti. Entah kapan waktu akurat dimana hal itu benar-benar terjadi nantinya, mereka tak tahu, aku pun tak tahu.”
Mereka semua terdiam.
“Aku paham mengapa kertas itu terbakar sekarang. Karena Mikha tidak seharusnya memiliki kertas itu,” Emily mulai memikirkan kemungkinan dari peristiwa kemarin.
“Jika disimpulkan berarti kertas itu akan terus terbakar jika tidak ditemu oleh pemilik yang dituju sesungguhnya. Sangat tidak logis. Jika terbakar, kertas yang jadi abu tak mungkin balik lagi menjadi kertas. Apalagi jika hanya satu, tidak ada duplikatnya,” Gilbert menyanggah Emily.
“Benar juga. Tapi, berbeda jika kertas itu kertas bukan kertas biasa. Kertas ajaib,” sahut Luke tiba-tiba. “Kemampuan kita juga di luar kelogisan. Berpikir seperti Kak Emily tidak ada salahnya.”
“Kau pikir ini dunia dongeng?” timpal Gilbert. “Dengar ya, tak ada keajaiban apalagi kejadian mistis. Yang ada hanya akal-akalan manusia.”
“Cara pandangmu perlu diubah, Gilbert. Benar kata Luke, kamu pikir bakat kita sangat masuk akal? Asal kau tahu saja, jika ada kemampuan seperti kita di dunia ini sudah pasti hal-hal diluar nalar perlu kau perhitungkan. Seseorang tengah mengawasi kita bukan? Kemungkinan hal tak logis bermunculan lagi pasti ada,” sergah Emily panjang lebar. Gilbert memang selalu menggunakan logika. Bakatnya yang sekarang semakin mendukung perkembangan logikanya hingga ia tidak sadar bahwa bakatnya pun abnormal.
Kalau Emily sudah seperti itu, Gilbert hanya diam. Tak mau berbicara lagi.
Emily kembali berujar, “Kita tetap memasukkan Mikha sebagai orang yang sama dengan kita untuk sementara sampai menemukan jawabannya. Fokus kita terbelah tadi. Oh ya, bagaimana dengan orang-orang yang masih belum diketahui kemampuannya? Petunjuk itu, kita harus bagai mana?”
Mikha memutar otak. Pastinya ia bisa berguna. Ia pun berkata, “Biarkan waktu berbicara. Pasti tak lama lagi aku bisa melihat sesuatu yang berkaitan dengan itu.”
“Wah, benar!” teriak ketiganya.
Mereka bertiga pulang ke rumah. Gilbert mengikuti mereka karena belum berniat pulang ke rumahnya sendiri. Ia masih ingin berbicara dengan kakak kelasnya.
Di perjalanan pulang, mereka berbincang dalam taksi. Khususnya Gibert dan Emily mendominasi. Luke lebih memilih diam dan memasang earphone, malas menanggapi pembicaraan orang yang umurnya terpaut satu-dua tahun darinya. Meskipun Emily juga saudaranya sendiri, kadang pembicaraan mereka tidak bisa searah.
“Kak, dengar gosip akhir-akhir ini di sekolah?” tanya Gilbert .
“Gosip apa?”
“Katanya awal bulan nanti akan ada siswa pertukaran pelajar, entah untuk kelas sepuluh atau kelas sebelas. Kalau tidak salah sih dari Korea kata teman-temanku.”
“Yang benar?! Wah, pasti kusambut! Sekolah kita benar-benar kekurangan cogan! Korea Selatan kan? Bukan Utara?” seru Emily heboh. Emily mulai kumat fangirling. Efek terlalu banyak menonton drama bersama Sarah, imajinasinya jadi liar. Gilbert membuang muka. Malas menanggapi. Ia memilih diam dan menatap keluar jendela. Mungkin ia juga tak kuat “melihat” dan “mendengar” pikiran Emily yang kompleks. Gilbert sedikit geli sekaligus risih.
“Hei, kenapa diam?” sahut Emily lagi sambil mengguncang pundak Gilbert.
“Masa bodoh! Mau selatan apa utara bukan urusanku,” jawab Gilbert ketus. Emily diam dan menautkan tangannya ke bawah, layaknya anak kecil yang bersalah.
Sepertinya Gilbert mulai menampakkan sifat aslinya.
[Tsundere ya?] pikir Emily diam-diam. [Tipikal dingin di luar, tapi hangat di dalam? Hehe.]
Gilbert mendengus. Ia memanyunkan bibirnya. Sekuat tenaga ia berusaha mengabaikan kakak kelasnya itu. Mengabaikan isi pikiran Emily mengenai dirinya.
***