Part 3

1468 Words
Nadira memejamkan matanya karena sangat mengantuk. Tadi malam ia hampir tidak beristirahat. Ayahnya tidak berhenti terbatuk dan membuat Nadira tidak tega membiarkan sang ayah sendiri. Akhirnya Nadira harus menahan kantuknya hingga sang ayah tenang. Hari terus berjalan dan penyakit sang ayah semangkin parah. Bahkan nafasnya seperti mulai terputus- putus. Terakhir kali pemeriksaan memang dokter mengatakan jika sang ayah memiliki gangguan paru- paru. Tubuhnya mulai kurus karena sesak nafas yang semangkin menyiksanya. Nadira terlelap di kelasnya tanpa perduli dengan murid lainnya. Gadis itu sengaja datang pagi- pagi sekali ke sekolah agar bisa beristirahat di kelas. Nadira sudah membereskan semua pekerjaan rumah saat sebelum fajar. Bel masuk berbunyi membuat Nadira sedikit bergerak karena merasa waktunya sudah habis dan waktunya untuk belajar. Nadira merasakan bangkunya bergerak seperti ada seseorang yang mendekatinya. Nadira mengerjabkan matanya, saat tepukan pelan di pundak Nadira. "Nad, bangun. Udah mau masuk jam pelajaran." bisik seseorang yang masih bisa Nadira dengar. Nadira sedikit memiringkan wajahnya memicing melihat siapa yang membangunkannya. Tentu saja sahabatnya Nur, gadis bertubuh berisi itu tersenyum melihat Nadira. "Ngantuk banget kamu, Nad?" tanya Nur dengan dahi berkerut. Nadira mengangkat wajahnya lalu menegakkan punggungnya. Bersandar di bangku menatap Nur yang ada di depan mejanya. "Ya gitu lah, aku hampir gak tidur malam ini, Nur." Nadira menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri karena merasa pegal akibat tidur cukup lama dengan posisi duduk. "Ayah kamu belum sehat Nad?" Nadira menghela nafasnya mendengar pertanyaan itu. Gadis itu hanya bisa menggeleng lemah di hadapan Nur. Nur mengusap tangan Nadira mencoba menguatkan. "Kamu semangat ya, kalau butuh bantuan, kamu katakan saja padaku. Siapa tahu aku bisa bantu." jawab Nur dengan wajah khawatir. Nadira mengangguk ikut tersenyum tipis. Entah sampai kapan hidupnya akan seperti ini. Meminta pada ibunya juga tidak ada gunanya. Jika Nadira ingin membawa ayahnya berobat. Ia tidak memiliki uang, bahkan bisa membayar uang sekolah saja Nadira sangat bersyukur. Apa ia harus berhenti sekolah saja. Dan bekerja di luar untuk membiayai pengobatan sang ayah. Lamunan Nadira terhenti saat Nur memberitahu jika guru mata pelajaran sudah masuk ke kelas. Bel istirahat berbunyi, Nadira bersiap menepuk tasnya untuk kembali tidur sebagai bantalnya. Nur yang melihat hal itu langsung menghentikan Nadira. "Nad, kantin yuk?" ajak Nur membuat Nadira mendongak menatap temannya. "Aku ngantuk, kamu aja sana!" ucap Nadira melanjutkan tidurnya kembali. Nur menghela nafasnya merasa iba melihat sikap Nadira. Baru menginjak kelas sepuluh menengah atas. Ia sudah tampak tidak bersemangat sekolah. Bagaimana nanti saat naik ke kelas selanjutnya. Nur berpikir keras agar sahabatnya bisa menikmati masa sekolah seperti anak yang lainnya. "Nad, kamu gak laper? Aku laper banget, apalagi tadi pagi warung Ibu aku ramai. Dan aku kesiangan untuk sarapan, jadi aku pergi tanpa sarapan. Kamu gak mau temenin aku makan di kantin?" Nadira tidak bersuara. Gadis itu betah membenamkan wajahnya di balik lipatan tangannya. Nur menghela nafasnya idenya tidak mempengaruhi Nadira. "Ya sudah, kalau kamu gak mau temenin aku makan, aku mau tidur disini aja, bareng kamu. Biar aja aku sakit perut, gak ada yang perduli sama aku!" Nur ikut membenamkan wajahnya di atas meja. Nadira mengangkat wajahnya mendengar ucapan temannya itu. Ia menghela nafasnya melihat Nur yang terlihat membujuknya. "Baiklah, aku ikut. Ayo, sebelum aku berubah pikiran." ucap Nadira sambil berdiri membuat Nur tersentak kaget dan mengejar Nadira yang mulai berjalan keluar kelas. Nadira dan Nur berjalan menjauhi kelas menuju kantin. Keduanya bergandeng tangan sambil berbincang tentang seputaran kakak kelas yang sudah pasti menjadi idola adik kelas dan juga kakak kelas putri. "Nad?" senggol Nur yang terlihat menggandeng Nadira sambil berjalan menuju kantin. "Hem." "Kamu dengar gak, kalau disekolah kita ada anak baru. Pindahan dari Singapura!" Nadira hanya menggeleng singkat merasa tidak tertarik. "Enggak, hidup gue gak sempet mikirin begituan!" Nur menghela nafasnya mendengar jawaban Nadira. Nur benar- benar prihatin melihat Nadira yang selalu bicara seperti itu. Hidupnya tampak sangat berat. Mengapa Nadira tidak memikirkan hal- hal layaknya anak SMA pada umumnya. Nongkrong, ngumpul bareng temen- temen, pacaran, antusias dengan teman pria yang tampan. "Nad, udah gue bilang, sekali- sekali nikmati hidup kamu. Kamu punya kehidupan yang harus kamu jalani, kamu juga harus menikmati masa muda kamu, Nad!" Nadira hanya menghela nafasnya kasar mendengar ucapan Nur. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Nur. Ia perlu menikmati masa mudanya. Tapi semua itu seakan tidak ada gunanya jika memikirkan sang ayah. "Akan aku coba!" ucap Nadira menatap Nur yang menunjukkan senyumannya. Mereka duduk di area kantin. Nur memesan indomie goreng sedangkan Nadira hanya memesan teh manis dingin saja. Keduanya bisa menatap dari kejauhan kakak kelas yang sedang bermain basket di lapangan sekolah. Dari arah kantin mereka bisa melihat jika banyak siswa putri yang bersorak riang saat bola masuk kedalam ring ketika pria yang mereka idolakan berhasil memasukkan bolanya. Sepertinya hal seperti itu selalu saja ada dimanapun sekolah berada. Selalu ada cerita tentang masa sekolah, mungkinkah Nadira juga bisa punya cerita seperti itu. Nadira hanya bisa menghela nafasnya. Untuk keluar kelas saja ia jarang melakukannya. Bagaimana ia bisa kenal dengan pria, jika ia hanya menghabiskan waktunya untuk tidur di kelas. "Nad." Nadira mengangkat wajahnya saat Nur memanggilnya. "Ya, kenapa?" "Aku tadi belum sempat bilang siapa kan kakak kelas yang pindahan dari Singapura?" Nadira mengangkat pundaknya acuh. "Siapa?" sahut Nadira. "Kamu perhatikan deh, laki-laki yang tinggi dan putih itu. Yang di sorakin para cewek- cewek," Nadira menoleh memperhatikan pria yang terlihat ahli mengoper bola kesana kemari. Dari kejauhan Nadira menatap pria itu dengan kerutan di dahi. Mengapa ia seperti pernah melihat pria itu. "Dia baru seminggu berada disini, sayangnya dia masuk di kelas dua belas. Berarti dia hanya setahun saja disini." ucap Nur lagi menjelaskan. Nadira menatap Nur di hadapannya dengan wajah berpikir. "Kamu tahu dari mana?" tanya Nadira "Ya elah, cerita begini mah cepet banget Nad, sampai ke telinga. Apa lagi yang di bahas kakak kelas yang wajahnya bikin gak bisa tidur. Satu sekolah juga tahu, kamu aja yang tidur mulu di kelas." Nadira mendengus mendengar ucapan Nur. Ia menggerakkan tangannya mencoba menghentikan Nur agar berhenti membahas kakak kelas itu. "Udahlah, gak usah di bahas. Ngapain juga kita bahas begituan. Biasanya ini ya, cowok kayak gitu mana mungkin ngelirik kita yang seperti ini. Paling juga cewek sekelas Sesil yang bakalan di deketin." Nur mengangguk-anggukan kepalanya membenarkan. "Ya, kamu bener sih. Aku pernah dengar nih, Sesil bilang dia anak pengusaha sukses di Jakarta ini. Bisa di bilang anak sultan lah." Nadira mengangguk-anggukan kepalanya. Dari kejauhan tampak anak- anak yang bermain basket itu bubar karena sudah selesai bertanding. Sebagian berjalan kearah kelas. Sebagian berjalan ke toilet, dan banyak lainnya berjalan menuju kantin. Nur menggerakkan tangan Nadira karena para kakak kelas itu berjalan ke arah mereka. "Nad, mereka kemari!" Nadira mengangkat kepalanya menatap segerombolan kakak kelas yang baru saja bermain basket. Nadira menatap Nur dengan alis terangkat. "Kenapa? Mereka kan emang mau ke kantin." Nur menggaruk kepalanya menatap Nadira. "Hehe, iya sih." Langkah para murid pria itu semangkin mendekati Nadira dan Nur. Nadira menoleh menatap kearah segerombolan kakak kelas yang berjalan mendekatinya. Nadira cukup terkejut, mengapa pria yang Nur katakan anak baru itu mirip dengan pria yang ia temui tadi malam. Nadira mengerjabkan matanya menunduk, lalu mendongak lagi menatap pria yang semangkin mendekati kearahnya. Nadira terdiam, rombongan kakak kelas itu melewati mereka dengan Nadira menunduk saat pria yang ia kenali itu melewatinya. "Sumpah ya, damage nya gak main- main. Gue sampai merinding tahu gak?" Nadira memutar bola matanya jengah mendengar ucapan Nur. "Kamu pikir mereka hantu, ya kali mereka lewat kamu merinding." Nur terkekeh mendengar ucapan Nadira. Nur melanjutkan makannya sementara Nadira menopang wajahnya dengan tangan diatas meja. "Kamu tahu siapa nama anak baru yang kamu bilang itu?" Nur menghentikan makannya menatap Nadira dengan tatapan memicing. "Kenapa? Katanya gak ada waktu mikirin begituan. Kamu naksir ya?" Nur menunjuk wajah Nadira membuat gadis itu bergerak gugup. "Enggak, bukan gitu. Cuma pengen tahu aja." Nur mengibaskan rambutnya dengan gaya centil. Nadira menatap lelah melihat tingkah Nur yang terlihat berlebihan. "Loe mau tahu siapa namanya?" bisik Nur di depan wajah Nadira. Nadira mengangguk cepat merasa tidak sabar. "Siapa?" "Gue juga gak tahu." bisik Nur dengan wajah jahilnya. Nadira menatap kesal Nur yang malah tertawa di hadapan Nadira. "Dih, ngeselin banget!" Nur tertawa lepas melihat wajah kesal Nadira. Gadis bertubuh berisi itu mengusap ujung matanya yang berair karena tertawa kencang. "Udahlah, gitu aja marah. Kamu dengar ya baik-baik, namanya Rangga!" Nadira tersenyum mendengar ucapan Nur. Oh ternyata pria itu bernama Rangga. Setidaknya Nadira perlu berterima kasih pada pria itu karena sudah menolong dirinya. Tapi, apa benar pria itu yang menolong dirinya adalah pria yang sama. Nadira mengetuk-ngetuk meja kantin dengan wajah berpikir. "Rangga." gumam Nadira di akhiri senyum tipis tanpa Nur sadari. Jika dia memang pria yang sama, dia pasti mengenal Nadira. Atau dia sudah lupa dengan wajah Nadira, mungkinkah? Soalnya saat itu malam hari dan Nadira juga pakai jaket untuk menutupi kepalanya. Nadira menghela nafasnya memikirkan hal itu. Mengapa ia malah berpikir aneh seperti ini, belum tentu pria itu mengingat dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD