Part 2

1762 Words
Nadira duduk di belakang rumahnya termenung sendiri. Gadis itu menatap langit yang menunjukkan banyak bintang di malam hari. Ayahnya baru tertidur karena sesak batuk yang membuatnya sulit untuk tertidur. Sudah jam sembilan malam, namun ibu dan adik tirinya belum kembali dari undangan di kampung sebelah. Nadira memijit tangannya yang terasa kaku dan pegal. Ia baru saja menyelesaikan setrikaan yang menggunung. Kebanyakan baju ibunya dan Dinda, adik tiri Nadira yang hanya beda satu tahun darinya. Nadira menepuk- nepuk punggungnya karena terasa pegal. Ia masuk ke dalam rumah dan akan tidur saja. Karena rumah sepi dan ia juga tidak terbiasa keluar rumah saat malam hari. Nadira menutup pintu belakang dan melihat sang ayah sudah terlelap. Ia mendekati pria yang terlihat mulai kurus dari biasanya. Nadira menatap lekat wajah sang ayah yang tertidur pulas di hadapannya. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh sang ayah lalu keluar dari kamar tersebut. Embun melihat ibu dan adiknya masuk ke rumah setelah kembali dari undangan acara pernikahan tetangga sebelah. Dinda berlari ke arah kamar tampak terburu- buru lalu Desi duduk di ruang tamu. "Nadira, ambilkan ibu minum?" wanita yang baru menginjak usia empat puluhan itu memerintahkan Nadira. Gadis itu melangkah ke dapur mengambil segelas air lalu mendekati Desi. Ia menyodorkan segelas air pada wanita itu dan langsung di teguk hingga tandas. Desi meletakkan gelas itu di meja lalu menghidupkan televisi. Dinda datang sambil menghentak- hentakkan kakinya. Nadira sendiri ingin masuk ke dalam kamarnya dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. "Ma, pembalut aku habis, gak ada lagi yang tersisa Ma, gimana ini?" Dinda mendekati Desi yang tengah santai duduk di sofa sambil menikmati acara televisi. "Habis gimana sih? Coba kamu cari yang bener, siapa tahu ada yang tersisa satu!" jelas Desi tanpa mengalihkan tatapannya pada televisi di hadapannya. "Habis Ma, aduh aku udah keluar banyak ini, Ma!" teriak Dinda dengan sedikit merengek. Desi mencebikkan bibirnya menatap putri satu- satunya. "Haduh, anak satu ini, gak bisa kamu kalau gak ngerepotin Mama? Panggil Nadira, suruh dia cari ke warung!" ucap Desi pada putrinya. Dinda membuka kamar Nadira yang tampak sudah berbaring dengan selimut hingga menutupi dadaanya. "Kak, belikan aku pembalut, sekarang!" Dinda menutup pintunya tanpa mendengar jawaban dari Nadira. Gadis yang sudah bersiap tidur itu bangkit dari pembaringannya lalu keluar kamar. "Beli pembalut?" tanya Nadira saat keluar mendekati Desi dan Dinda. "Iya, belikan Dinda pembalut, dia lagi datang bulan, tolong Nadira, carikan dulu ke warung!" ucap Desi tanpa ingin di bantah. Nadira melirik jam dinding hampir menunjukkan pukul 21.30 malam. Tidak ada warung yang masih buka di jam seperti ini. Nadira masih diam tanpa beranjak dari sana. "Kamu tidak dengar Nadira?" tanya wanita itu lagi. "Dengar Bu, tapi dimana Nadira mencari pembalut di jam seperti ini? Warung sudah pada tutup Bu!" ucap Nadira dengan nada takut. "Terserah kamu, yang penting kamu pulang bawa pembalut untuk Dinda!" jelas Desi tak ingin di bantah. Nadira berdiri bingung. Ia tidak tahu harus mencari kemana. "Tapi Bu, ini sudah malam!" Desi menatap Nadira tajam lalu mendekati gadis itu. "Kalau kamu punya, kamu kasih untuk adikmu!" Nadira menunduk di hadapan Desi tampak menggelengkan kepalanya. "Tidak ada Bu!" Desi mengangguk - anggukan kepalanya. "Sudah ibu duga, sudah sana pergi. Cari di minimarket di perempatan jalan besar. Kamu bisa jalan kaki sebentar!" Desi kembali duduk di kursi dan menatap acara televisi. Nadira tidak punya pilihan. Ia harus melakukan perintah sang ibu. Gadis itu masuk kedalam kamarnya dan mengambil jaket untuk ia gunakan. Dinda mengulum senyumnya menatap Nadira. "Kak, jangan lama. Aku sudah risih!" ucap gadis remaja itu. "Bu, uangnya mana?" Desi menatap Nadira yang bertanya padanya. Desi mengerutkan dahinya lalu mengubah arah duduknya menatap Nadira. "Uang belanja tadi habis? Gunakan itu untuk membeli pembalutnya!" Nadira terdiam melongo. "Tapi uangnya sudah habis Bu, Nadira bahkan sudah memberikan kembaliannya sama ibu tadi sore!" jelas gadis itu dengan wajah khawatir. Desi bangkit dari duduknya lalu menatap Nadira kesal. "Ini ambil, kamu itu kalau ibu kasih uang belanja jangan selalu di habiskan. Kalau seperti ini terus, kita mau makan apa? Kamu tidak tahu kalau cari uang itu susah. Ayah kamu sudah sakit-sakitan, tidak bisa mencari nafkah untuk kita, seharusnya kamu bisa menghemat Nadira. Jangan semua- semua di beli!" Nadira hanya menghela nafasnya, ia menunduk diam di hadapan Desi. Hatinya terasa sakit, mendengar ucapan sang ibu tiri. Ia hanya membeli keperluan yang penting- penting saja, karena Desi juga memberikan uang tidak banyak untuknya. Nadira tidak ingin memperpanjang perdebatan ini, gadis itu berjalan keluar. Ia menggunakan penutup kepala jaket untuk menutupi kepalanya. Nadira menyusuri jalan setapak keluar dari gang rumahnya. Cukup jauh keluar menuju jalan besar di depan gang arah masuk rumahnya. Tapi hanya disana ada barang yang akan ia beli. Nadira mempercepat langkahnya menatap jalanan sepi. Ia merasa takut tapi omelan ibu tirinya lebih menakutkan untuknya. Nadira akhirnya sampai di sebuah minimarket. Ia masuk dan mengambil pembalut yang biasa Dinda gunakan. Nadira mendekati kasir menunggu seorang pria yang sedang membayar di hadapannya. Pria bertubuh tinggi itu menggunakan hoodie dan menutup kepalanya. Nadira maju membayar bagiannya setelah pria itu berlalu keluar. Pria itu tampak duduk di kursi yang berada di depan supermarket ini, menenggak minuman kaleng yang baru ia beli. Nadira menyelesaikan pembayarannya lalu pergi dari mini market tersebut. Ia bisa melihat beberapa anak laki- laki duduk didepan mini market itu. Bersiul saat ia melewatinya. Nadira tidak menghiraukan hal itu, ia mempercepat langkahnya kembali berjalan di kegelapan gang yang ia lewati tadi. Namun Nadira seperti merasa ada yang mengikutinya. Ia menoleh ke arah belakang tampak beberapa meter ada tiga pria yang ia lewati tadi, Nadira taksir usianya tak jauh darinya. Nadira mempercepat langkahnya merasa takut jika pria itu mendekatinya. Setiap Nadira menambah kecepatannya mereka juga berlari mendekati Nadira hingga menghentikan Nadira tepat di jalanan sepi. "Hai gadis, kenapa malam- malam begini sendirian?" tanya salah satu pria yang memiliki tubuh tinggi kurus. Nadira menunduk menghindari tatapan ketiganya. Ia mencoba mencari cela agar bisa lari dari ketiga pria muda itu. "Kenapa dia gak bicara ya? Loe yakin dia manusia bro?" tanya pria lainnya pada temannya. "Ya iyalah, kakinya napak tuh?" ucap pria yang bertanya pada Nadira. "Boleh minta nomor handphonenya gak? Atau ikut kita aja, yuk?" ajak salah satu teman yang sejak tadi diam, ia berusaha memegang Nadira, tapi Nadira mengelak. Gadis itu berlari ke jalan besar lagi, karena jalan menuju rumahnya di halangi oleh para pria muda itu. "Hei jangan lari, sini?" teriak para pria itu mendekati Nadira. Nadira berlari secepat mungkin hingga sampai pada mini market yang tadi ia kunjungi. Nadira langsung duduk dan berjongkok di belakang pria yang menggunakan hoodie itu. Pria itu tampak terkejut melihat tingkah Nadira yang berjongkok di belakangnya. Pria muda itu menatap Nadira, membuat gadis itu langsung menempelkan telunjuknya pada bibirnya mengisyaratkan jika ia meminta pria itu untuk diam. Pria berjaket hoodie itu menarik sudut bibirnya tersenyum lalu menatap sekumpulan pria yang berlari mengejar Nadira tadi. Pria itu mengerti sekarang, gadis ini tengah menghindari para lelaki itu. Cukup lama Nadira berjongkok sambil memeluk pembalut yang ia bawa. Ia merasakan punggungnya di sentuh, dan mengangkat wajahnya menatap pria itu. "Sudah aman, keluarlah!" ucap pria muda yang Nadira yakini masih seumuran dengannya. "Hufft, hampir saja!" hela Nadira lalu duduk di hadapan pria berhoodie itu. "Ada apa? Apa mereka melukaimu?" Nadira cukup terkejut saat pria itu bertanya padanya. Ia teringat sesuatu, Dinda menyuruhnya untuk kembali cepat. "Ohh itu, tidak, mereka hanya menggangguku, terima kasih bantuannya!" pria di hadapan Nadira itu mengangguk sambil tersenyum tipis. Nadira bisa melihat wajahnya cukup tampan. Karena hoodie yang di gunakan oleh pria itu membuat Nadira tidak cukup jelas melihat wajahnya. "Tidak masalah, mereka sudah pergi. Kenapa anak perempuan berkeliaran malam- malam seperti ini?" Nadira menatap pria itu. "Ini sangat darurat, kalau aku jelaskan pria tidak akan mengerti!" ucap Nadira membuat pria di hadapannya itu tersenyum, ia melirik apa yang Nadira bawa. Jelas terlihat jika Nadira membeli pembalut untuk wanita. Nadira mengikuti tatapan pria itu dan mengambil pembalut itu menutupinya. "Baiklah, aku mengerti sekarang!" ucap pria misterius itu. Nadira mengangguk tersenyum canggung. Ia bangkit dan kembali berterimakasih. Nadira menjauhi pria muda itu yang terus menatapnya. Kali ini Nadira benar- benar melangkah dengan cepat, ia tidak ingin seseorang melakukan hal buruk padanya ketika berjalan di gelapnya malam dengan sendirian. Nadira melangkah ke pinggir jalan karena cahaya lampu motor mendekati ke arahnya. Sepertinya ada seseorang yang akan melewati jalanan itu. Nadira memilih untuk minggir ke tepian agar tidak tersenggol motor yang berjalan. Saat Nadira berjalan, motor gede yang baru Nadira ketahui itu mengikuti langkahnya. Nadira enggan untuk menatap siapa itu, ia terus berjalan hingga pengendara itu memanggilnya. "Hei, naiklah. Akan aku antar!" panggil seseorang membuat langkah Nadira berhenti. Nadira memutar tubuhnya takut menatap siapa yang mengajaknya barusan. Cahaya lampu motor membuat Nadira tidak bisa melihat siapa pengendara itu. Motor itu mendekati Nadira dan membuat gadis itu bisa melihat siapa yang datang mendekatinya. Pria yang membantunya tadi, pria itu tersenyum menatap Nadira yang hanya melongo menatapnya. "Ayo naik, aku antar sampai rumah. Bahaya anak perempuan jalan sendiri seperti kamu!" Nadira mengerjabkan matanya, ia tidak tahu apakah pria ini bisa di percaya atau tidak. Dari tampangnya dia memang baik dan tampan. Tapi bukan berarti penjahat tidak ada yang tampan. Nadira masih terdiam di tempat tak bergerak sedikitpun. "Naiklah, aku tidak akan mencelakai mu, aku benar- benar akan mengantarmu pulang!" Nadira tampak ragu, ia menatap jalanan sepi menuju rumahnya. Lalu menatap pria itu dengan tatapan bingung. Nadira tidak tahu mana yang bisa di percaya, tapi ia merasa pria di hadapannya ini adalah orang baik. Ia mendekati motor besar itu dan naik di belakangnya. Pria itu menjalankan motornya menuju rumah Nadira. Sesuai petunjuk Nadira, dalam waktu dua menit mereka tiba di depan rumah Nadira. Jika ia menghabiskan waktunya untuk berjalan mungkin memakan waktu lima belas menit untuk sampai ke rumah. Nadira turun dan menatap pria baik itu. "Terima kasih!" ucap Nadira sambil menunduk di hadapan pria itu. "Ya, sekarang masuklah!" ucap pria itu tanpa mematikan motornya. Nadira tersenyum, ia mengangguk patuh dan memutar tubuhnya membuka pagar rumahnya. "Tunggu," Nadira yang sudah masuk separuh badannya menatap pria itu kembali. "Ya," "Siapa namamu?" tanya pria itu dengan wajah yang sudah jelas terlihat. Hoodie yang ia gunakan terbuka menunjukkan wajah tampannya. Alisnya tebal, ia memiliki kulit putih bersih, hidung mancung, dan rambut yang hitam. Nadira cukup terpaku menatap pria di hadapannya ini. Ia tersadar dan menundukkan kepalanya karena terlalu lama menatap pria itu. "Aku Nadira!" jawab Nadira lirih. "Nadira!" ucap pria itu tersenyum di sudut bibirnya. "Aku pulang dulu, Nadira!" pria itu menjalankan motornya meninggalkan Nadira. "Tunggu, nama kamu siapa?" teriak Nadira namun tidak terdengar karena suara motor pria itu cukup keras dan Nadira hanya bisa menatap pria misterius itu dengan wajah tersenyum. _________________________ Welcome to the new Story....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD