1 - Awal Segalanya
“When I close my eyes, everything is possible for me.” – Emily Clarkson
***
Dia adalah orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Cara berpikirnya, cara dia mempelajari hal di sekitarnya, dan cara dia keluar dari semua permasalahan. Namanya Emily Clarkson.
Di umur Emily yang menginjak usia remaja, dunia terasa terlalu monoton baginya. Semua hanya seperti roda yang menggelinding dan sangat membosankan. Bangun pagi, berangkat ke sekolah, kegiatan di sekolah, pulang, belajar, tidur, bangun pagi lagi, baginya itu sangat monoton.
Ada saat di mana Emily memejamkan mata dan membayangkan dirinya menjadi penyanyi tekenal seperti Celine Dion contohnya. Bagi Emily, hal itu terasa sangat nyata. Seolah memang itu yang terjadi.
Kebiasaan itu muncul ketika umurnya masih sepuluh tahun. Saking bosannya, Emily membayangkan dirinya bisa menjadi pemain piano profesional seperti Chopin atau Mozart. Waktu itu, Emily berada di dekat ruang musik – menunggu teman pulang dari latihan. Karena terlalu berisik, dia mengambil saputangan dan mengikatkan ke mata. Aneh memang, tapi itulah Emily. Gadis itu memiliki suatu keajaiban dengan pikirannya yang tidak dimiliki orang lain. Atau lebih tepatnya, orang normal lain. Dan dia perlu suatu alat untuk mendukung “bakat” miliknya.
Saat itu, Emily membayangkan sedang berjalan ke sebuah ruangan putih dengan seluruh alat musik di dalamnya. Kemudian, dia duduk tepat di depan piano besar bercat hitam dan mulai menekan tuts yang ada. Emily pun mulai memikirkan lagu yang paling ingin ia mainkan. Teringat akan suatu melodi dari lagu klasik Chopin berjudul Fantaisie-Impromptu, jemarinya mulai beraksi.
Ketika gadis itu melepaskan ikatan saputangan dari pandangannya, dia sangat terkejut. Saat itu, Emily benar-benar tepat berada di ruangan serba putih, alias ruang musik sekolahnya. Dinding putih dan ruangan penuh alat musik yang ada dalam benaknya hanya ruangan ini. Emily berada dalam posisi duduk tepat di depan piano Yamaha yang biasa dimainkan Jesse, temannya itu. Jemari Emily juga bersentuhan dengan tuts piano. Padahal ia sungguh tahu, bahwa sebelumnya ia tidak berada dalam ruangan itu. Apalagi, Emily bukanlah seorang anak bisa bermain alat musik. Ia tidak bisa, sama sekali.“
"Ah, Emily, kenapa kamu di sini? Mencoba bermain piano?” Begitulah kata Jesse yang datang dari luar ruangan musik bersama anggota lain klub itu.
Emily yang kebingungan bertanya, “Kalian dari mana?”
“Baru saja dari kantin. Emily sendiri, habis dari toilet ya? Tadi di depan pintu sudah tidak ada. Padahal, aku mau mengajakmu ke kantin juga.”
Saat dia tengah bermain piano, ruang musik kosong karena anggotanya sedang beristirahat di kantin. Sungguh aneh, mengingat Emily tahu benar Jesse dan teman-teman lainnya masih ada dalam ruangan ketika ia tengah memejamkan mata, dan dia sendiri masih ada di depan pintu ruang musik.
Menyadari ada yang tidak beres, Emily mencoba mengulang kejadian itu setiba di rumah. Kali itu, dia meminjam biola sepupu yang sedang berkunjung di rumahnya. Emily membawa biola itu dan berlari ke bukit tak berpenghuni di belakang rumah. Emily berbaring sambil mengikat saputangan ke mata. Dia membayangkan sedang bermain biola dengan lagu Turkish March hingga selesai dan menjatuhkan penggeseknya tepat di kaki.
Ketika dia membuka saputangan yang menutup matanya, Emily menyadari tangan kirinya sedang membawa biola, dan dia dalam posisi berdiri – persis seperti yang ia bayangkan – dengan bow biola berada di atas punggung telapak kakinya.
Sejak saat itu, Emily menyimpulkan bahwa dia memiliki bakat yang unik dan tak masuk akal. Dia memutuskan untuk merahasiakannya dari siapa pun termasuk orang tua dan saudaranya. Emily tak mau mengambil resiko dianggap gila dan harus bertemu psikolog, psikiater, dokter, media, atau siapun itu.
Namun, jika diperlukan, Emily sesekali menggunakan bakatnya untuk pertunjukkan. Seperti sulap dan sihir contohnya. Terkadang ia membantu show di sekolah dengan tampil sebagai pemain biola bermata tertutup. Dan lagu favoritnya ialah semua karya Lindsey Stirling. Takkan ada yang curiga karena Emily bersikeras membuat dirinya tak dikenali dengan mengenakan kostum bertopeng.
“Jika aku memejamkan mata, semuanya mungkin bagiku,” katanya pada diri sendiri di suatu malam.
Kemampuan ini sudah Emily uji berkali-kali dan hasilnya tak terbatas. Contoh nyatanya, Emily pernah membayangkan berubah menjadi kucing dan menyelinap ke kamar adiknya, Luke Clarkson, di malam hari. Ketika dia membuka mata, Emily berada di kamar adiknya dan baju yang ia kenakan penuh dengan rontokan bulu. Ia sendiri meragukan hal itu, namun bulu-bulu itu bukanlah hal yang wajar karena keluarga Emily sendiri tidak memiiki anjing maupun kucing.
Emily mencoba lagi hal yang lebih di luar nalar dengan membayangkan dirinya menjadi hacker profesional, lalu meretas blog sekolah dan menambahkan catatan seperti "kau tak tahu siapa aku :)". Lagi-lagi itu yang terjadi dan Emily menemukan dirinya tepat di depan laptop dengan tulisan yang sama persis seperti yang ia bayangkan. Keesokan harinya, kepala sekolah membahas hal ini dan mencurigai semua murid. Namun percuma saja, Emily sama sekali tak meninggalkan jejak. Kecurigaan kepala sekolah tidak terbukti.
Sisi baik dari Emily, dia tak pernah menggunakan bakat itu untuk menguntungkan dirinya sendiri seperti mengubah nilai tes atau berubah seperti Mrs. Agustine, guru fisika yang pintar, ketika mengerjakan soal. Bakat ini tak boleh digunakan sembarangan untuk keuntungan pribadi, itulah yang diyakininya.
Sejauh ini, Emily tak menemukan satu pun orang yang menunjukkan hal yang sama seperti dirinya. Meskipun ia sudah berusaha keras mencari di internet, di jalanan, di tempat-tempat umum, gadis itu sama sekali tak menemukan orang yang sama seperti dirinya. Emily pun berpikir kemungkinan besar orang yang memiliki bakat tak masuk akal ini hanya dirinya seorang. Dia pun masih dibuat bingung dengan keadaannya sendiri. Apakah bakat ini berkaitan dengan sesuatu, atau hanya kebetulan. Yang jelas, Emily sudah sangat berhati-hati.
Hingga suatu saat, seseorang datang membaca pikirannya.
***