Part 4

1749 Words
Nadira keluar dari kamar mandi dengan seragam sekolahnya. Ia sudah bersiap-siap untuk pergi sekolah. Jam masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ia membuka lemari es melihat apa yang bisa ia masak. Cuma ada satu ikat kangkung dan tempe, gadis itu mengambilnya dan bergerak cepat memasak untuk sarapan pagi. hampir setengah jam berkutat di dapur Nadira menyajikan tumis kangkung dan tempe goreng. Gadis itu duduk di meja makan sambil menatap makanan di hadapannya. Ia bahkan tidak selera dan juga merasa tidak bersemangat. Gadis itu kembali menyalakan kompor lalu meletakkan panci yang sudah berisi air dan beras. Ia akan memasak bubur untuk sang ayah. Nadira terus mengaduk nasi yang hampir matang. Ia terus memberi air agar tekstur nasi berubah lembut dan menjadi bubur. Nadira hanya memasukkan sedikit garam ke dalamnya. Setelah matang, ia mengangkatnya dan menggoreng telor ceplok sebagai teman makan sang ayah. Nadira selesai memasak lalu membawa makan pagi ayahnya ke dalam kamar. Sang ayah terlihat masih memejamkan matanya membuat Nadira hanya meletakkan bubur yang ia buat di meja dekat ranjang. Nadira mengambil tasnya lalu menyusun beberapa buku ke dalamnya sesuai jadwal pelajaran hari ini. Arif, ayah Nadira menoleh melihat putrinya yang sedang menyusun buku ke dalam tasnya. "Sudah mau pergi, Nak?" Nadira menoleh melihat ayahnya yang berbicara padanya. "Iya, Yah. Ayah jangan lupa sarapannya ya, Nadira sudah siapkan." Arif menoleh melihat bubur yang Nadira siapkan untuknya. "Kamu sudah makan, Nak?" Nadira duduk di samping sang ayah sambil mengangguk tersenyum. "Sudah, Yah." "Hati-hati di jalan ya?" ucap Arif sambil mengusap kepala putrinya. "Ayah," Nadira bergumam lirih memanggil Arif membuat pria itu menatap putrinya. "Ada apa, Nak?" "Nadira mau berhenti sekolah." Arif membelalakkan matanya mendengar ucapan putrinya, pria itu cukup terkejut mendengar perkataan sang putri. "Ada apa Nadira? Kenapa kamu bicara seperti itu?" Nadira menggenggam tangan Arif dengan mata berkaca-kaca. "Nadira tidak mau sekolah Yah, Nadira mau bekerja saja, Nadira mau cari uang untuk Ayah berobat." Arif meneteskan air matanya mendengar ucapan sang putri. Hatinya hancur, putri semata wayangnya bahkan harus kesulitan karena dirinya. Arif mengusap kepala Nadira yang tampak menangis di hadapannya. "Siapa yang mau menerima anak kecil sepertimu, mencari pekerjaan itu susah Nak, yang punya pendidikan saja belum tentu bisa bekerja. Bagaimana kamu mau bekerja untuk mendapatkan uang." Nadira menggelengkan kepalanya menolak asumsi sang ayah. "Nadira bisa kerja apapun Yah." Arif merasakan hatinya teriris pilu, ayah seperti apa dirinya hingga putri satu-satunya harus mengalami hal seperti ini. "Pergilah ke sekolah Nak, panggilkan Ibu, Ayah ingin bicara padanya." ucap Arif dengan nafas terengah-engah. Nadira mengusap air matanya, ia mencium tangan sang ayah lalu keluar dari kamar tersebut. Nadira menemui ibu tirinya mengatakan apa yang ayahnya perintahkan lalu pergi ke sekolah. Nadira tiba di sekolah tepat waktu, bel sekolah berbunyi masih kurang lima belas menit lagi. Gadis itu memilih mencari udara segar di belakang kelas. Kelas Nadira berada di lantai dua, ia memilih berdiri di belakang kelas sambil menatap gedung-gedung tinggi yang ada di hadapannya. Angin pagi masih terasa sejuk di kota padat penduduk ini. Nadira menggenggam erat besi pagar yang menjadi pembatas ia berdiri. Ia menghela nafasnya berkali-kali menghilangkan rasa sesak di hatinya. Entah kapan semua ini berakhir, ia hanya ingin hidup tenang bersama sang ayah. Nadira mengusap air matanya yang menggenang di ujung mata. "Kamu Nadira kan?" suara seseorang dari arah belakang membuat Nadira terkejut. Gadis itu memutar tubuhnya melihat siapa yang berbicara. Pria itu, Rangga ada di hadapannya dengan membawa tas ransel di pundaknya. Sepertinya ia baru saja tiba di sekolah. "I-Iya, kamu siapa?" Nadira berpura-pura tidak mengenali Rangga di hadapannya. Pria itu hanya tersenyum di sudut bibirnya mendengar ucapan Nadira. "Kita belum berkenalan, aku Rangga." ucap Rangga sambil mengulurkan tangannya. Nadira hanya menatap tangan itu tanpa membalasnya. "Aku Nadira," jawab Nadira dengan nada pelan. Rangga menarik tangannya yang telah Nadira abaikan. "Ya aku tahu, kenapa kamu di sini sendiri?" Nadira mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Rangga. "Aku sedang mencari udara segar." jawab Nadira cepat. "Kamu habis menangis?" Nadira mengusap pipinya cepat menyeka sisa air matanya. Ia tidak menemukan air mata di pipinya, mengapa Rangga bisa mengatakan itu "Tidak, aku hanya sedang menguap," Rangga tersenyum tipis sambil mengangguk. "Mungkin aku salah melihat, baiklah, sampai jumpa lagi, aku duluan. Tidak baik berdiri di sini sendirian, lebih baik masuk ke kelasmu," Nadira hanya mengerjabkan matanya mendengar ucapan Rangga. "Apa kamu berpikir aku berniat loncat dari atas sini?" tanya Nadira sedikit kesal. Rangga mengangkat kedua pundaknya acuh. "Entahlah, aku juga tidak berpikir begitu sebelumnya, tapi melihatmu dengan wajah seperti itu, itu bisa saja terjadi." ucap Rangga sambil tersenyum simpul. Nadira menatap tajam ke arah Rangga yang terlihat menertawakannya. "Aku tidak akan melakukan hal se hina itu." "Bagus lah kalau begitu, sangat di sayangkan jika benar kamu akan lompat dari sini, kemungkinan untuk mati itu sangat kecil, tapi patah tulang, dan menjadi cacat, bisa saja terjadi." ucap Rangga sambil melihat ke bawah. Nadira mengepalkan tangannya mendengar lelucon yang Rangga katakan. "Sudah aku katakan, aku tidak berniat seperti itu, jangan menggangguku." ucap Nadira ketus. Rangga malah mendekati Nadira membuat gadis itu menatapnya takut. Wajah tampannya jelas terlihat, Nadira yakin, Rangga yang bersamanya malam itu membantunya mengantarkan sampai depan rumahnya. "Aku hanya mengingatkan, seharusnya kamu berterima kasih, biasakan mengucapkan hal itu jika kamu mendapat pertolongan." ucap Rangga lalu berbalik meninggalkan Nadira. Gadis itu menatap kepergian Rangga dengan wajah kesal. Apa Rangga baru saja menyindirnya dengan kata-kata terima kasih. Pria itu menaiki lantai tiga di mana kelas dua belas berada. Nadira mengusap dadanya yang berdebar kencang. Ia memejamkan matanya mengusap dahinya lelah. Nadira melanjutkan langkahnya menuju kelas dan merasa kesal karena Rangga. *** Nadira tampak melamun menatap jendela dari dalam kelas saat Nur kembali dari kantin. Gadis remaja itu mendekati Nadira dan duduk di samping Nadira. Nadira menoleh sekilas saat merasakan pergerakan di sampingnya. Nur langsung menunjukkan senyum di wajahnya namun Nadira tidak bereaksi sama sekali. "Nad," Nur memanggilnya namun Nadira tetap tidak menoleh. "Nadira," "Hem," "Mikirin apa sih?" tanya Nur sambil memiringkan kepalanya. "Ayahku." Nur menghela nafasnya panjang. "Ayah kamu masih sakit?" "Dia akan tetap seperti itu kalau belum mendapatkan perawatan. Bahkan bertambah parah." Nur terdiam menutup mulutnya terkejut. "Ayah kamu sakit apa Nad, maaf kalau aku terlalu banyak bertanya." ucap Nur dengan nada takut. "Paru-paru." jawab Nadira singkat. "Apa sudah sampai tahap yang serius," tanya Nur lagi. "Entahlah, yang aku tahu, Ayah tidak baik-baik saja, dia semangkin terlihat pucat, tubuhnya semangkin kurus, dia bahkan sering batuk malam tanpa henti," Nadira berkaca-kaca sambil menatap ke luar jendela. Nur menunduk merasa kasihan pada sahabatnya. "Kalian sudah membawanya ke Dokter?" Nadira menunduk sambil menggeleng. "Bahkan Ayah sudah tidak minum obat selama dua hari ini, obatnya sudah habis, aku takut Ayah kenapa-kenapa." Nur menghela nafasnya merasa bingung, ia menggenggam tangan Nadira mencoba menguatkan. "Bagaimana dengan Ibu mu?" Nadira mengusap air matanya cepat. "Ibu hanya bilang tidak punya uang, ia juga sulit menghasilkan uang, ia selalu bilang toko Ayah tidak seramai dulu." Nur terdiam mendengar ucapan Nadira. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa. "Nad, kamu yang sabar ya? Ayah kamu pasti baik-baik saja." Nadira mengangguk merasa sedikit tenang. Nadira menatap Nur yang tersenyum padanya. "Terima kasih Nur, kamu sudah mau menjadi temanku." "Katakan saja apa yang membuatmu terganggu, aku akan meringankan bebanmu, meskipun sedikit." Nur menggerakkan ibu jari dan telunjuknya sedikit bersentuhan di hadapan Nadira. Nadira tersenyum tipis melihat tingkah temannya. "Baiklah," "Sekarang, kamu yang harus mendengarkan aku," "Apa?" "Ini gosip yang baru saja beredar," Nadira menatap Nur dengan tatapan aneh. "Gosip apa?" "Kamu tahu, kakak kelas kita yang super cantik, siapa itu namanya, Thannila, Thalisa, aduh siapa sih?" Nur menepuk-nepuk dahinya karena lupa. "Thalita." ucap Nadira menebak. "Hah iya itu, Thalita, kamu tahu kan wajah blasteran dia itu bikin para cowok satu sekolah ini klepek-klepek." Nadira hanya mengangkat pundaknya tidak perduli. "Kenapa emangnya?" "Katanya nih, sih Thalita itu kekasihnya kakak kelas kita yang super tampan itu loh, si anak baru." Nadira mengerutkan dahinya mendengar ucapan Nur. "Siapa?" "Yang kemarin, yang aku bilang pindahan dari singapura." "Rangga," ucap Nadira pelan. "Iya," bisik Nur bersemangat. Nadira tersenyum tipis merasakan ada yang bergejolak di hatinya mendengar nama Rangga. "Terus kenapa? Udahlah, kita gak perlu ikut campur urusan kakak kelas, lagian mereka gak kenal kita." ucap Nadira kembali menatap ke arah luar jendela. "Kata-katanya, mereka itu udah di jodohin sama keluarga masing-masing Nad, yang satu cantik, yang satunya ganteng banget, mana kaya lagi. Kebayang gak mereka hidupnya kaya apa." Nadira tidak menanggapi apa yang Nur katakan, gadis itu hanya menghela nafasnya mendengar ucapan Nur. "Nad," "Hem," "Kamu kok diem aja sih, bicara gitu loh, tanggapan kamu apa," "Bukan urusan kita Nur," hela Nadira merasa malas menanggapi hal itu. "Nad, sedikit saja, jadi dirimu sendiri, coba nikmati masa-masa muda kita, kamu bahkan lupa caranya tersenyum itu bagaimana. Nad, kita masih tahun pertama di sekolah ini, masih panjang perjalanan yang harus kita lewati, setidaknya nikmati waktumu saat di sekolah, aku yakin Ayah kamu akan baik-baik saja." Nadira hanya menghela nafasnya kasar mendengar ucapan Nur. "Aku bahkan berniat untuk berhenti sekolah." "APA!" Nur terkejut mendengar penuturan Nadira. "Kamu serius?" "Aku ingin bekerja saja, Nur, menghasilkan uang untuk pengobatan ayah. Dia satu-satunya hal yang berharga dalam hidupku, aku tidak ingin kehilangan dirinya." Nur berkaca-kaca menatap Nadira, mengapa sahabatnya bisa memiliki pemikiran seperti ini. "Kamu masih terlalu muda untuk bekerja Nad, mau kerja apa?" ucap Nur merasa khawatir. "Apa saja, asalkan bisa membantu Ayah." Nur menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Bagaimana kalau kamu minta bantuan Kak Tristan, dia pasti bisa bantu." Nadira menatap Nur cepat, ia tampak tidak setuju dengan ucapan Nur. "Jangan," "Kenapa?" "Aku tidak mau menyusahkan dia." "Nad, aku rasa kamu lebih tahu seperti apa Kak Tristan, dia tidak merasa di susahkan. Apalagi menyangkut kamu." Nadira menghela nafasnya panjang. "A-Aku hanya tidak enak padanya," "Sudahlah, aku yang akan bicara padanya, siapa tahu dia bisa memberikan pekerjaan paruh waktu di restoran milik ayahnya." Nadira menatap Nur dengan tatapan memohon. "Kenapa harus dia, aku tidak mau." "Nad, cuma dia yang bisa membantumu, jangan putus sekolah, aku tidak setuju, bahkan Kak Tristan tidak akan setuju." "Aku tidak ingin dia menaruh harapan padaku," ucap Nadira lirih. "Apa sesulit itu?" tanya Nur dengan tatapan sedih bercampur kesal. "Aku selalu menganggapnya sebagai seorang kakak, tidak lebih Nur, aku tidak bisa menyakitinya dan berbohong untuk membalas perasaannya." Nur menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Nadira. "Sudahlah, kita temui dia nanti setelah jam pulang sekolah." Nadira menatap Nur dengan tatapan bimbang. "Tapi, Nur," "Tidak ada tapi-tapi, dia pasti mau membantumu, sudahlah, kesampingkan rasa cintanya padamu, saat ini yang terpenting kamu jangan sampai putus sekolah." Nadira tersenyum menatap Nur yang cukup keras kepala, sekuat hati Nadira menghindari Tristan, mengapa kini ia malah datang sendiri untuk menemuinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD