16. Tuan Candra dan Tekadnya

1104 Words
Langkah kakinya menjerejal, ia berlari ketakutan disebuah ruangan gelap yang tanpa penerangan, dan tak ada seorang pun di ruangan yang mirip dengan lorong itu. Ia terus berlari dengan keringat yang mengucur dari wajahnya begitu deras, ketakutannya semakin menjadi saat seorang wanita mengejarnya. Dari kejauhan samar-samar terlihat wajah wanita itu yang bersimbah darah membusuk, wajahnya berantakan, jalannya singkal sambil menyeret kaki kirinya, tangannya menjulur kedepan seakan ingin meraih, seseorang yang tadi lari. Di pacunya langkah kaki laki-laki itu yang semakin terasa berat, matanya tak hentinya menanar merah, ketakutan. Semakin ia berlari semakin berat langkahnya. Laki-laki itu semakin mempercepat gerakan, ketika ia sampai diujung lorong, sebuah cahaya putih terang menangkap pandangannya, sebuah kesiaualan menghinggapi mata sipitnya. Ia merasa bahagia, ia masih terus mencoba mendekati cahaya itu, semakin dekat cahaya itu semakin menjauh, sedang sang wanita berdarah itu terus mendekatinya. Laki-laki itu kembali ketakutan, ingin rasanya ia berteriak namun mulutnya seakan kaku untuk berbicara sepatah kata pun. Tajam tatapan elang dari wanita itu kembali menghujam pandangannya, ia ingin memalingkan wajah tapi sesekali ia terus menatap kea rah belakang. “ADEGAN ULANG AKAN SEGERA DI MULAI! teriak wanita itu mengerikan, dari ke jauhan terdengar sangat jelas bahwa wanita itu pun tertawa lepas. Tawa yang serasa menghancurkan gendang telinganya. Mana ujung lorong itu? katanya masih dalam batin. Ia mulai menggigil tak kuasa menahan rasa takut. Seluruh tubuhnya tiba-tiba gemetar, langkahnya semakin memberat dan terus memberat, hingga laki-laki itu terjatuh didekat tangga. KAU AKAN MATI! kata wanita itu berada didekatnya, mengeluarkan sebilah pisau putih dari balik lengan baju. Dengan sekilas sebuah tebasan mengenai perut bagian atasnya. Bleess. “JANGAN!! Enfire terbangun dari tidurnya, karena sebuah mimpi, lagi. Di tatapnya jam beker yang mengalun kan jarumnya tepat pada angka 12.00 pm, rasanya ia sudah menginjak dunia mimpi lebih dari seribu tahun, tapi tetap saja malam masih pada porosnya, hawanya berbaur dengan dinginnya AC yang terpasang disalah satu sudut ruangan kamar. Enfire berjalan menuju kamar mandi, mencoba membasuh wajahnya agar mimpi itu hilang dengan sendiri. Ini untuk kedua kalinya akhir-akhir ini mimpi itu terus datang, ada rasa ketakutan dalam hatinya, jika seandainya mimpi itu menjadi nyata. Namun, bagai Psikolog ia terus menenangkan jiwanya ssendiri. Dari balik cermin Enfire menatap wajahnya sendiri, penuh lekuk-lekuk indah yang berbaur disana, senyumnya mengambang, membuat rahang pipi terangkat ke atas. Ada sesuatu yang aneh dari senyuman itu, namun senyuman itu tiba-tiba menghilang. Ada seseorang wanita yang menatapnya dari balik cermin itu, tatapan wanita itu mengelang, Enfire menjadi gemetar, bibirnya ingin berteriak namun mampu ia tahan. Wanita itu, dia “AKU MENUNGGU MU! kata wanita bermata elang itu. “S..siapa kamu? Aku tak mengenal mu.” Ucap Enfire terbata. “AKU AKAN MEMBUNUH MU! Ttidak kamu hanyalah mimpi buruk ku.” Kata Enfire terus mengelak sambil menutup mata. Suara wanita itu mulai menghilang, gelak tawa pun mulai tak terdengar lagi. Ia keluar dari kamar mandi dengan tangan gemetar, lalu kembali merebahkan tubuhnya diatas kasur. * * * Pagi menyapa lagi, dengan perlahan Enersent keluar dari kamarnya yang masih berbau khas warna violet. Kakinya terus melangkah menyusuri seluruh ruangan rumah megah yang telah menjadi milik keluarganya selama ini. Madame! teriak Enerset begitu kakinya menginjak ruang tengah. Iya, Non? Mama, kemana? “Nyonya sedang ada di teras depan, Non. Katanya mencari udara segar.” “Ya sudah terima kasih.” Kakinya melangkah lagi, membawa Enersent menuju teras depan dimana Mamanya sedang berada. Wanita yang kini memakai baju putih dengan jaket hitam yanag barlaut rok abu-abu itu tersenyum bahagia. “Mama, Enersent berangkat dulu ya? salamnya pada wanita paruh baya yang duduk dikursi roda. Nyonya Rich Zanderweight memang mengalami kelumpuhan sejak kecelakaan tiga tahun lalu. Ketika itu mobil yang ia kendarai menabrak sebuah tiang dipinggiran jalan kompleks perumahan elit. Salah satu kaki kirinya terjepit dibagian depan mobil, sedang separuh tubuhnya saat ini struk. Sedih hatinya ketika mengingat semua kejadian itu. “Lho Mama kok malah bengong, kenapa? “Nggak apa-apa sayang. Kamu cepat berangkat, nanti telat sekolahnya. Iya, Ma. Enersent berangkat dulu ya.” Nyonya Rich mengangguk. Enersent berangkat sekolah dengan berjalan kaki, bukan karena ia tak memiliki kendaraan tapi, ia lebih senang melakukan hal ini. Biasanya jika hari-hari biasanya ia bersama kekasihnya, Virgosa. Namun, saat ini Virgosa lebih dulu berangkat, ada persiapan latihan Wushu nanti sore. Begitu alasannya. Enersent terus berjalan dengan wajah yang masih menyungging senyum, sambil membaca novel yang tak mungkin lepas dari tangannya. Ia berjalan ditrotoar, hal ini membuatnya mudah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Titttitt. Suara klakson motor menghentikan langkahnya, ditatapnya sang pengendara motor CBR itu yang kini telah membuka helm. “Hei. Kok jalan sendiri? sapa sang pengendara CBR itu. “Eh Enfire, tumben kamu lewat g**g ini, inikan jalannya jauh dari rumah mu? “Iseng. Kamu belum jawab kenapa jalan sendiri. Virgosa mana? Dia ada acara, jadi dia duluan. “Kalau gitu sama aku saja gimana, lagian Argiwel hari ini gak sekolah jadi aku berangkat sendiri. Enggak, aku jalan kaki aja. “Ayolah, aku memaksa. Ya sudah kalau begitu. Enfire mulai berjalan, ketika Enersent telah naik dimotornya. Dalam perjalanan kesekolah tak ada percakapan apa pun yang terjadi antara mereka, yang ada hanyalah kecanggungan satu sama lain. Enersent sebenarnya ada perasaan tidak enak, karena ia sudah punya pacar, apalagi jika nanti teman-temnya melihat ia sedang berboncengan dengan cowok lain. Mereka telah sampai, didepan gerbang sekolah, pintu gerbang masih terbuka karena saat ini pukul 06.55 am. Terimakasih. Kata Enersent lalu, berlalu pergi. “Tunggu! teriak Enfire, membuat Enersent menghentikan langkahnya. Nanti, kamu mau ikut kan ke festival bunga sakura? Enersent tak menjawab kata-kata itu, namun bibirnya menyungging senyum tipis, manis. * * * Seluruh ruangan sekolah sepi, koridor lantai dua pun tak berpenghuni. Sepertinya semua murid sedang berada dikantin, saat jam istirahat. Enfire berjalan sendiri tanpa Argiwel yang biasanya menemaninya, bukannya ia menuju kantin seperti teman-temannya tapi, ia malah naik ke atas lantai tiga, lalu terus naik, sampai ia tepat didepan pintu balkon sekolah. Sayup-sayup ia dengar seseorang berbicara sendiri, suara itu tak begitu familiar ditelinganya namun dari caranya berbicara ia tahu siapa laki-laki itu. “Wushu bukan hanya beladiri. Wushu bukan hanya alat untuk melindungi. Wushu bukan hanya kumpulan gerakan. Tapi Wushu adalah jati diri dari sebuah perguruan yang kita jalani. Wushu adalah kesehatan jasmani, dan Wushu adalah epik yang berpadu dengan sejarah sebuah Negara. Dulu dijaman perang orang Cina menggunakan Wushu sebagai alat perlindungan, seni berperang yang indah dan penuh kharisma, satu dari dua inti Kungfu. Enfire langsung bisa menebak siapa orang yang tengah berbicara panjang lebar itu, laki-laki itu duduk paling depan dari yang lainya, Virgosa. Remaja laki-laki itu terlihat begitu antusias memberikan pelajaran pada murid-murid barunya, sebagian lagi ada yang seangkatan dengan Virgosa duduk dibagian belakang. Enfire masih berdiri dibelakang pintu balkon, ia berusaha mendengar dan melihat bagaimana beladiri yang baginya terlalu lembut itu. Namun, tanpa ia sadari sepasang matang elang menatapnya lagi dari tempat kejauhan, bibir sang mata elang itu menyungging senyum pahit. Matanya yang berbalut kaca mata menjelajahi setiap lekuk tubuh orang yang telah membuat adegan tersendiri dalam hidupnya menjadi hancur berantakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD