BADDAS 9

1876 Words
"Gue kira belajar di Badas Academy nggak bakalan ada pelajaran matematika," keluh Rey. "Hih, tulul banget jadi orang. Gimana hari ini, jadi gak?" tanya Darren. Anak-anak gen 9 baru saja bubaran dari kelas pengetahuan umum. Rey dan Darren berjalan beriringan, keduanya ditinggalkan oleh yang lainnya karena harus ke toilet terlebih dahulu. Rey terus terusan mengeluh pasalnya dia tidak begitu suka belajar matematika. Ditambah semalaman tidak bisa tidur membuat dia mengantuk saat pagi. Bukan tanpa alasan lelaki itu tidak tidur, Rey berhasil menciptakan sebuah lagu bersama aireen, rencananya lagu tersebut akan dinyanyikan dalam misi mereka. "Harus jadi lah, apa gunanya gue semalaman begadang, kalau nggak tega banget kalian." Rey adalah anak yang lahir dari keluarga pemusik yang terkenal di Indonesia. Ayahnya adalah seorang gitaris ternama, sejak kecil lelaki itu memang selalu dididik untuk bisa memainkan berbagai alat musik. Salah satu yang dia kuasai adalah gitar, namun Rey sama sekali tidak ingin menjadikan musik sebagai hidupnya. Rey dan kedua orangtuanya sempat bersitegang karena Rey berkali-kali menolak untuk menerima tawaran bersekolah di Baddas academy. Rey juga merasa menerima tawaran bersekolah di sini berarti dia menjebloskan diri ke dalam neraka dunia. Berkumpul dengan orang-orang yang penuh obsesi. Andreas bahkan berkali-kali meledek dirinya, Karena pada saat datang ke Baddas Academy di dalam bis lelaki itu benar-benar mengeluh karena harus belajar di Baddas Academy, lalu siapa gini yang malah terobsesi. Ya, bahkan dia rela tidak tidur semalaman demi untuk melancarkan misi anak-anak gen 9. Kedua anak remaja itu kemudian berbelok menuju gazebo yang ada di pelataran asrama dan gedung sekolah. Di sanalah titik kumpul semua anak-anak game 9 untuk melakukan santai-santai sambil unjuk kebolehan. Benar konsepnya bersantai, mereka akan ngobrol santai sambil sesekali menampilkan bakat mereka di depan umum. Rasa percaya diri yang tinggi mendorong mereka untuk melakukan, kegigihan mereka mungkin akan dinilai oleh Kepala sekolah agar bisa diikutsertakan dalam olimpiade The Baddas. Semakin dekat semakin terdengar gelak tawa anak-anak yang, terutama Aries yang memang selalu menghidupkan suasana. "Lemot banget sih kalian, udah kayak keong aja jalannya," teriak Aries. Di gazebo, tidak hanya anak-anak gen 9 saja, melainkan ada beberapa anak lain dari gen sebelumnya. Gazebo itu terletak di antara jalan menuju asrama dari auditorium dan juga gedung belajar serta kelas-kelas dan laboratorium musik. Dikelilingi hamparan rumput hijau, dan Jalan setapak yang terbuat dari batu alam. Tempatnya terlihat sangat sejuk karena dikelilingi oleh pepohonan yang cukup rindang. Manakala Rey dan Darren berjalan tatapan mata anak-anak gen 7 dan 8 terlihat sangat sinis. Entah mengapa Apa yang dilakukan oleh gen 9 selalu salah di mata mereka. Zara memang tidak lagi mengganggu dan membully peach, akan tetapi perempuan itu tetap saja sini kala melihat anak-anak gen 9. Mungkin hanya karena rasa takut saja mereka menahan diri. Berbeda dengan Rey, Darren justru menonton tatapan tatapan sinis itu, dia selalu berpikir bahwa manusia itu sama, tidak ada bedanya, tidak ada senior dan junior, tidak ada atasan dan bawahan. "Udah sih jangan dilihatin melulu," gerutu Rey, ditariknya tangan Daren menjauh dari pelataran gazibu yang ditempati oleh gen 7 dan 8. Dia memilih menghampiri teman-temannya menjalankan misi dan membuktikan kepada semua bahwa gen 9 punya potensi dan punya kesempatan yang sama untuk mengikuti Olimpiade. "Kalian dari mana?" tanya Aries sekali lagi. Rey tidak langsung menjawab Dia menyambar botol minum yang entah milik, kemudian menenggaknya hingga habis tanpa rasa malu. Pemilik botol yang ternyata adalah Zhie hanya tersenyum ketika melihat tingkah temannya. "Gue ke toilet dulu," jelas Darren. Andreas sedang bersenandung bersama Airin, suara mereka saat berduet sangat harmonis, sayang untuk saat ini mereka tidak bisa merinaikan senandung tersebut dengan suara yang kencang. Mereka seperti bergumam akan tetapi keharmonisan keduanya terdengar begitu selaras. Rencananya hari ini memang akan menunjukkan bakat gen 9 yang memiliki bakat menyanyi dan bermain musik. Mereka tidak akan melakukan hal gila dengan membuat konser dadakan menampilkan segala jenis kemampuan, masih ada waktu beberapa minggu sebelum Olimpiade dimulai. Mereka merasa waktu yang dimiliki cukup untuk berlatih, serta meyakinkan kepala sekolah. "Efektif nggak sih kita nyanyi gini doang yang dengarkan cuma senior," Peach hampir putus asa, dia merasa usaha yang akan dilakukan ini pastinya berakhir dengan sebuah kesia-siaan. "Kita tidak akan pernah tahu jika tidak mencoba," tegas Zhie. "Oke!" jawabannya datar. Rey mulai membuka sarung gitar miliknya, di dalamnya terdapat Gitar klasik yang dihadiahkan oleh ayahnya ketika dinyatakan menjadi salah satu siswa Baddas Academy. Gitar klasik ini dikenal dengan teknik tangan kanan yang memungkinkan pemain untuk menghasilkan sebuah melodi yang rumit, tapi tidak terbatas hanya bermain musik klasik. Bahkan, banyak pemain saat ini menggunakan jenis gitar ini untuk membuat sebuah musik. Ini digunakan dalam segala genre musik seperti folk, jazz, flamenco, dan sejenisnya. Gitar yang menggunakan senar nilon ini memiliki leher yang lebih lebar, beda halnya dengan gitar akustik yang menggunakan senar baja dan memiliki leher yang lebih ramping. Ketika Rey mulai memetik senarnya maka gitar ini menciptakan suara lembut dibandingkan dengan suara suara gitar akustik yang lebih terang. Rey lebih suka menggunakan gitar klasik, alasannya karena senar nilon lebih mudah dipegang daripada senar baja. Aries yang sedang bercanda dengan Christina mendadak diam ketika mendengar petikan gitar Rey. Hening, hanya melodi yang indah terdengar di Gasibu itu. Rey memejamkan matanya, petikan gitarnya mengingatkan lelaki itu kepada kedua orangtuanya. Dulu, dia nggak sekali memainkan gitar itu, harus dipaksa dan diberi imbalan agar mami papinya bisa mendengar keahlian Rey yang terpendam itu. Beberapa detik kemudian, Airin mulai bernyanyi, diikuti oleh Andreas. Perpaduan antara petikan gitar dan harmonisasi suara Andreas dan juga Airin mampu menghipnotis orang-orang yang ada di sana. Tidak hanya anak-anak yang 9 melainkan siswa lain yang ada di gazebo lainnya. Christina dan Zhie bergerak seirama dengan alunan musik. Mahda hanya bisa terperangah, dia takjub dengan suara emas yang dimiliki oleh Airin. Musisi jalanan mulai beraksi Seiring laraku kehilanganmu Merintih sendiri Ditelan deru kotamu. Sebuah lagu berjudul Jogjakarta yang sempat dipopulerkan oleh Kla Project sukses mereka bawakan. Riuhnya tepuk tangan penonton tidak menyurutkan mereka untuk terus melanjutkan pertunjukan. Masih ada satu lagu lagi yang semalam diciptakan oleh Airin dan Rey berduaan. Lagunya cukup sedih, syairnya dan melodi mengantar para pendengar hingga mengorek kenangan dan kerinduan. Seperti wabah penyakit, anak-anak Gen 9 yang bernyanyi di Gazebo terdengar gaungnya hingga ke ruangan pendamping dan kepala sekolah. Salah satu utusan guru bergegas untuk mengecek, memastikan kebenaran kemampuan Gen 9 yang nyaris sempurna seperti anak-anak Gen 7 yang sebentar lagi akan lulus dari sana. *** Puas, itulah yang mereka rasakan saat ini. Sepertinya sangat menyenangkan jika melakukan hal ini setiap hari, bukan hanya sekadar menarik perhatian para guru dan kepala sekolah agar mereka bisa ikut Olimpiade melainkan dengan cara ini satu sama lain antar agen 9 bisa lebih dekat lagi. Kali kedua bisik-bisik dari para senior terdengar kembali. Apa yang dilakukan oleh anak-anak dan 9 di gazebo dianggap sebagai cara untuk mencari perhatian, mereka bilang caper dan banyak lagi hujatan-hujatan yang lainnya. Pada awalnya Joanna merasa tidak terima dengan omongan para senior, namun setelah disadari memang benar tujuan mereka melakukan hal itu karena ingin mencari perhatian. Tidak ada salahnya selama apa yang mereka lakukan tidak merugikan orang lain. "Kita kan, enggak ngarepin respon dari senior, kalem aja nggak usah digubris." Andreas berusaha menenangkan. "Benar juga, yang kita tujukan para guru dan kepala sekolah, sebelum tujuan kita tercapai jangan pernah menyerah benar begitu?" Aries berpendapat. Kebahagiaan yang mereka rasakan itu tidak dapat diukur dan ditakar. Mereka semakin semangat untuk melakukan hal yang lebih baik dari ini. *** Para guru memperbincangkan apa yang dilakukan oleh anak-anak gen 9. Namun, tidak ada satu pun yang mengerti kode yang disampaikan oleh anak gen 9. Karena sudah sewajarnya siswa Baddas Academy memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik. Bukankah Alaska Balwell tidak akan pernah salah memilih anak-anak berprestasi untuk bersekolah di Baddas Academy? Lain halnya dengan Harvey, ada satu rasa curiga terhadap apa yang dilakukan oleh anak-anak gen 9. Ini kali kedua dia melihat kemampuan anak anak asuhannya. Yang pertama dia melihat lukisan Peach. Sangat disayangkan jika kemampuan mereka ini diabaikan. Keinginan lelaki itu sangat kuat untuk membuatkan 9 diikutsertakan dalam olimpiade. Karenanya di sini lah dia sekarang, di ruangan Alaska untuk membujuk lelaki tua itu agar mengijinkan anak-anak didiknya ikut dalam olimpiade. "Ada masalah Pak Harvey?" tanya Alaska. Gugup tidak dapat dia sembunyikan, sementara itu Alaska dapat mengendus keinginan yang dibawa oleh Harvey. Lelaki itu lebih dari sekedar paham, mengapa Harvey berusaha membujuk bela-belain datang ke ruangannya untuk yang kedua kalinya. "Gen 9 dan Olimpiade," cetus Harvey. Tenggorokannya tercekat, tidak ada kalimat lain yang lebih layak dia sampaikan kepada sang kepala sekolah. Tawa laki-laki tua dengan rambut penuh uban itu menggelegar, di ruangan beraroma buku ini, Harvey terlihat begitu kecil dan bodoh. Namun, ibarat seorang induk, dia akan berusaha membuat anak-anak asuhannya meraih apa yang menjadi keinginan mereka. "Walau bagaimanapun kami tidak bisa mengubah peraturan, Pak. Usia mereka belum cukup untuk bertarung dalam Olimpiade ini. Jangan karena satu kali melihat mereka bernyanyi di Gazebo lantas kamu merasa mereka begitu hebat. Itu hanya satu dari sekian alasan mengapa mereka terpilih bersekolah di sini." Ingin sekali menyanggah dan memberikan alasan, akan tetapi dia hanya mampu membuka mulut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Alasan apalagi yang ingin dia kemukakan kepada Alaska, dan untuk pertama kalinya di sepanjang karir menjadi seorang guru di Badas Academy dia begitu menggebu ingin mengikutsertakan anak-anak asuhannya dalam sebuah perhelatan besar. Harvey selalu mengingat bagaimana Andreas memohon kepada dirinya. Alasan terbesar ingin mengabulkan permintaan anak-anak dan 9 adalah karena dia pernah merasakan ada di posisi itu. Hanya memandangi dengan rasa ingin yang terus menerus menggerogoti hatinya, hingga membuatnya menyesal hee sampai detik ini karena tidak bisa mengikuti Olimpiade yang dilaksanakan setiap 8 tahun sekali. "Jika tidak ada yang ingin Bapak sampaikan lagi silakan keluar, pekerjaan saya masih terlalu banyak." Terang-terangan Alaska mengusir Harvey. Lelaki itu mendongak, seperti anak laki-laki yang menatap ayahnya saat mencetuskan sebuah hukuman. "Tolong sebutkan hal apa yang bisa mengubah hati dan pikiranmu, Pak?" Harvey masih terus berusaha, dia selalu mengingat sekuat-kuatnya dan sekeras apapun sebuah batu bisa pecah juga dan bisa berlubang hanya dengan tetesan air. Begitupun dengan kerasnya hati Alaska, ada banyak cara yang bisa Harvey lakukan agar hatinya melembut. Harvey tidak ingin muluk-muluk, dia tidak pernah mengharapkan gen9 menjadi juara dalam olimpiade. Dia cukup tahu diri bahwa anak-anak itu masih 'mentah', akan tetapi cukup diikutsertakan saja sudah menjadi satu kebahagiaan dan kepuasan bagi gen 9. Mungkin salah satunya perasaan diakui sebagai siswa di Baddas Academy. Alaska memijat keningnya, Harvey cukup tahu diri lelaki itu pasti pusing dengan permintaan yang dianggap tidak masuk akal. Hari ini, Harvey harus kembali menelan kekecewaan, manakala Alaska menggelengkan kepalanya. Kemudian dia lelaki tua itu berdiri dan berjalan menuju pintu keluar, pintu yang terbuat dari kayu mahoni itu dibuka lebar-lebar. Tanpa sepatah katapun selagi itu berdiri dan mempersilahkan Harvey untuk keluar dari ruangannya dengan gestur mengusir dengan halus. "Baiklah, maafkan kelancangan saya, di sini saya hanya ingin mengutarakan perasaan selayaknya seorang anak yang mencurahkan seluruh isi hatinya kepada ayahnya. Menjadi seorang siswa yang tidak dapat mengikuti meriahnya Olimpiade cukup menyakitkan. Alasan terbesar saya melakukan semua ini hanya karena saya tidak ingin anak-anak yang saya dampingi merasakan apa yang saya rasakan bertahun-tahun silam. Karena rasa sakitnya tidak dapat diobati sampai sekarang. Terima kasih, Pak. Maaf sudah mengganggu waktunya." Harvey melewati Alaska yang mematung di ambang pintu, lelaki tua itu tertegun melihat punggung Harvey–salah satu siswa berprestasi pada zamannya–melenggang pergi dengan perasaan kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD