Nur dan Nadira sudah duduk di dalam angkutan umum meninggalkan dua pria yang sibuk memperebutkan Nadira untuk mengantarkan Nadira kembali ke rumahnya. Nur yang mengetahui hal itu sesekali menggoda Nadira yang hanya diam di dalam angkot.
“Nad, kenapa sih nolak ajakan mereka buat nganterin kamu?” tanya Nur menatap wajah Nadira dengan wajah penasaran.
“Males aja.” Jawab Nadira sekenanya.
“Kamu itu bener-bener aneh ya, Nad. Dilain sisi banyak para cewek yang berebut biar bisa dekat dengan Rangga ataupun Kak Tristan, kamu malah nolak mereka tanpa alsan begini.” Nur hanya geleng-geleng kepala mengingat itu semua.
“Aku ada alas an kok, aku lebih milih pulang berdua sama kamu, dari pada sama mereka berdua. Lagian aku males Nur, aku gak mau kalau Ibu aku lihat aku pulang dianterin sama laki-laki.” Nur terdiam mendengar ucapan Nadira, gadis itu mengerutkan dahinya menatap Nadira penuh tanya.
“Emangnya Ibu tiri kamu mau marah kalau lihat kamu deket sama temen laki-laki?” Nadira menghela nafasnya panjang mendengar pertanyaan Nur.
“Entahlah, tapi aku juga males berurusan dengan banyak orang.” Jawab Nadira dengan tatapan tak pernah berhenti menatap jalanan.
Nadira masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam, saat Nadira melangkah lebih dalam lagi ia bisa mendengar percakapan antara ayah dan ibu tirinya. Nadira . Gadis itu awalnya ingin meninggalkan tempat itu karena merasa tidak sopan mendengarkan ucapan kedua orang tuanya. Namun Nadira mendengar suara rintihan sang ayah dan sesekali terbatuk-batuk.
“Kamu pikir aku menikah dengan kamu agar bisa mengurusi hidupmu yang seperti ini, Mas?” suara Desi yang terdengar kesal membuat langkah Nadira terhenti. Gadis itu berdiri di luar kamar mendengarkan percakapan ayahnya dan Desi ibu tiri Nadira.
“Aku tahu, maafkan aku Desi, aku tidak tahu jika aku akan sakit seperti ini, aku hanya minta untuk menjaga Nadira putriku, tolong jangan biarkan dia putus sekolah, aku ingin dia tetap sekolah meskipun kita dalam kesulitan.” Desi terdengar mendengus kesal mendengar ucapan ayah Nadira.
“Kamu sadar gak, Mas. Aku juga punya anak perempuan yang harus aku penuhi kebutuhannya, Dinda akan masuk sekolah menengah atas tahun ini, aku butuh biaya banyak untuk membeli kebutuhannya. Jadi jangan banyak meminta, salah kamu sendiri kenapa harus sakit-sakitan.” Nadira memejamkan matanya meneteskan air mata mendengar semua ucapan Desi. Ibu tirinya itu memang selalu bicara kasar pada sang ayah semenjak ayahnya sakit. Desi tidak pernah mau mengurus ayahnya Nadira yang tidak lain adalah suaminya. Ia sudah tidur terpisah semenjak enam bulan yang lalu karena sakit ayah Nadira yang semangkin parah.
“Tapi sekarang semua urusan sudah kamu yang urus, termasuk toko aku juga kamu yang pegang, beri beberapa uang kepada putriku untuk kebutuhannya, dia sudah beranjak dewasa, Desi.” Desi tidak menjawab ucapan Arif hanya terdiam beberapa saat.
“Aku sudah memberinya, sekalian untuk semua kebutuhan rumah, tapi putrimu itu tidak bisa mengatur keuangannya, selalu saja habis.” Jawab Desi berkilah, Nadira hanya menarik nafasnya panjang mendengar ucapan Desi.
“Kamu selalu kasih Nadira uang sedikit, bagaimana dia bisa membaginya sementara itu saja masih kurang.” Desi terdengar tidak suka mendengar jawaban ayah Nadira.
“Mas, kamu pikir pendapatan toko kelontong kamu itu masih banyak seperti dulu, pelanggan kamu sudah banyak yang berpindah toko, mencari barang dan harga yang lebih murah.” Jawab Desi dengan suara lantang.
“Semua itu terjadi mungkin karena dirimu.” Jawab Arif lagi.
“Sudahlah, aku muak membahas hal-hal yang tidak penting ini, masih bersyukur kamu aku tidak menggugat cerai kamu, Mas. Jangan membuatku muak, aku masih kasihan padamu. Aku akan ke toko, bilang pada putrimu untuk membeli bahan-bahan yang sudah habis, dan rapikan rumah ini.” Langkah Desi keluar kamar bertepatan Nadira yang masih berdiri di depan kamar ayahnya.
“Oh, kamu sudah pulang? Jangan main-main terus, cuci baju dan setrikaan itu sudah numpuk, kenapa hari ini kamu tidak masak banyak?” tanya Desi dengan nada ketus.
“Cuma itu persediaan yang ada, Bu.” Jawab Nadira seadanya.
“Ini uang untuk belanja beberapa barang yang sudah habis, jangan boros.” Desi melangkah meninggalkan Nadira yang menatap uang selembar pecahan seratus ribu di tangannya pemberian dari Desi. Nadira memasukan uang itu ke dalam saku lalu masuk ke dalam kamar ayahnya. Nadira mendekati pria yang tampak lesu dan pucat itu dengan tatapan sedih. Ayahnya tidak ada perubahan sedikitpun meskipun sudah banyak mengkonsumsi obat. Sepertinya obat yang di berikan dokter hanya untuk meringankan sedikit rasa sakitnya tapi tidak menyembuhkan.
“Bapak sudah makan?” tanya Nadira sambil melepas tasnya dan meletakkannya di atas meja dekat ranjang. Arif mengangguk pelan dengan nafas terengah.
“Sudah Nak, pergilah makan dulu, Ayah mau tidur.” Arif mencoba berbaring dari duduknya di bantu Nadira yang melihat sang ayah terlihat kesusahan.
“Ayah yakin sudah makan? Nadira buatkan sesuatu ya?” tawar Nadira kepada ayahnya namun Arif menolak tawaran Nadira dan memunggungi putrinya. Nadira langsung menyelimuti ayahnya hingga ke pinggang. Arif mencoba berpura-pura tidur karena merasa tidak sanggup melihat putrinya harus bersusah payah karena dirinya. Bicara pada Desi juga percuma, istri sambungnya itu jelas tidak memikirkan putrinya.
“Nadira mau ke belakang dulu ya, kalau Ayah butuh sesuatu panggil saja Nadira.” Ucap gadis itu lirih menahan air matanya. Nadira tahu sang ayah tidak tidur, ayahnya tampak menghindari dirinya karena tidak bisa berbuat apapun. Nadira menangis dengan memendam suara tangisannya di dapur, gadis itu menatap seluruh rumah terlihat berantakan dan tidak ada makanan yang tersisa. Nadira duduk di kursi meja makan melamun memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk mengakhiri semua ini. Ia tidak ingin kehilangan sang ayah, orang berharga satu-satunya yang ia miliki. Nadira menunduk membenamkan wajahnya di atas meja dengan tangan sebagai bantalnya.
***
Nadira berjalan menuju kelasnya dengan tatapan kosong, gadis itu memilih untuk berdiri di belakang kelas di lantai dua yang masih memiiki pembatas dibagian belakangnya. Nadira lama terdiam di sana menatap murid yang berlalu lalang masuk ke dalam sekolah. Gadis itu sesekali menghela nafasnya jika masalah dalam hidupnya tidak bisa ia pecahkan juga.
“Jangan terlalu sering melamun, kemarin ayam tetanggaku mati karena banyak diam.” Suara seseorang dari arah belakang membuat Nadira menolah dan melihat Rangga yang berjalan mendekatinya. Nadira memutar bola matanya jengah mendengar ocehan Rangga.
“Mana mungkin,” jawab Nadira sekenanya, mana mungkin Rangga memiliki tetangga yang punya seekor ayam lalu mati dan ia mengetahuinya. Memikirkannya saja itu sudah tidak masuk akal, mengingat pria itu adalah anak sutan yang sudah pasti tinggal di sebuah komplek perumahan mewah atau memiliki lahan sendiri dengan rumah besar dan tingkat.
“Kamu tidak percaya?” tanya Rangga lagi.
“Tidak,” jawab Nadira cepat.
“Baiklah, jika kamu tidak percaya, kenapa kamu suka sekali melamun sendiri di sini?” Nadira hanya menatap sekilas ke arah Rangga tanpa berniat menjawabnya. Rangga mengangguk-anggukan kepalanya melihat adik kelas yang sudah menarik perhatiannya sejak ia melihatnya. Nadira tidak mudah di sentuh dan di ajak bicara, terutama tatapannya tidak pernah ramah, entah apa yang sedang gadis itu pikirkan namun Rangga yakin Nadira punya dunianya sendiri.
“Aku boleh berteman denganmu?” tanya Rangga lagi. Nadira hanya menatap Rangga cukup lama lalu terdiam dan menghela nafasnya panjang.
“Untuk apa?” jawab Nadira terlihat malas.
“Agar bisa mengenalmu lebih dalam lagi, kamu sepertinya butuh teman, bicara.” Ucap Rangga sambil melirik Nadira yang menatapnya sinis.
“Tidak perlu repot-repot menjadi teman bicaraku, jika aku butuh masih banyak yang mau bicara padaku di kelas, lagian kamu Cuma ada di sini tidak sampai setahun,untuk apa berteman dan akhirnya berpisah.” Jawab Nadira membuat Rangga menatapnya takjub.
“Jadi kamu tidak ingin berpisah denganku?” tanya Rangga spontan membuat Nadira menatapnya terkejut.
“Bukan itu maksud aku,” jawab Nadira cepat.
“Aku tahu kamu pasti akan mengatakannya juga.” Nadira menautkan alisnya menatap Rangga.
“Apa?”
“Itu, soal mengaggumiku, kamu juga termasuk seperti yang lainnya, aku kira kamu berbeda.” Nadira menatap sinis Rangga yang mengatakan hal itu.
“Jangan samakan aku seperti murid lainnya yang mengejarmu dengan tatapan lapar, kamu pikir kamu siapa heh, aku bahkan tidak mengenalmu, sepertinya kamu salah, kamu yang selalu mengejar aku dan menggangguku setiap aku menyendiri disini, kamu pikir aku tidak merasa terganggu dengan celotehan murahan mu itu, pergilah, aku bahkan tidak berminat untuk menatapmu apalagi bicara padamu, bagaimana bisa kamu mengatakan aku sama seperti mereka, jika kamu haus akan pujian, bukan aku sasaran yang tepat.” Nadira membawa tasnya berlalu dari hadapan Rangga. Gadis itu seketika kesal mendengar ucapan Rangga yang seakan-akan mengatakan jika ia juga memujanya dan menyukainya. ‘yang benar saja, dia pikir dia siapa’ batin Nadira menggerutu. Rangga terdiam masih menghirup udara segar di hadapannya, ia belum beranjak dari tempat itu sama sekali setelah mendengar ucapan dari Nadira yang benar-benar terlihat marah padanya. Rangga terkekeh mengingat ekspresi wajah Nadira lalu terdiam menyugar rambutnya merasa kesal dengan kepergian Nadira.
“Nadira, sadar gak loe, jika loe buat gue seperti pengemis.” Gumam Rangga lalu mengadahkan kepalanya menghirup udara dalam-dalam. “Bagaimanapun caranya loe harus dalam genggaman gue.” Ucap Rangga sebelum berjalan masuk ke dalam kelasnya.