Bapaknya galak

1143 Words
Setelah sarapan pagi, Daffa dan Zia kembali bergerak menuju perpustakaan. Kedatangan Zia bersama Daffa mengundang banyak bibir di lingkungan mereka. Pak Daffa memang terkenal tidak mudah dekat perempuan, namun kedekatan Pak Daffa dan Zia kerap di gosipkan hal tidak sedap oleh setiap karyawan wanita yang menyukai Pak Daffa tentunya. “Lihat, lihat! Pak Daffa ngebukain pintu buat Zia!” teriak Friska heboh. Tubuh dan tangannya terus menggeser karyawan lain yang juga sedang mengintip dibalik kaca. “Ish! Badan gede juga. Ngabisin tempat aja!” sahut lala ketus. “Suka-suka dong,” jawab Friska tak kalah sengit. Lia hanya menghembuskan nafas panjang setiap kali melihat pertengkaran Friska dan Lala. “Zia!” panggil Lia ketika Zia sudah tiba di depan pintu, sedangkan Pak Daffa langsung masuk kedalam ruangannya. “Eh Lia!” Zia baru menyadari kehadiran teman-temannya yang ternyata memerhatikan kedatangannya bersama Pak Daffa. “Tumben, bareng sama Pak Bos,” tutur Lia. Friska dan Lala kembali ke tempat kerja memulai pekerjaan mereka dengan memasang kuping siap-siap. “Oh, nggak sengaja ketemu di sekolahan tadi,” jawab Zia jujur. “Sekolahan?” Kedua alias Lia bertaut. Sejak kapan bocah ini ke sekolahan? “Nanti ku ceritakan, aku ada urusan sama Pak Daffa dulu bentar ya!” ujar Zia sedikit berteriak karena dia sambil berlari menuju ruangan bertuliskan manager. “Walah!” Lia menatap kepergian sahabatnya itu dengan sedikit menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tok-tok-tok. “Masuk!” Suara mode kerja di mulai. Suara Pak Daffa memang lembut, tapi berbeda jika di lingkungan kerja. Suara imut bak meong itu akan berubah seperti singa di hadapan siapapun. Zia menelan saliva, perasaan puja-puja yang ia lantunkan tadi pagi langsung sirna. “Hm, ini Zia, Pak. Bolehkah saya masuk?" “Masuk!” Perlahan Zia menggeser pintu dan masuk. Derap langkah kaki kecil nan cantik menghiasi penglihatan Daffa pagi ini. Setelah tak sengaja menemukan gadis itu di depan parkiran sekolah, kini gadis itu kembali menghiasi matanya. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sedada jika Daffa dan gadis itu berdiri berdekatan. Rambutnya yang hitam terurai, juga wajahnya yang cantik dan menggemaskan. Semuanya tidak luput dari mata Daffa. “Ada apa?” Masih bicara dengan mode kerja. “Maksud Zia kesini, Zia mau meminta ijin, Pak.” Belum berubah, wajahnya yang tampan masih diposisi, hanya alisnya saja yang sedikit bergerak. “Hm, anu. Zia harus menggantikan bibik bekerja di tempatnya selama nenek sakit.” Semakin bergerak alisnya. “Hanya seminggu, Pak," tutur Zia cepat. Jika di luar Zia bebas menikmati senyum dan candaannya. Berbeda jika di tempat kerja. Pria itu sangat professional dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, selalu berlaku adil pada setiap karyawannya. Zia harus bisa! Kedatangan Daffa kesini masih terhitung jari, bisa seminggu bahkan sebulan sekali. “Kau tahu apa sanksi jika salah satu karyawan melanggar perjanjian?” Bertanya setenang mungkin. “Diberikan surat peringatan, dan jika lebih dari tiga kali akan di keluarkan secara tidak hormat,” jawab Zia lantang. Tentu, semua disini mengingat betul peraturan yang dibuat pria jerman berdarah dingin tersebut. “Bagus! Pergi dan laksanakan tugasmu,” ucap Daffa membuat senyum Zia mengembang. “Baik! Terima kasih, Pak. Terima kasih,” tutur Zia senang sambil membungkuk. Gadis itu langsung berbalik setelah membungkuk, namun langkahnya yang cepat langsung terhenti ketika suara Daffa kembali keluar. “Zia Arnanta!” “Eh, iya. Pak?” Berbalik, hatinya kembali bergetar aneh menatap wajah bosnya itu. Hening. Daffa masih bungkam, hanya menatap Zia yang menunggu jawabannya. “Kau tidak ingin mengisi laporannya?” “Oh iya!” Menepuk jidat diiringi senyum tanpa dosa. Kemudian berlari menghampiri meja Daffa dan mengisi laporan perizinannya dengan cepat tak lupa Zia membubuhi tanda tangan di akhirnya. “Sekali lagi terima kasih, Pak.” Tutur Zia tulus, kemudian berbalik setelah membungkuk hormat. Daffa masih betah duduk di tempatnya, menatap kepergian gadis itu dengan senyum tipis. “Menggemaskan!” *** “Bang! Ayo dong! Bisa cepat dikit gak sih!” Cecer Zia pada pengendara taxi. Namun sang sopir hanya diam saja, tak menanggapi ucapan Zia. Mungkin malas menjelaskan, sudah jelas di depan macet. Mau jalan bagaimana? terbang gitu? Kembalinya dari perpustakaan, Zia hanya di kelilingi macet ibukota yang menyebalkan. Beberapa kali ia meremas ujung baju dan tas ranselnya. Padahal Zia hanya mengobrol dengan Lia sebentar saja tadi, meminta ijin sekaligus berpamitan meski hanya ijin seminggu. Lia menanggapi sedih, tidak ada teman yang bisa di ajak berbagi cerita selain Zia di toko buku itu. Mereka memang seperti sejoli yang tidak bisa dipisahkan. “Udah, udah jangan sedih, aku kan hanya seminggu,” tutur Zia tersenyum sambil menaik turunkan alisnya berkali-kali. “Mulai dah ni bocah aneh!” Hardik Lia tak suka. “Haha, aku akan merindukanmu.” “Hm, aku juga,” tutur Lia lesu, kemudian membiarkan Zia pergi karena harus melanjutkan tugasnya, yaitu menjemput nona kecil yang bernama Qeela putra Dirga. “Udah jam 12 kurang lima belas menit ini!” Zia semakin cemas, menatap jam tangan pink yang melingkar di tangannya dengan nanar. Bisa habis jika Zia terlambat menjemput Qeela. “Mana bapaknya galak kayak singa lagi," tutur Zia tanpa sadar. Bola matanya bergerak-gerak menatap luar jendela yang ramai padat bagai pasar. Mobil yang di tumpangi Zia tak bisa melangkah walau hanya sejengkal. “Pak! Saya turun disini saja aja. Ini uangnya!” Meletakan beberapa lembar uang dengan tergesa. “Tapi non-.” Ucap sang sopir terhenti ketika melihat Zia sudah keluar dan memiring-miringkan badan demi mencari celah keluar dari jalan. “Gadis sekarang! Selalu saja ceroboh dan terburu-buru." Sang sopir geleng-geleng kepala. Kemudian menatap uang lebih yang di letakan di kursi sampingnya. Di halaman sekolah boarding school, Zia berlari bagai pelari maraton yang sebentar lagi sampai. Padahal hanya dua puluh lima meter, namun sampai membuat Zia ngos-ngosan. Bukan karena berlari sih faktornya, namun karena takut singa tua itu datang lebih dulu daripada dirinya. “Pak, pak, pak!” Masih jauh Zia surah berteriak, membuat sang penjaga menoleh. “Pak! Anak kecil yang saya antar tadi kemana, ya? Kok sepi?” tanya Zia saat dia sudah sampai. Pandangannya mengedar menyapu seluruh halaman sekolah. “Eh nona cantik, balik lagi.” Security itu kembali cengengesan menatap wajah Zia yang cantik. Kecantikan Zia memang sempurna, mampu membetot perhatian laki-laki meski hanya dengan sekali lirik. “Bapak! Bapak lihat anak kecil yang saya antar tadi pagi tidak?” tanya Zia kesal, mengeraskan sedikit suaranya. “Eh, eh iya non. Tadi dia nunggu disini.” “Terus, terus sekarang dimana?” Sambar Zia tak sabar. Hatinya bagai bola volly saat ini. Bulak balik tak karuan. “Sekarang sudah di jemput.” “Sudah di jemput, Pak? Sama siapa?” tanya Zia dengan suara tertahan kemudian meneguk Saliva. “Di jemput Tuan Dirga, Non.” “Mampus!” Tubuh Zia langsung lemas. Oleng. “Eh Non, Non. Kenapa?” tanya pak petugas tadi dengan cipika cipiki. Tangannya berusaha memeluk Zia yang kelimpungan. “Gapapa. Saya bisa sendiri pak!” Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD