17. Mengetahui Kebenaran

1027 Words
Seminggu sebelumnya di Ingerdia… Monitor Komputer itu masih menyala terang, sebuah jari-jari lentik mendarat diatas keyboardnya, mengetik huruf demi huruf yang ada. Jari-jari itu dengan indah merangkai kata yang langsung terpampang didalam monitor. Kadang kala tak semua hal didunia ini berguna bagi manusia, namun bagaimana kejamnya Tuhan menciptakan takdir itu, tetap saja Ia adalah adalah Sang Penulis skenario yang tak ada duanya. Dan mulai hari ini aku akan menulis skenario untuknya. Saat ini pukul 06.00 am, dimana seharusnya sang pemilik jari lentik itu bergegas meninggalkan meja diskusinya, tempat dimana sejak dulu ia menggambarkan hidupnya sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Setelah ketikan pada keyboard itu terasa selesai baginya, ia kemudian mematikan komputer dan CPU. Sayang ayo cepat turun, nanti kamu kesiangan untuk pergi! teriak seorang wanita dengan suara cemprengnya yang sedikit berat. Sedang yang dipanggil tak mengindahkan sedikit pun, tapi kakinya terayun ketempat lain, sambil tangannya membawa koperdan menggantungkan tas ranselnya diantara kedua bahu kekarnya. Lalu ditariknya gagang daun pintu kamar itu, sambil ia berjalan keluar kamar. Satu demi satu anak tangga membawanya turun ke lantai bawah, dimana wanita bersuara berat itu telah menunggunya saat ini. Kamu benar-benar mau pergi, Nak? tanya wanita yang sering dipanggil Redinha. Benar Nyonya, karena saya telah mengurus passport dan mengurus surat kepindahan saya ke Disven. Lagi pula saya sudah mencabut, surat kependudukan saya disini. Kata sang pemilik jari lentik itu dengan amat lembut, sedang Redinha menampakkan mata sayu yang hampir meneterskan air matanya. Kamu tega meninggalkan Ibu disini, sendirian? Maafkan saya Nyonya, bukan saya tak tahu berterima kasih, karena sejak kecil Nyonya yang mengasuh saya, hingga sekarang sudah sedewasa ini. Tapi, saya rindu tempat kelahiran saya, yang lebih dari tiga belas tahun tak saya injak. Jika itu sudah tekadmu, Ibu bisa apa lagi? Selain doa kuini khusus untukmu. Dan ingat walau Disven itu Negeri dongeng yang indah, penduduknya penuh keramahan, tapi Negara tetaplah Negara yang masih memiliki sisa koloni lain. Yang setiap saat bisa menyakiti dirimu. Baik Nyonya, saya akan mengingat hal itu. Tapi, sekarang saya harus pergi, nanti jam tujuh penerbangan kedua akan berangkat. Sebelum kamu pergi, biarkan Ibu mu ini mengecup kening mu. Pemilik jari lentik itu tersenyum, sedang Redinha langsung mencium keningnya sebagai tanda perpisahan atas anak angkatnya. Dua belas tahun lalu, Redinha menemukan anak kecil terlantar ditepian jalan Throkhlies, tanpa siapa pun, umur anak kecil itu tujuh tahun dengan baju compang-camping, dan wajah berlumuran kotoran, Redinha membawanya pulang ke hotel tempat dimana ia menginap saat berlibur ke Disven. Setelah sampai di kamar hotel anak kecil itu di bersihkan dan di mandikan, Redinha sangat telaten akan hal itu, semenjak kepergian anak tunggalnya ia selalu merasa kesepian, dengan berusaha ia menghilangkanrasa duka, ia kemudian melancong ke berbagai Negara di Dunia, guna menghibur durunya sendiri. Dan ketika ia bertemu dengan anak kecil ini, ia sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Kamu dari mana? Kamu bukan gelandangan kan? Karena tante bisa melihat raut terawat di wajah mu. Iya Nyonya, saya memang bukan gelandangan. Saya tertinggal jauh dari keluarga. Lalu dimana keluarga mu? Bocah itu menggeleng sendu, sambil menundukkan kepalanya. Ya sudah tak usah bercerita jika kamu belum siap. Apakah Nyonya mau mengangkat saya sebagai anak? Saya lihat sejak tadi Nyonya sendirian. Bagaimana kau tahu? Nyonya mengayangi saya dengan sepenuh hati. Lalu anak Nyonya kemana? Ia sudah meninggal tiga tahun lalu, karena sebuah penyakit kanker otak padahal umurnya masih sangat kecil. Sekarang panggil tante dengan sebutan ibu ya? Bocah kecil itu mengangguk. Sejak hari itu bocah kecil itu resmi menjadi anak angkat dari Redinha Lastrovagaro, meski bocah kecil itu sudah disuruh Redinha untuk memanggil ibu tapi ia selau memanggil Nyonya. * * * Hari ini, Kembali ke Disven Sepoi angin pagi mesuk ke dalam rumah keluarga Zirweight, menerbarkan sepercik embun pagi yang berbaur dengan polusi khas daerah perkotaan. Ketika Enfire menuju ruang makan, seperti biasa di tempat itu telah nampak ayah dan ibu tirinya yang sedang menikmati sarapan pagi. Tak ada raut kebahagiaan di wajah itu, yang ada hanya perasaan yang menohok hati kecilnya. Dua tahun lalu ketika mendiang ibunya masih hidup ia selalu sarapan bersama mereka, tapi kini angan-angan itu tak mungkin berbingkai kaca lagi. “Kamu gak sarapan, Nak? tanya tuan Londro ketika anaknya hanya melewati ruang makan. Nggak, Ayah.Seminggu sebelumnya di Ingerdia… Monitor Komputer itu masih menyala terang, sebuah jari-jari lentik mendarat diatas keyboardnya, mengetik huruf demi huruf yang ada. Jari-jari itu dengan indah merangkai kata yang langsung terpampang didalam monitor. Kadang kala tak semua hal didunia ini berguna bagi manusia, namun bagaimana kejamnya Tuhan menciptakan takdir itu, tetap saja Ia adalah adalah Sang Penulis skenario yang tak ada duanya. Dan mulai hari ini aku akan menulis skenario untuknya. Saat ini pukul 06.00 am, dimana seharusnya sang pemilik jari lentik itu bergegas meninggalkan meja diskusinya, tempat dimana sejak dulu ia menggambarkan hidupnya sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Setelah ketikan pada keyboard itu terasa selesai baginya, ia kemudian mematikan komputer dan CPU. Sayang ayo cepat turun, nanti kamu kesiangan untuk pergi! teriak seorang wanita dengan suara cemprengnya yang sedikit berat. Sedang yang dipanggil tak mengindahkan sedikit pun, tapi kakinya terayun ketempat lain, sambil tangannya membawa koperdan menggantungkan tas ranselnya diantara kedua bahu kekarnya. Lalu ditariknya gagang daun pintu kamar itu, sambil ia berjalan keluar kamar. Satu demi satu anak tangga membawanya turun ke lantai bawah, dimana wanita bersuara berat itu telah menunggunya saat ini. Kamu benar-benar mau pergi, Nak? tanya wanita yang sering dipanggil Redinha. Benar Nyonya, karena saya telah mengurus passport dan mengurus surat kepindahan saya ke Disven. Lagi pula saya sudah mencabut, surat kependudukan saya disini. Kata sang pemilik jari lentik itu dengan amat lembut, sedang Redinha menampakkan mata sayu yang hampir meneterskan air matanya. Kamu tega meninggalkan Ibu disini, sendirian? Maafkan saya Nyonya, bukan saya tak tahu berterima kasih, karena sejak kecil Nyonya yang mengasuh saya, hingga sekarang sudah sedewasa ini. Tapi, saya rindu tempat kelahiran saya, yang lebih dari tiga belas tahun tak saya injak. Jika itu sudah tekadmu, Ibu bisa apa lagi? Selain doa kuini khusus untukmu. Dan ingat walau Disven itu Negeri dongeng yang indah, penduduknya penuh keramahan, tapi Negara tetaplah Negara yang masih memiliki sisa koloni lain. Yang setiap saat bisa menyakiti dirimu. Baik Nyonya, saya akan mengingat hal itu. Tapi, sekarang saya harus pergi, nanti jam tujuh penerbangan kedua akan berangkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD