Dipecat

1146 Words
"Masuk tidak? Masuk tidak? Masuk tidak?" Menghitung jari. "Argghh! Masuk sajalah!" putus Zia akhirnya. Setelah pulang dari sekolahan Qeela kemarin, Zia bergegas ke rumah Tuan Dirga. Berniat menjelaskan pada pria itu jika dia sudah berusaha menjemputnya tepat waktu, namun sang macet membuatnya terlambat. Cepat-cepat kembali seperti di kejar jin, Zia tidak mendapati pria itu di rumahnya, Qeela juga. Security mengatakan jika Tuan Dirga dan putrinya belum kembali. Zia putuskan untuk menunggu kedua Bapak dan anak itu, namun menjelang malam mereka belum juga kembali. Membuat Zia akhirnya pulang tanpa di berikan kesempatan menjelaskan. Zia menjadi lemas, putus asa dan takut untuk kembali lagi. Zia ingin meminta Bik May segera pulang dan bekerja lagi. Namun baru saja Zia hendak mengutarakan ketakutannya, bik May sudah bercerita jika nenek semakin parah dan membutuhkan rawat jalan. Bik May juga berpesan agar Zia jangan sampai tidak datang dan melaksanakan tugasnya dengan baik, menuruti setiap perintah Tuan Dirga dan menghormatinya. Hal itu membuat Zia lesu dan memendam ketakutannya sendiri. "Ekhem!" "Duda loncat!" Aduh Zia! Kenapa pake latah segala sih. Pake manggil duda lagi, ketauan banget mikirin dudanya, kan. Dahi Dirga sudah berkerut, matanya menyorot tajam membuat Zia meneguk saliva kasar. Padahal belum sampai tuan Duda ini menceramahinya, tapi Zia sudah seperti tercekik melihat wajahnya. Gimana kalau dia ngomong nanti. "Kamu saya pecat!" sentak Dirga langsung melenggang pergi. Kan, kan. Zia kelimpungan, mengejar Dirga. "Ah, Lopa, lopa, lopa!" Meriah lengan Dirga dan memeluknya kuat. Sadar ada yang aneh, Dirga berhenti. "Lopa?" Panggilan bodoh apa itu? Zia mengerutkan wajah, Aduh Zia, bagaimana bisa dia memanggil Bos dengan kata 'Lopa' Zia bodoh, kebanyakan nonton drakor kan ini. Dahi Dirga semakin berkerut melihat bocah ingusan ini malah cengengesan bodoh, kemudian melihat tangannya yang di peluk erat. "Lepas!" sentak Dirga sontak membuat Zia ketakutan dan melepas genggaman. "Lopa tunggu!" "Tuan!" sentak Dirga tidak suka dengan panggilan aneh bocah bodoh ini. "Ya, Duda." "APA?" "Eh iya Tuan, tungguuu!" Zia seperti gadis bodoh di depan Dirga. Berbicara saat Dirga menghentikan langkahnya dan berbalik. "Saya sudah menjemput kemarin, tapi karena macet saya tidak bisa datang tepat waktu," lirih Zia berharap pria yang saat ini bersidekap di depannya ini iba dan tidak jadi memecatnya. "Lalu?" Ha? Zia melongo "Lalu apa? Lalu terlambatlah, apa lagi?" jawab Zia tanpa sadar sontak menutup mulutnya. Bodoh sekali dia menjawab itu, jelaskan lah apa yang kamu lakukan kemarin kembali ke rumah dan menunggu mereka. Bukan menjawab seperti itu! Zia merututi mulutnya. "Kamu saya pecat, pergi dari sini!" putus Dirga langsung melenggang pergi dan menutup pintu. "Ah, lopa, lopa! Lopa? Ah maksud saya tuan, saya langsung kesini dan menunggu anda tapi anda tidak kunjung kembali sampai malam!" teriak Zia mencoba menjelaskan. Namun terlambat, pintu sudah di tutup rapat oleh Dirga. "Tuan maafkan saya, saya sudah menjemput kemarin," sahut Zia sambil mengetuk pintu. Berharap Duda sialan itu berubah pikiran dan membuka pintu. Namun lelah Zia mengetuk, pintu itu tidak kunjung di buka. Dengan malas Zia mengangkat kaki keluar dari rumah Dirga. Menjauhi rumah itu dengan sesekali melirik kebelakang, masih berharap Dirga mengurungkan niatnya atau Qeela yang tiba-tiba mengejarnya. Namun itu hanya harapan, nyatanya tidak ada yang memanggil Zia meski dia sudah sampai gerbang. "Neng!" seorang satpam mengejutkan, Zia tak menjawab, malas. Moodnya sudah hancur gara-gara si duda itu. "Bagaimana Neng masuk tadi? Saya kan baru buka gerbangnya sekarang," tutur security rumah menatap Zia heran. Dia tahu tidak ada orang lain di rumah ini kecuali Tuan Dirga dan putrinya, lalu gadis ini? "Hiber!" jawab Zia asal, meninggalkan security yang saat ini sudah menatapnya aneh karena menatap Zia berjalan tanpa alas kaki. Di atas meja makan bundar di satu ruangan keluarga. Seorang gadis kecil sedang membaca bukunya serius. Mendengar derap langkah kembali membuatnya menoleh dan tersenyum. "Siapa yang datang, Yah? Apa itu Kak Zia?" tanya Qeela antusias. Qeela ingin mengucapkan terima kasih karena di beri buku yang saat ini ia genggam. Qeela sangat menyukainya. Melihat senyum dan perubahan putrinya yang rajin membaca membuat hati Dirga melunak. Padahal baru sehari gadis itu, membuat Qeela yang tidak pernah ingin membaca malah rajin. Tapi tunggu, tidak ada toleran bagi orang yang melakukan kesalahan, sekecil apapun. Apalagi ini menyangkut putrinya, dia tidak akan ceroboh memilih orang. Untung saja Dirga datang tepat waktu kemarin, jika tidak Dirga mungkin akan kehilangan Qeela mengingat sedang banyaknya maraknya penculikan sekarang. "Jawab, Yah! Apa itu Kak Zia?" Zia menarik jas ayahnya. membuat Dirga kelimpungan karena penampilannya jadi acak-acakan. "Bukan!" jawab Dirga cepat "Ayah bohong!" gadis kecil yang cantik itu menatap ayahnya tajam. Dirga terdiam sepat terhakimi oleh mata dan bulu mata lentik itu, persis sepeti ibunya. "Tidak!" "Hidung ayah ngembang dan merah, itu artinya ayah bohong! Cepat katakan! Dimana Kak Zia?" tanya Qeela kukuh. Dirga tak peduli, malah duduk dan menyeruput kopinya. Jika itu memang gadis ingusan dan bodoh itu memangnya ada apa? Dia sudah memecatnya dan menjamin tidak akan biarkan gadis ceroboh seperti itu bekerja padanya. "Dimana Kak Zia ayah?" Masih bertanya dan menarik-narik jas ayahnya. Pusing anaknya terus merengek, Dirga beranjak. "Dimana Kak Zia, Yah?" "Diam!" sentak Dirga "Dia sudah aku pecat, dan tidak akan kembali lagi. Sekarang habiskan susumu dan kita berangkat sekarang!" suara Dirga menggelegar menghiasi rumah pagi ini. Qeela menatap ayahnya benci, padahal dia hanya bertanya dimana Kak Zia. Setelah mendapat nasehat dari Kak Zia, Qeela tidak membantah apapun lagi ucapan ayahnya padahal. Zia juga mau ikut ayah bertemu dengan calon ibunya kemarin, meski sebenarnya Qeela tidak suka. Tapi mengingat ucapan Kak Zia untuk tidak membantah dan mengikuti perintah Ayah, Qeela melakukannya. "Ayah jahat!" teriak Qeela, membanting gelas s**u tadi ke arah tangga dan berlari. Qeela membenci ayahnya yang selalu berteriak, benci rumahnya yang selalu sepi, benci teman-temannya juga yang selalu mengejeknya tidak punya ibu. Zia membenci semuanya. Berlari dengan asal, menginjak air s**u tadi hingga membuatnya terpeleset dan jatuh menggelinding. "Qeela!" suara Dirga kembali menggelegar. Berlari dan menghampiri putrinya. "Qeela! kamu tidak apa-apa, Nak?" Dirga mengusap-usap kepalanya. "Arghhh!" frustasi mendapati darah di kepalanya, Dirga bergegas membopong putrinya dan berlari masuk ke dalam mobilnya. "Buka gerbang!" teriak Dirga saat dia masih jauh dari gerbang. Security yang mendapat teriakan ikut panik, membuka gerbang cepat dan membungkuk ketika mobil Dirga sudah melesat cepat. "Qeela! Qeela bangun sayang. Maafkan ayah, kumohon jangan tinggalkan ayah, please!" Dirga sudah tidak karuan, matanya sudah menitikan air mata. Kehilangan istri tercinta seperti kehilangan hidupnya, tapi bersyukur ada bidadari kecil mereka yang membuat Dirga bertahan. Dirga tidak bisa bayangkan jika dia harus kehilangan dua wanita permata sekaligus dalam hidupnya. Di pinggi jalan Dirga melihat Zia, gadis itu berjalan tanpa alas. Ingin dia tak peduli. Namun mengingat putrinya akrab dan dekat sekali dengan gadis ingusan itu Dirga menghentikan mobilnya. Keluar dan membuang egonya. "Ikut saya!" sentak Dirga sambil menarik lengan Zia kasar. "Eh culik! Tolong ada yang mau nyulik say hmmmm." Dirga membungkam gadis ingusan yang cerewet itu. "Qeela jatuh dari tangga, ikut dan temani saya atau kau, benar-benar saya pecat!" kecam Dirga membuat Zia yang baru sadar akan kehadiran Dirga langsung mengangguk. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD