“The Wheel of Time turns, and Ages come and pass. What was, what will be, and what is, may yet fall under the Shadow.” – Robert Jordan, The Eye of the World
***
“Sudah kuduga,” kata Emily, “Kau pasti sama dengan kami.”
Gilbert mengangguk. Kim masih tidak tahu arah pembicaraan ini.
“I can't speak in Indonesia fluently. Please tell me in English,” keluh Kim tidak mengerti. Ia meminta mereka bicara dalam bahasa Inggris.
Sadar ia bisa melakukan sesuatu untuk hal itu, Emily menjentikkan jari. Sebuah ide luar biasa terbesit dalam pikirannya. “I can make you speak Indonesia fluently.” [Aku bisa membuatmu bicara bahasa Indonesia dengan lancar.]
Sebelum Kim kembali memprotes, Emily sudah lebih dulu memejamkan mata. Tangannya memegang kedua pundak Kim. Kim mengerutkan dahi, tak yakin dengan apa yang dilakukan Emily.
“Close your eyes.”
Walaupun sebenarnya Kim tak mengerti apa yang akan dilakukan Emily, mungkin mengerjainya atau apalah, ia menutup matanya. [Aku mencoba percaya saja], pikir Kim pasrah.
Beberapa detik berlalu dan belum menunjukkan reaksi. Kim ragu dan berpikir Emily sedang bercanda dengannya. Namun sesaat, Kim seperti melihat kosa kata asing bertebaran dalam otaknya. Seperti alat penerjemah, ia tahu semua arti kosa kata itu dan bagaimana merangkainya menjadi sebuah kalimat.
Begitu ia membuka mata, Kim sudah mengerti semua.
Emily juga membuka matanya. “Bagaimana?”
Dengan kegirangan Kim berseru, “Astaga, apa itu? Hebat sekali. Aku paham semuanya! Apa ini?! Apa yang terjadi denganku?”
Emily ikut tersenyum lebar. “Aku bisa membuatmu lancar berbahasa Indonesia dengan praktis.”
Gilbert menoleh ke Emily. Ada yang tak bisa ia pahami dari kejadian tadi. “Bukannya begitu kau membuka mata, Kim juga kembali normal seperti semula? Bagaimana bisa?”
Emily tersenyum. Ia sudah menduga Gilbert akan kebingungan.
“Aku pernah mencoba hal ini kemarin, waktu Luke mengerjakan PR yang tak dimengertinya. Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi satu hal yang tak bisa diubah adalah memori otak dalam mempelajari sesuatu,” jelas Emily. “Luar biasa bukan? Singkatnya, aku seperti mentransfer semua kosa kata Indonesia-Inggris dan penggunaannya ketika aku dan Kim memejamkan mata.”
“Ketika data itu masuk ke otak Kim, otak memproses data tersebut dan menyimpan dalam memori sehingga tak dapat dilupakan dengan dengan mudah. Jadi, aku sudah tidak memegang kendali ketika membuka mata. Semua data itu sudah menjadi milik Kim,” sambung Emily panjang lebar.
Gilbert menatap takjub. Ia bertepuk tangan pelan. “Wah, bakatmu seperti tanpa batasan. Aku iri.”
“Bukan bakatku, tapi penalaran yang dicampur imajinasiku, semua menjadi mungkin dikombinasikan dengan bakatku. Batasannya bisa dilampaui,” ucap Emily sambil tertawa kecil.
Gilbert melirik Kim, “Nah, coba katakan sesuatu, Kakak kelas baru! Yang tadi itu apa?”
Kim masih kebingungan. “Aku masih tidak paham. Tapi, ini luar biasa. Tidak masuk akal!”
“Wah, baru sekian detik kau sudah bisa lancar. Yah, walaupun logatmu masih kaku, tak apalah” ucap Emily bangga.
“Oke, sekarang jelaskan bakatmu tadi. Itu telekinesis kan?” tanya Gilbert cepat, “Yang tadi itu menakutkan! Jangan menggunakannya tiba-tiba!”
Kim mengerutkan dahi. “Tele apa? Aku bahkan tak tahu arah pembicaraanmu. Aku masih tidak mengerti.”
Emily berpikir keras. [Aneh, dia berpura-pura bodoh, atau memang tak tahu? Sudah jelas dia salah satu dari kami. Tunggu, jangan-jangan...]
“Kim, kau baru tau semua hal tak masuk akal ini sekarang? Sebelumnya kau belum pernah menjumpai hal aneh ini?” tanya Emily perlahan.
“Iya. Aku tak mengerti,” jawab Kim. Ia sampai tak berani menggerakkan tangannya lagi.
Gilbert paham situasinya. “Ini pertama kalinya. Bakatmu muncul baru sekarang.”
“Sebenarnya aku tak tahu, sedari tadi kalian mengucapkan bakat. Memangnya apa kaitannya denganku?” tanya Kim frustrasi.
[Dia tidak menyadarinya], pikir Emily.
“Angkat tanganmu.Fokuskan ke bola basket itu!” perintah Emily.
Kim mengerutkan dahi, hendak bertanya lagi.
“Jangan tanya. Lakukan saja,” kata Emily sebelum Kim sempat membuka mulut.
Kim mengangkat tangan kirinya ke arah bola. Mendadak ia membelalakkan mata begitu mendapati bola itu langsung mengambang.
“T-tak mungkin!”
Kim mencoba menaikkan dan menurunkan tangannya. Alhasil bola itu bergerak naik turun mengikuti tangan Kim. “A-aku?! Telekinesis?!”
Gilbert menepuk pundak Kim beberapa kali. “Kau salah satu dari kami.”
Kim gemetar ketakutan. Apa maksudnya ini?!
Gilbert yang mendengar semua isi pikiran Kim justru tertawa. “Jangan bingung. Karena kami justru lebih kebingungan dibandingkan denganmu saat ini.” Sudut bibir laki-laki itu terangkat ke samping. “Sekarang karena kau salah satu dengan kami, aku yakin.. semua akan terungkap.”
[Sebentar lagi. Hidup kami yang biasa-biasa saja akan kedatangan orang-orang baru.]
[Kami.. mungkin akan terlibat hal yang di luar nalar perkiraan siapapun.]
***