“May my heart be kind, my mind fierce, and my spirit be brave.” – Kate Forsyth, The Witches of Eileanan
***
[SMA Kyungnam, Busan]
[Korea Selatan]
Kim baru saja akan pulang ke rumah setelah memebereskan isi loker sebelum seseorang dari sekretariat sekolah datang menghentikan langkahnya.
“Nak, kau Nicholas Kim? Yang mengajukan ikut pertukaran pelajar itu kan?”
Nicholas mengerutkan kening sambil mengangguk. “Iya benar.”
Orang itu tersenyum puas sambil mengulurkan tangan. “Kau susah sekali dihubungi. Selamat, kau berhasil lolos seleksi. Persiapkan kopermu. Secepatnya kau akan berangkat! Semua berkat hasil seleksimu yang sempurna! Tak salah lagi!”
Kim menatap tak percaya. “Benarkah itu?! Astaga aku tak percaya! Secepat itukah?"
“Ada tiga orang lain yang ikut terseleksi dan sudah kami beritahu sebelumnya. Hanya kau saja yang belum karena kau susah dihubungi. Untung belum terlambat.”
“Siap, Pak! Terima kasih!” Kim menjabat tangan dengan senyum kegirangan.
“Berterima kasihlah dengan kepandaianmu! Ini kesempatan yang langka!” kata orang itu sambil berlalu. Namun belum jauh ia melangkah pergi, Kim menyadari satu hal yang belum ditanyakannya.
“Pak, saya akan bertukar dengan pelajar dari mana?”
Orang itu menghentikan langkah. Ia tersenyum lebar sambil menatap Kim.
“Indonesia.”
***
Sarah tak percaya ini.
Nyaris dua minggu ia tidak menjumpai Emily. Tiap kali ia mencari di kelasnya, Emily pasti sedang ke kantin lah, ke toilet lah, ke kantor guru, pokonya banyak alasan dari teman-temannya. Begitu ingin mengajak pulang bersama, Emily pasti sudah pulang duluan. Sangat mencurigakan.
[Kali ini tak boleh lagi!]
[Itu dia!]
“Mau ke mana kamu, Emily?!”
Suara Sarah menggelegar hingga terdengar ke penjuru kelas di koridor. Emily memutar bola mata menghadapi tingkah konyol temannya.
“Kebetulan aku mau mencarimu. Aku juga mau ke lantai bawah, mau ikut?” tanya Emily dengan senyuman tak bersalah.
“Wah, siapa sih yang ngajarin kamu sesantai ini? Sudah dua minggu kamu plang duluan tanpa balas chat! Ada apa sih?” suara Sarah meninggi dan semakin cempreng. Tidak biasa karena Sarah tak pernah terdengar cempreng ketika berbicara.
Emily menggaruk kepala. Ekspresinya gusar. “Itu karena aku benar-benar ada urusan. Hehe. Kalau untuk hal lain, ini terimalah.”
Emily memberikan bingkisan kecil yang dibawanya. Bingkisan warna ungu tua dengan kartu kecil menghiasi bagian atas.
“Eh.. Ini kado untukku?! Memangnya kapan aku ulang tahun? Ah astaga. Aku melupakannya lagi!!" seru Sarah heboh.
Sarah sejak dulu selalu melupakan tanggal ulang tahunnya. Orang tuanya tak pernah membiasakan adanya perayaan ulang tahun di rumah ,sehingga Sarah tak peduli. Bahkan dulu, dirinya sangat introvert. Teman pun datang ketika butuh saja.
Sejak ia mengenal Emily dunianya berubah. Ia merasa dipedulikan oleh temannya itu. Bahkan tak bertanya kapan Sarah ulang tahun. Emily mencari tahu sendiri lewat sosial media. Sarah selalu melupakan hari spesial dalam hidupnya, tapi Emily selalu ada untuk merayakan.
“Dua minggu ini aku sangat sibuk, sampai lupa balas chat, hehe. Maaf ya. Kukira kamu bakal teringat sesuatu perihal hari ini nyatanya kau sama sekali lupa. Happy birthday my beloved friend!”
Sarah terharu dan tak tau harus apa. “Terima kasih..”
“Hei hei, jangan menangis!! Oh astaga. Anak ini kenapa jadi cengeng,” sahut Emily kebingungan.
Sarah terharu. Hatinya sungguh tersentuh.
Ini yang namanya teman. Dia benar-benar teman sejati. Bukan memanfaatkan, bukan memalak, bukan sekedar koneksi. Ada di saat membutuhkan. Ada disaat sepi. Ada di saat senang. Ada di saat titik terendah dalam hidup. Di mana tak ada yang peduli, bahkan saat dirimu sendiri mencampakkan harapanmu.
“Emily, terima kasih...”
***
“Sudah selesai menangisnya?” tanya Emily seraya menyodorkan tisu.
Sarah menyambar tisu itu dan menyumpalkan ke lubang hidungnya. Mengabaikan orang-orang yang mulai berkomentar dengan penampilan Sarah di koridor.
“Terima kasih lho...”
Emily menautkan alis. “Astaga anak ini, sudah kubilang itu bukan masalah. Kita berteman sejak dulu. Kenapa sih kau ini? Efek drama ya? Konsumsi drama berlebih bisa membuat dirimu sering meledakkan perasaan. Jangan terlalu sering lihat drama!” kritik dari seorang Emily yang menghabiskan jam kosong di kelas dengan streaming drama Korea.
Sarah tertawa geli. “Baiklah. Ayo pulang!”
Tiba-tiba ponsel Emily bergetar.
“Ah, tunggu sebentar. Ada telpon.” Emily mengeluarkan ponselnya.
Dari Luke.
Jarang sekali adiknya menelepon. Pasti ada sesuatu yang tak beres.
“Halo?”
“Kakaakk!! Kapan pulang sih?! Sudah jam lima! Aku lapar! Tak ada makanan di dapur! Belikan sesuatu!! Mama sama papa kan lagi pergi ke luar negeri, Kakak masa lupa sih buat mengurus makanan di rumah?!”
Piip.
Emily langsung mematikan ponsel dengan muka datar.
“Siapa?” tanya Sarah penasaran.
“Adikku yang bodoh.”
***
Sesampainya di rumah, Emily berhadapan langsung dengan adiknya di ambang pintu.
“Apa itu?”
“Makanan.”
“Berikan!”
“Tidak.”
Luke yang melayang di udara dan langsung mengeluarkan jurus gulat dengan kakaknya. Emily tak mau kalah, ia memejamkan mata dan mendadak menghilang tanpa jejak.
“Tak adil!” Luke mendumel. Ia melihat Emily sudah ada di atas tangga menuju kamar.
“Dasar bodoh.” Emily melempar satu kantong kresek besar ke arah Luke. “Makan itu!”
Luke langsung menyambar, membuka isinya, dan langsung memakannnya. Potongan pizza itu dilahapnya sekali telan di tempat ia berdiri. Ia pun menganbil beberapa potong lagi.
“Bodoh. Kamu punya telpon, tinggal delivery apa susahnya. Sampai kapan kamu manja, hmm?” Emily masih mengomel. Ia naik ke kamar sebentar lalu kembali turun ke ruang tengah. Sayup-sayup, ia mendengar celotehan Luke.
“Hahu hihak huha huang.” [Aku tidak punya uang]. Begitu yang diucapkan Luke dengan mulut penuh.
“Bohong. Uangmu kau sembunyikan buat beli barang aneh lagi kan? Terakhir belum kuperiksa paket aneh itu. Awas saja.”
“Ihu huhan huhuhanhu.”
[Itu bukan urusanmu]. Begitu katanya sekali lagi dengan mulut penuh.
“Huhahuha! Telan dulu sana!!” Emily turun dari tangga sambil menyambar dua potong pizza. Detik berikutnya ia dipelototi Luke.
“Apa hmm? Aku yang beli, aku juga berhak memakan sesukaku.”
Mereka makan bersama dengan situasi perang dunia kedua. Layaknya korban yang berebut jatah makan.
“Oh, hongong hongong hahan haha an hmahma huhang?” [Ngomog-ngomong kapan papa dan mama pulang]. Giliran Emily berbicara dengan mulut penuh.
Luke mendecak kesal. Tadi ia diceramahi dan sekarang giliran kakaknya. Menyebalkan.
Ia berdiri dan mengambil gelas, lalu mengisinya dengan air dari galon. Detik berikutnya ia berbalik melangkah ke arah Emily dan Luke langsung menyodorkan air itu tepat ke mulut kakaknya itu. Tak peduli mulutnya masih penuh atau tidak. Hingga Emily tersedak-sedak. Yap. Luke sangat sengaja.
“Kalau makan, di telan dulu, Kak. Nih air. Aku kurang baik apa coba, hmm?”
Menit berikutnya, aura ruangan semakin kelam dan dipenuhi hawa bertarung yang kuat.
“Beraninya kau adik kecilku yang baik hati dan manis.” Emily menyeringai seram.
“Oh tidak, bodohnya aku membangunkan jiwa psikopat kakakku...” sesal Luke.
Dan rumah besar itu berubah menjadi kapal pecah.
***
Mereka berdua berakhir dengan membereskan ruangan tengah. Untungnya orang tua mereka masih akan kembali 2 hari lagi, jika tidak, mungkin mereka berakhir dengan menjalani hidup tanpa uang bulanan.
Di sela-sela waktu, Luke menatap kakaknya. Dari tadi ia penasaran.
“Kak.”
“Apa lagi?”
“Ehm. Bukan. Lupakan saja.” Luke mengurungkan niat.
“Kubilang, apa?” Emily semakin penasaran.
“Oke. Apa Kakak menyadari sesuatu?”
“Aku tidak tahu arah pembicaraanmu.” Emilu mengerutkan dahi.
Cobalah berkaca. Ada tanda aneh. Maksudku, yah. Semacam simbol. Di dekat leher. Coba lihat.”
Emily melihat ke kaca. Detik berikutnya ia membelalakkan mata.
[Ini....]
[Tidak mungkin.]
***