BADDAS 10

2023 Words
Dalam hidup setiap orang pasti pernah merasakan duka yang mendalam. Entah itu kehilangan orang tercinta, ataupun duka duka lainnya yang menyisakan luka dan rasa sakit yang tidak ada obatnya. Sama halnya seperti Rey saat ini, aksinya menyanyi bersama Airin dan Andreas, bukan hanya melahirkan sanjungan melainkan membuat dia harus memelihara luka karena gitar klasik kesayangannya diambil alih oleh eh guru BK. Alasannya karena anak-anak tingkat 1 di Baddas Academy itu belum diperkenankan untuk memegang alat musik sebelum menyelesaikan pendidikan dasar selama 6 bulan, barulah setelah 6 bulan mereka bisa mulai belajar diselingi dengan berbagai macam seni yang menjadi minat dan bakat mereka. Rey murung, lebih murung ketika dirinya mengetahui harus segera berangkat ke Baddas Academy, gitar itu segalanya bagi dia. memang tidak pernah bercita-cita menjadi musisi kendati begitu musik tetap menjadi bagian dalam hidupnya. Meski alasan pertama kali lelaki itu bermain musik adalah karena paksaan dari kedua orang tuanya. Setelah kejadian kemarin beredar di kalangan siswa dan juga guru-guru, tidak sedikit yang tampak panik akan kejadian tersebut. Rencananya mencari perhatian memang benar-benar terlaksana, namun tidak sepenuhnya mulus karena ternyata menimbulkan dampak yang begitu besar. Tidak boleh ada pertunjukan di luar pelajaran, tidak boleh ada yang memainkan musik di luar ruangan musik. Mereka merasa Jalan semakin buntu, mungkin memang sudah takdirnya tidak bisa mengikuti Olimpiade tersebut. "Bisakah kita meminta bantuan Harvey untuk mengambil kembali gitarmu?" Andreas yang selalu optimis kini tengah putus asa bertanya dengan suara getir. "Dia hanya berstatus sebagai pendamping kita, tidak benar-benar mendampingi dan membela kita. Buktinya waktu kejadian Peach tempo hari, tidak ada pembelaan untuk kami." Raut wajah Aries yang senantiasa ceria dan jenaka kini tampak sedih. Rencana yang semula mereka kira akan membuahkan hasil ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Tatapan mata orang-orang kini seakan mengejek dan mencemooh gen 9. Tidak ada satupun dari mereka yang berani berjalan sendirian, jika tidak, siap-siap saja mendengar ocehan ocehan menyakitkan hati. Sindiran dan cibiran begitu gencar terdengar, padahal mereka hanya bernyanyi melepas penat sekaligus mencari perhatian dari kepala sekolah dan anggota dewan Academy yang terang-terangan menentang gen9 untuk ikutan Olimpiade. "Jika orang yang semula kita percaya dapat membantu dan melindungi ternyata tidak bisa diandalkan, kepada siapa lagi kita menggantungkan harapan di tempat ini?" "Mungkin kita memang benar-benar belum layak untuk mengikuti Olimpiade ini, mungkin juga memang benar alasan kita bersepuluh ini diterima di sini karena keterpaksaan. Karena tidak ada yang bagus jadi terpaksa diambillah kita, kita yang nggak bagus-bagus amat ini." Hampir semua orang yang ada di sana menyetujui apa yang dikatakan oleh Joanna barusan. Kecuali satu orang yang kini berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Sedih tak terperi yang dia rasakan bertahun-tahun silam harus dirasakan kembali oleh anak yang dia dampingi. Ya betul sekali, Harvey yang ada di sana, semula lelaki itu ingin menghibur anak-anak gen 9, menyampaikan bahwa Alaska tidak mau mendengarkan apa yang dia minta. Namun begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Aries, dia itu seketika berpikir, dia bukanlah pendamping yang baik. Lelaki itu berpikir, mengambil gitar anak-anak gen 9 adalah tindakan yang sangat tidak adil, tanpa berpikir panjang akhirnya langkah-langkah lebar lelaki itu menuju ruangan BK. Hanya dia yang bisa pembantu bernegosiasi agar gitar itu bisa kembali. Tanpa menimbulkan suara, Harvey akhirnya meninggalkan tempat itu. Gejolak rasa yang dia miliki begitu sangat kuat, perasaan yang membuncah membuat lelaki itu berjanji akan melakukan segalanya untuk kebahagiaan anak-anak gen 9. *** Sulit mengembalikan buncahan semangat yang menggunung kemudian tiba-tiba harus luluh lantak begitu saja. Sebagian dari siswa gen 9 merasa bahwa berada di sini adalah sebuah kesia-siaan. Untuk apa mereka dipilih, jika pada akhirnya harus diabaikan. Andreas bahkan sudah tidak bisa menghentikan teman-temannya, Rey, Airin, Joanna dan juga Peach yang ingin menyudahi segalanya sekarang juga. Sekolah di sekolah umum mungkin akan lebih baik daripada di sekolah ini, di sini baru pertama masuk pun ada harapan yang tidak bisa mereka raih dengan mudah. "Gue benar-benar lelah, belajar seperti ini seharusnya bisa dilakukan di sekolah mana pun. Gue mau minta balik gitar dulu, habis itu berkemas dan pergi dari sini. Peduli amat digantinya kedua orang tua gue bakalan marah." "Rey, please jangan gegabah, mereka mungkin punya alasan yang kuat melarang kita ikut Olimpiade ini, bersabarlah." Andreas meraih tangan Rei yang hendak pergi menuju ruangan BK. Lelaki itu menghentikan langkahnya menatap Rey yang tengah memohon. "Lepasin gue Andreas. Gue asalnya nggak antusias sekolah di sini nggak antusias juga ikut Olimpiade, tapi setelah dipikir-pikir memang tidak adil jika kita tidak ikut Olimpiade. Banyak sekali ketidakadilan yang kita terima salah satunya tidak diperkenankan menggunakan ruangan musik alasannya karena ruangan tersebut dipakai oleh siswa-siswa yang sedang berlatih persiapan The Baddas. Terus kita mau apa di sini mau bengong mau belajar matematika dan IPS? Itu tetap kita bisa pelajari di sekolah luar di SMA pada umumnya." "Tolong tenangin dulu pikiran lo," pinta Andreas tangannya lembut memegangi tangan Rey semata mencegah benar-benar pergi dari Baddas Academy. "Andreas, gue harus bawa gitar gue dan pulang." "Gue juga!" "Gue juga! Airin, Joanna dan Peach ikut menjawab. Memutuskan segala sesuatu ketika sedang emosi memang tidaklah tepat, itulah yang dirasakan oleh keempat temannya, Andreas bergegas menuju ke ruangan Harvey. Jangan sampai mereka memutuskan benar-benar untuk keluar dari Baddas Academy. *** Andreas menyeret langkahnya, melewati koridor berlantai keramik mengkilap yang senantiasa di pel oleh petugas. Ketika berjalan tergesa, sol sepatunya bergesekan dengan lantai menimbulkan suara berdecit decit persis seperti bunyi tikus yang terjebak di dalam got. Dia harus bergerak lebih cepat sebelum Rei sampai di ruangan BK. Sebelum lelaki itu benar-benar memutuskan untuk pergi dari badass Academy. Pucuk dicinta ulam tiba, baru saja keluar dari ruangannya. Dia mengangkat alisnya sebelah, sekumpulan pertanyaan terhimpun di kepalanya. Ada apa gerangan Andreas mencari dirinya seperti saat pertama kali. Dia tersengal napasnya terus mencekik, seakan memaksa seluruh pasokan oksigen dalam paru-paru untuk keluar. Tidak ada yang sanggup dia katakan selain menetralkan perasaan lelah. "Rey," ucapnya terbata. "Rey, Peach dan Joanna nekat pergi, mereka tidak bisa saya kembalikan lagi Pak." "Di mana mereka Sekarang?" Harvey nyaris naik pitam. Tidak! Tidak boleh ada yang pergi dalam situasi apa pun. "Rey masih ingin pergi ke ruangan BK untuk mengambil gitarnya, Joanna dan yang lain masih berkemas." Andreas mendadak putus asa, sebagai seorang pemimpin dirinya merasa sangat gagal. Seharusnya dia bisa mengendalikan teman-temannya, seharusnya bisa menampung aspirasi, bisa menjadi tempat curhat. "Jangan mikir aneh-aneh," komentar Harvey begitu melihat raut muka Andreas yang kusut seperti benang sisa. Harvey melesat pergi mencari Rey, setelah lelaki itu memerintahkan kepada Andreas untuk menjaga Johana, Peach dan juga Airin untuk tetap di asrama gen 9. Jangan sampai ada yang keluar, setelah menyusul Rey, Harvey janji akan menemui semua anak-anak gen 9 di asrama. Sayangnya pergerakan mereka kurang begitu cepat, Ketika Harvey sampai di ruangan BK, lelaki itu melihat bagaimana Rey berlutut dan memohon agar gitar klasik miliknya dikembalikan. Sebenarnya harve memang berencana akan mengambil gitar itu, akan tetapi kejadian ini kejadian yang tidak pernah direncanakan justru menjadi penghambat Harvey mendapatkan kembali gitar itu. Tanpa mengetuk pintu dan persetujuan lelaki itu menerobos masuk ke dalam ruangan. "Rupanya Anda lupa bagaimana caranya mengetuk pintu, Pak," sindir Gerald. "Atas dasar apa kamu menahan gitarnya?" Rey mendongak melihat gurat-gurat wajah Harvey dengan suara menggelegak. "Ho! Pantes anak-anak gen 9 tidak memiliki sopan santun, karena ternyata pendampingnya pun tidak memiliki kesopanan sama sekali." Harvey geram, lelaki itu semakin marah. Namun, dia tahu Gerald hanya memancing dirinya, lelaki itu memang selalu berusaha untuk menjatuhkan Harvey, baik itu dulu ketika bersekolah di Baddas Academy maupun sekarang saat keduanya sama-sama memutuskan untuk mengabdikan diri di institusi pendidikan ini. "Maaf Pak, Baddas Academy adalah sekolah berbasis seni, sungguh ironis ketika salah satu siswanya yang memiliki sebuah gitar justru tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan gitar itu dengan sebaik-baiknya." Rey semakin bingung, Aries bilang Harvey tidak pernah menolongnya saat kejadian yang menimpa, terapi Rey justru melihat dengan jelas bagaimana Harvey sangat marah hanya demi membela dirinya. "Tindakan mereka menyanyikan lagu-lagu di gazebo pun tidak bisa dijadikan alasan yang kurang baik, mereka hanya sedang menghibur diri dari kejenuhan, memberikan sesuatu yang manis di tengah padatnya aktivitas." "Tindakan mereka jelas-jelas mengganggu anak-anak yang 7 yang sedang belajar mempersiapkan ujian." "Lantas mengapa gitarnya harus dibawa? Kenapa enggak diberi peringatan karena sejauh ini mereka adalah anak-anak yang patuh, tidak mungkin melanggar perintah." "Karena saya tidak ingin melanggar perintah," cetus Gerald. Rey yang semula berlutut dan memohon di hadapan Gerald, kini berdiri. Menyaksikan perdebatan yang terjadi antara Harvey dan juga Gerald. *** "Joanna, please, jangan pergi kayak begini. Anjir lah nanti dilihat gen 7 habislah kita." Andreas berusaha mencegah kepergian Joanna, Peach dan Airin. Suara langkah kaki dan roda koper bergema di lorong asrama. Zhie menyaksikan kejadian ini di ambang pintu asrama, di juga tak kuasa mencegah teman sekamarnya pergi. Mereka kecewa, tidak ikut Olimpiade sama saja dengan tidak bersekolah di Baddas Academy. Langkah tergesa Joanna dan Peach terhenti ketika di ujung koridor bertemu dengan Harris, saudara kembar Harvey yang merupakan pendamping gen 8. Tanpa kata, lelaki itu membawa paksa Joanna dan Peach kembali ke kamar, sementara Airin dia hanya mematung tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Sikap kalian yang kekanakan ini bikin nasib saudaraku terancam. Kalian mau pergi? Ke mana? Pulang?" sentak Harris, ruangan bersama di Asrama gen 9 tampak begitu menakutkan. Sembilan anak menunduk di sana, Harris begitu tegas dalam kemarahannya, wajahnya serius terpahat sempurna, dengan tonjolan urat urat di pelipis. "Kalian mau menyerah padahal belum melakukan apa apa?" Joanna mendongak, dia merasa sudah mati-matian bersuara menginginkan diikutsertakan dalam Olimpiade. Wajah Harris tidak ada lembut-lembutnya, nyali perempuan itu menciut. Tidak lama kemudian Rey datang dengan Harvey, dia berhasil kembali membawa gitar pemberian kedua orangtuanya. Kembar yang sudah dewasa itu berbicara lewat tatapan mata. Harvey menyadari bahwa bukan kapasitas dia berada di depan ini. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada adik kembarnya. "Duduk, Rey!" perintah laki-laki itu. Rey berjalan gontai kemudian duduk di sebelah Andreas. "Kalian semua mau ke mana? Pergi?" Tidak ada penekanan dalam suaranya, datar, emosi yang ditunjukkan adalah sekumpulan perasaan lelah dan kecewa. "Percuma kami di sini." Joanna menyahut, diiyakan oleh Peach dan juga Airin. Harga kemudian bicara panjang lebar, dia juga mempertanyakan bagaimana caranya pulang dari tempat ini, sedangkan lokasi dari pusat kota ke Baddas Academy harus dilalui dengan menggunakan bis. Tidak akan ada kendaraan yang lewat di depan Baddas Academy, karena lokasinya memang bukan merupakan jalanan umum. Sebagai pendamping, lelaki itu kemudian mengutarakan permintaan maafnya. Dia tahu anak-anak didiknya itu kecewa, dia juga tahu mereka menganggap dirinya tidak becus dan tidak adil. "Kalian tahu jika kalian pergi apa yang akan terjadi pada saya?" tanya Harvey, lelaki itu bertanya dengan suara serak. Sesekali dia melirik saudaranya. "Kalian tidak akan pernah tahu untuk pendamping kalian begitu kerasnya memperjuangkan nasib nasib kalian." Mendengarnya semua mata tertuju pada Harris. Joanna terlihat ingin protes, tetapi dengan sigap Haris memberikan kode kepada anak itu untuk tidak bicara. "Kami tahu kalian sangat kecewa, kalian tahu apa yang kami rasakan?" tanya Harris. Tidak ada jawaban dari anak-anak itu, tetapi harus tetap melanjutkan apa yang ingin dia katakan. "Kami iri karena tidak bisa seperti kalian, kami iri karena tidak bisa memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan. Kami hanya bisa diam, pasrah dan melihat Olimpiade dengan perasaan terluka." Anak-anak masih mencerna Apa yang sedang dikatakan oleh Harris, lelaki itu tidak banyak bicara dan tidak melanjutkan. Dia kemudian menepuk pundak Harvey dan pergi dari tempat itu. merasa selebihnya bukan kapasitas dia untuk bicara di depan sini. Pintu tertutup pelan tanpa menimbulkan suara, Harvey menarik napas panjang. Di tempat duduknya lelaki itu gelisah, kemudian bergulirlah sebuah cerita. Cerita tentang masa lalunya yang sama-sama merasakan kekecewaan seperti yang sedang dialami oleh gen 9 saat ini. Reaksi anak-anak didiknya beragam, ada yang datar-datar saja, ada yang tampak antusias dan ada yang gelisah. Zhie lagi-lagi harus merasakan kegelisahan, karena dia selalu merasa apa yang dilakukan sedang diawasi. Pintu yang tidak tertutup sempurna, membuat Zhie bisa melihat, sosok yang berada di luar sana, yang terus mengawasi seperti pertama kali saat dia menjejakkan kaki di asrama ini. Harvey mengakhiri ceritanya dengan janji akan memperjuangkan gen 9 agar bisa ikut Olimpiade The Baddas. Janji yang sangat berarti untuk anak-anak itu, janji yang disambut antusias oleh mereka. "Mulai detik ini, jika kalian merasa butuh apa-apa jangan sungkan untuk bicara pada saya. Dan mulai detik ini kita akan berjuang meluluhkan kepala sekolah agar kalian bisa ikut Olimpiade the Baddas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD