Napas Annie memburu saat ia terbangun dari tidurnya. Lepas dari belenggu mimpi masa lalunya. Kenangan yang semakin sering menghantuinya akhir - akhir ini. Menjebaknya dengan begitu lihai. Kelopak mata Annie terbuka. Melirik dua hal dalam waktu yang bersamaan. Jendela kamar dan jam dinding kamarnya.
Matahari sudah hendak beranjak naik. Menyebarkan sinarnya memasuki kamar Annie. Menembus tanpa kendala melewati kaca dan gorden jendela kamarnya. Membuat hawa panas pada saat yang bersamaan. Jarum panjang berada di angka 6 dan jarum pendek berada di tengah angka 10 dengan 11. Sudah pukul 10:30. Ini bukan akhir minggu. Annie baru bangun dari tidurnya. Jam pelajaran pertama sudah dimulai sejak pukul 07:00.
Singkatnya, Annie terlambat.
Annie meraih handphonenya. Mengetikkan sebuah pesan singkat kepada beberapa orang, sebelum ia hendak mandi. Menarikan tangannya di atas layar sentuh paling canggih pada masa itu.
‘Gue tunggu kalian di ruang musik pukul 11:30. Salah satu dari kalian terlambat datang... Gue keluar. Enggak ada tawar - menawar.’
***
Waktu sudah hampir menunjuk pada batas waktu yang Annie tentukan. Detik semakin berdetak cepat. Annie memainkan handphonenya. Bosan sekali rasanya sendirian berada di ruang musik ini. Sampai suara gebrakan pintu ruang musik yang sesungguhnya kedap suara, cukup untuk menghentikan Annie dari kegiatan tidak berguna yang ia lakukan.
Annie tersenyum miring. Melihat sekilas jam tangan yang selalu melingkar pada pergelangan tangannya. “Jam 11:29:58. Keren sekali, kawan-kawan... Kalian datang 2 detik sebelum tenggat waktu,” puji Annie sambil bertepuk tangan.
Arya menggeleng - gelengkan kepalanya tidak mengerti.
“Lo gila, Annie! Demi apapun lo gila!” seru Fazil rusuh. Kakinya melangkah memasuki ruang musik. Duduk di sofa yang kosong.
Annie tertawa sumbang. “Gue anggap itu sebagai pujian. Terima kasih...”
Arya mengacak - acak rambutnya. Memandang Alex dengan tatapan yang sulit diartikan. Entahlah sejak tadi, memang cowok satu ini tidak bisa melakukan sesuatu dengan jelas.
“Geli lo, Ar! Ngapain ngeliat gue kayak gitu?” gerutu Alex tidak terima.
“Udahlah, woi! Setidaknya, kan, kita bisa cabut pelajaran dari ‘Si Guru Dendam Kesumat’ itu,” lerai Satria sambil menyetel gitar listriknya.
Alex menoleh sekejap. Bertanya memastikan. “Maksud lo Pak Rendra, Sat?”
Satrian mengangguk semangat. “Yoi. Itu guru satu enggak bosen, ya, ngajar mulu tanpa ngasih kita jam kosong?”
Arya mendengus. “Guru tidak berperikemanusiaan itu, mah!” timpalnya sebal.
Alex memainkan stik drum kesayangannya di atas selaput drum yang tersedia di ruang musik. “Annie... Lo hari ini kagak masuk. Terus tiba - tiba lo ngirim pesan macem gitu. Lah kita, kan, pada kelabakan nyari alasan buat Ketua Kelas biar ngijinin kita cabut. Lo ngerti, kan, gimana tabiat Ketua Kelas enggak jelas macem dia,” keluh Alex mengomel.
Annie mengangkat kedua sudut bibirnya. Tersenyum tipis. “Ayolah... Gue aja baru bangun jam setengah sebelas tadi,” balas Annie acuh.
“Buset! Lo niat sekolah enggak, sih, Annie?” tanya Arya menjerit.
Annie bangkit berdiri. Menatap Arya dengan tatapan menantang. “Apa urusan lo?”
“Eh, Annie... Lo dicariin sama Pak Rendra tadi,” ucap Fazil memberikan sebuah informasi.
“Mungkin guru satu itu kangen sama satu - satunya murid yang berhasil ngebales kata-kata dia,” sahut Satria berspekulasi.
“Sori. Tapi gue enggak peduli, sekalipun itu Kepsek yang bakal nyariin gue,” desis Annie dingin.
“Udahlah. Kita mau debat atau latihan, sih?” kali ini ganti Alex yang melerai. Cowok yang sejak tadi berada di posisi netral. Tidak memihak ataupun berniat mengikuti perdebatan tersebut.
“Oke..” Annie menjentikkan jarinya. “Kita latihan lagu apa?”
Arya dan Satria berpandangan sebagai sesama gitaris band. “Terserah vokalis aja, deh, gimana?”
Fazil mengangguk setuju dari balik meja keyboard yang berada di dalam ruang masik. Sudah siap pada alat musik yang memang dia bisa. Berada dalam posisinya sendiri. “Iya. Terserah lo aja, Annie.”
Annie terdiam sejenak. “Lagu punya 5SOS aja, ya?” usul Annie.
“Oke kita mulai latihan kita dengan lagu itu!” sahut Alex menjawab. Pemegang posisi terpenting dalam band.
Arya bersama dengan Satria mulai memetik gitar mereka. Menimbulkan suara yang melodi yang bercampur dengan suara pukulan drum tabuhan Alex. Memecah gelombang suara dengan denting tuts keyboard milik Fazil. Menunggu desah napas Annie mengeluarkan suara melodi yang terdengar teratur.
***
Pertengahan lagu. Suara tabuhan drum Alex terdengar melemah. Annie menyadarinya. Telinganya cukup peka untuk bisa mendengar suara perbedaan bunyi semacam itu. Mengalihkan pandangannya menatap Alex dengan tatapan khawatir.
Salah satu alis mata Annie terangkat. “Lex, lo kenapa?”
Alex menghentikan tabuhan drumnya. Serentak dengan berhentinya suara dentuman musik pada alat musik lain. Cowok itu menatap Annie dengan sorot mata redup. Berbeda dibanding biasanya.
“Gue baik - baik aja. Tenang. Lanjutin aja latihannya,” jawab Alex lemah.
Mungkin mulut bisa berbohong. Mungkin juga lidah bisa bekerja sama untuk membantu Sang Mulut. Namun lain ceritanya dengan tubuh. Tubuh tentu saja tidak bisa berbohong. Ia selalu melakukan apa yang benar. Apa yang sesungguhnya terjadi dan dirasakan. Tepat setelah Alex mengucapkan jawaban dusta itu, darah segar mengalir dari hidung Alex. Membuat aliran sungai kecil di atas mulutnya.
Satria menyeringai. “Lo boong, Alexander!”
Alex hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Satria. Enggan membalas.
“Tisu, woi! Tisu cepetan!” teriak Annie sedikit panik. Bukan berarti ia takut dengan darah. Namun ada rasa khawatir yang datang menyergap batinnya.
Fazil bergerak cepat. Ia meloncat menuju sofa dan mengaduk isi tasnya. “Gue ada... Gue ada!” cowok itu mengangkat sebuah bungkus plastik tisu yang masih terisi penuh. Melemparkannya ke arah Alex.
“Thank’s, Zil,” lirih Alex. Tangannya mencabut keluar sebuah tisu dan disumpalkan ke dalam lubang hidungnya. Menyumbat darah merah yang akan keluar dari hidungnya. Mencegah akibat dari pecahnya peredaran darah yang berlebihan.
“Lo kecapekan atau kenapa, Lex?” tanya Annie hati - hati.
Alex tidak membalas. Dia justru menatap teman-temannya bergantian. Mendesah pelan dan menunduk dalam-dalam. “Sori. Gara - gara gue latihan kita jadi keganggu.”
***
Handphone Annie berbunyi nyaring dari dalam kantong celana jins yang ia pakai. Abaikan. Annie memang sekalinya bandel bisa lebih dari perkiraan kalian. Bayangkan saja ia bolos sekolah, namun tetap datang ke SMA Eirlen dengan pakaian bebas. Baju kaos lengkap dengan celana jins. Annie membatin. Tidak tertulis nama Sang Pemilik Nomor pada layar handphonenya.
“Halo...”
“Annie?”
“Ya, gue Annie.”
“Bisa nggak lo dateng ke tempat favorit lo sekarang?”
“Tempat favorit?”
“Padang rumput di bawah matahari senja.”
“Lo siapa?”
“Gue, Jonathan Anggada.”
Sambungan telepon langsung terputus, sesaat setelah Sang Pemilik Nomor menjawab pertanyaan Annie.
Annie menatap handphonenya dengan dahi berkerut. Bagaimana caranya Jonathan mengetahui nomor handphonenya?
“Kenapa, Annie?” tanya Fazil.
“Guys...” Annie menatap teman - temannya itu satu persatu. “Sori. Gue cabut duluan.”
***
Annie keluar dari mobil sport merahnya. Membanting pintu pintu mobil sambil menyapu pandangannya. Dari kejauhan, Annie bisa melihat punggung tegap seorang cowok yang duduk di atas rumput.
“John?” panggil Annie pelan. Teringat saat ia bertemu dengan cowok itu setelah lama putus hubungan kemarin. Kenapa dia meminta Annie untuk kembali datang ke tempat ini?
Cowok itu menoleh ke arah Annie dengan salah satu alis matanya yang terangkat bingung. “Annie?”
Annie terperanjat kaget. Wajah dan suara milik cowok itu, bukanlah wajah dan suara milik Jonathan. Cowok itu adalah Raymond. Osward Raymond Harits. Cowok itu bukan Jonathan. Sang Pemilik Nomor yang tadi menghubungi Annie dan memintanya datang ke tempat ini. Aneh sekali. Apapun itu, intinya, Annie lupa dengan salah satu fakta yang ada di antara Raymond dan Jonathan.
“Kak Raymond? Kakak ngapain di sini?” tanya Annie.
“Jonathan yang menyuruh Kakak untuk datang ke tempat ini,” jawab Raymond santai.
Annie melangkah mendekati Raymond. “Tadi, John juga menyuruh Annie untuk datang ke tempat ini, tapi, ya, sudahlah...”
Raymond menepuk - nepuk tanah beralaskan rumput di sebelahnya. Seolah memberikan kode kepada Annie untuk duduk di sebelahnya.
“Eh?”
Raymond tersenyum. Jenis senyuman yang jujur saja sangat Annie rindukan. “Sini duduk di dekat Kakak.”
***
Annie dan Raymond. Berada di dalam satu kelas yang sama. Dua orang yang sebelumnya hanya memiliki hubungan sekadar hanya sebagai teman sekelas, bertegur sapa kalau memang dirasa perlu, menjadi dekat karena curhatan. Klise sekali, ya? Semuanya dimulai saat Raymond menceritakan kebrengsekannya sendiri pada Annie tentang hubungannya dengan Meyren.
Kelas VII-8 sedang sepi hari itu. Kebanyakan penghuninya belum balik dari laboratorium IPA. Ada ujian dari Pak Bams mengenai makhluk hidup. Penelitian menjijikkan. Beruntungnya, Annie jago di bidang ini. Salah satu alasan kenapa ia bisa langsung pergi kembali ke kelas. Begitu juga Raymond. Tapi cowok bermata biru gelap ini sepertinya sedang beruntung.
“Lo cepet banget,” komentar Raymond. Menghampiri Annie yang sedang bersandar pada balkon. Melihat ke arah lapangan.
“Lo juga,” balas Annie acuh.
“Annie...”
Annie menoleh. Menatap Raymond lamat - lamat. “Kenapa?”
“Soal pertanyaan gue kemaren, gue serius.”
“Pertanyaan yang...”
“Lo mau jadi adek gue? Maksudnya jadi seseorang yang... Susah jelasinnya. Gue enggak punya adek. Gue pengen banget ngerasain punya adek,” ucapan Raymond tersendat.
Annie terdiam sejenak, berpikir cepat. “Gue sering berharap dalam hidup, gue punya sosok seorang kakak. Kakak yang selalu ada buat gue.”
Raymond tersenyum. “Kita sama. Harapan kita sama. Tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan?”
“Mencoba menjadi seorang adek-kakak?”
“Iya.”
Lama Annie tidak membalas. Otaknya mulai bekerja, memikirkan tentang berbagai macam kisah. Hal - hal sederhana. Sebersit kekhawatiran hingga mengenai hubungan aneh ini, tetapi Annie menepisnya dengan cepat.
“Boleh gue panggil lo... Kakak?”
Saat itulah, perasaan bahagia Raymond membuncah. Kisah ajaib mereka akan dimulai sejak saat itu.
***
Annie tersenyum. Duduk tepat di sebelah Raymond. Bersebelahan. Dekat sekali. Hal yang sudah lama sekali tidak mereka lakukan bersama.
“Maaf...”
Kening Raymond terlipat. “Maaf untuk apa, Annie?” tanya Raymond tidak mengerti.
Annie tersenyum. “Annie tadi sempat menganggap kalau Kak Raymond adalah John.”
Raymond tertawa pelan mendengar perkataan Annie. “Annie tidak melupakan salah satu fakta yang ada di antara Kakak dan Jonathan, bukan?”
Annie meringis pelan. “Serupa namun tak sama. Hampir saja Annie melupakannya, Kak.”
“Hmm...”
Perubahan nada bicara milik Raymond langsung membuat Annie mengernyit bingung. “Kakak kenapa? Kakak marah sama Annie?”
Raymond menggeleng. “Tidak.”
“Benar?” tanya Annie memastikan.
“Iya, Adikku.”
Annie tersenyum senang. Dia menyandarkan kepalanya pada pundak Raymond. Pundak yang sejak dulu selalu ada untuk Annie saat ia butuh. Pundak yang selalu hadir di saat Annie sangat membutuhkan tempat bersandar. Rasa nyaman itu masih ada. Andil tanpa perlu ribuan syarat. Annie memejamkan matanya. Menikmati angin sore yang mulai berhembus dan suara pepohonan yang bergoyang mengikuti arah angin.
“Sama seperti dulu?” tanya Annie berbisik lirih.
Raymond mengelus rambut panjang Annie. Menatap gadis itu tepat di manik matanya. “Kapan terakhir kali kita seperti ini, Annie?”
Annie menghela napas panjang. “Tepat sehari sebelum Kakak berpacaran dengan Adriel.”
Skak mat. Telak sudah. Raymond langsung membisu mendengar jawaban polos milik Annie. Suasana yang menyelimuti mereka sesaat lengang. Hingga suara pemberitahuan masuk dari masing handphone milik Raymond dan Annie terdengar.
Mereka berdua berpandangan bingung sebelum akhirnya melihat handphonenya masing - masing.
***
Sebuah hubungan yang lebih dari sekadar teman sekelas dimulai sudah. Hubungan yang akan menjadi benang merah nan panjang dalam hubungan mereka. Benang merah yang tidak akan pernah putus oleh gunting paling tajam sekalipun.
Namun ingat! ini bukan cerita tentang benang merah.
“Far... Lo liat pulpen gue?” tanya Annie panik.
Farah menoleh sekilas. “Gue enggak liat. Coba lo tanya Dewi sama Mira, deh.”
Annie memutar tubuhnya. “Lo pada liat pulpen gue kagak?”
“Mencari ini?” tanya sebuah suara bass.
Annie terperanjat. Matanya melebar saat melihat pulpen kesayangannya berada di genggaman tangan Raymond. Mata Annie berkilat marah. “Kak! Itu punya Annie!”
Raymond mengedikkan bahunya. Berjalan menjauh dari sisi Annie. Tangannya menggoyangkan pulpen Annie. Menggoda Annie agar mengejarnya.
“Kakak!” Annie bangkit dari duduknya. Terburu menghampiri Raymond. Langkahnya lebar - lebar. Setengah berlari.
Jujur, kecepatan lari Annie memang di atas rata - rata. Walau Raymond sering meledek Annie lamban. Sedikit lagi. Jarak itu tinggal sedikit lagi. Tubuh Raymond bagian apapun itu hampir di raihnya. Mereka sudah tersasar ke koridor dekat tangga.
“Jonathan, tangkap!” teriak Raymond. Melemparkan pulpen Annie kepada Jonathan yang baru saja muncul dari tangga.
Jonathan reflek saja menuruti teriakan Raymond. Tidak sadar dengan kondisi yang sedang terjadi. Pulpen Annie telah berpindah tangan ke dalam genggaman Jonathan.
Annie mencak - mencak. Menghentakkan kakinya ke lantai koridor dan berbalik arah. Hendak kembali menuju kelas VII-8. Tidak memikirkan lagi bagaimana nasib pulpennya lagi.
Berbeda dengan Raymond dan Jonathan yang saling berpandangan. “Lo kebiasaan,” desis Jonathan.
Raymond mengacak - acak rambutnya. “Gue cuma mau cari cara biar gue sama dia enggak kaku. Gue... Gue cuma pengen bikin dia bahagia. Tertawa lepas.”
Jonathan menyerahkan pulpen milik Annie kepada Raymond. Cowok itu menepuk pundak sahabatnya. “Bukan gitu caranya. Terserah lo, deh. Gue enggak ikut - ikutan.”
Terdengar helaan napas panjang. Jonathan kembali menuruni tangga. Meninggalkan Raymond.
“Annie...” Raymond berlari menghampiri gadis bermata biru terang tersebut.
Annie menghentikan langkahnya. Berbalik.
Raymond menyodorkan pulpen dalam genggamannya.
Annie terburu menyambarnya.
“Maaf... Annie ngambek, ya?” lirih Raymond bertanya.
Annie tersenyum, sesaat kemudian ia tertawa keras dan berlari ke dalam kelas VII-8. “Kakak kena tipu sama Annie... Whooo!”
Sedetik kemudian Raymond baru menyadari tentang kesalahannya.
***
“Kakak masih punya hutang cerita sama Annie!”
Kening Raymond terlipat tidak mengerti. “Hutang cerita macam apa, Annie?”
Annie mendelik. “Saat kita bertemu kembali di SMA Annie, Kakak belum menceritakan masalah yang mengganggu benak Kakak pada Annie.”
Raymond diam. Dia harus mencari alasan dan kata - kata yang tepat untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Alasan dan kata - kata terbaik.
“Kak?”
Raymond menatap Annie lamat - lamat. “Di saat Annie berusaha untuk mengetahui lebih banyak hal daripada yang diketahui saat ini. Maka pada saat yang sama, semuanya akan benar - benar berubah drastis.”
Annie balas menatap manik mata Raymond. Mencari makna dan kebenaran dari seluruh perkataan Raymond. Annie mendapatkannya.
“Kapan? Kapan Annie bisa mengetahuinya?” tanya Annie ragu.
“Saat waktu yang tepat itu datang.”
Annie mengangguk polos. “Annie ngerti. Tapi kapan?”
“Tanyakan saja pada takdir, Annie. Kita tidak bisa macam - macam,” jawab Raymond dengan senyuman tipis.
Annie memutar bola mata biru terangnya kesal. “Annie serius, Kakak!”
“Kakak juga serius, Annie.”
Annie memalingkan wajahnya ke arah lain. “Annie ngambek!”
“Ngambek, kok, bilang - bilang?” Raymond mencegah dirinya untuk tidak tertawa mendengar seruan Annie.
Perkataan Raymond sedikit-banyak cukup untuk membuat emosi Annie memuncak. Tapi Raymond tidak hilang akal. Dia sungguh menyadari akan hal itu.
Raymond mengerti. Cowok itu mengelus rambut panjang Annie dengan lembut. Sesekali mengecup puncak kepala gadis itu dengan penuh sayang. Membisikkan sesuatu yang bisa membuat emosi Annie mereda.
“Annie hanya perlu menunggu waktu yang tepat itu datang. Sederhana bukan?”
Annie menggeleng. Membantah tegas kata - kata yang Raymond lontarkan. “Menunggu sesuatu yang tidak jelas datangnya itu sakit, Kak. Aku lebih senang menghadapi kejujuran itu. Lebih cepat, lebih baik…”
***
“Annie... Ada yang mau gue tanyain sama lo...” ucap Jonathan.
Annie terperanjat. Berusaha menetralkan desah napasnya. Matanya menatap Jonathan, Ferend, dan Gio bergantian. Bingung. “Kenapa, sih? Kalian nggak berniat macem - macem, kan, nyegat gue macem gini di kantin belakang?”
Ferend berjalan mendekati Annie. “Sejak kapan kamu deket sama Raymond?”
Annie tertawa pelan. Lebih mirip seperti tawa sumbang sebenarnya. “Itu sama sekali nggak ada urusannya sama kalian.”
Ferend melepaskan bogem mentah di tembok sebelah Annie berdiri. Melampiaskan rasa kesalnya. Beruntung tidak ada guru SMP Pancasila yang melihatnya saat itu karena boleh jadi Ferend akan digiring ke ruang wakil kepala sekolah atas tuduhan kekerasan. Setelahnya, cowok itu pergi menjauh diiringi kepergian Jonathan. Meninggalkan Annie yang diliputi kebingungan bersama Gio.
“Ada satu hati lain yang cemburu, Annie... Asal lo tau, aja,” bisik Gio.
“Apa maksudnya?”
Gio tidak membalas. Mempercepat langkahnya menyusul Jonathan dan Ferend.
“Gio... Apa maksud lo?”
***
Farah, Dewi, dan Mira sedang pergi ke kantin bawah SMP Pancasila hari itu. Annie malas turun, sehingga memilih untuk menitipkan makanan ringan pada Farah dan menetap berada di kelas.
Raymond tiba - tiba saja duduk di sebelah Annie. Di bangku milik Farah.
“Kenapa, Kak?” tanya Annie tanpa menoleh. Sibuk membolak - balik lemabran bukunya.
“Annie... Masa Mira bilang Kakak cowok baik.”
“Oh...”
Kening Raymond terlipat. “Annie enggak kaget?”
Sontak saja mata Annie membulat. Menampilkan raut wajah keterkejutan. Baru sadar dengan maksud perkataan Raymond. “Annie harus cek isi kepala Mira berarti.”
“Kakak, sih, curiga kalo dia suka sama Kakak.”
“Astaga! Mana mungkin cewek baik - baik macem dia bisa suka sama cowok b******k macem Kakak?” pekik Annie histeris. Menolak mentah - mentah hipotesis milik Raymond.
“Baguslah kalo Annie enggak setuju.”
Annie memukul pelan pundak Raymond. “Jelas Annie enggak setuju, lah. Kagak nyambung gitu alasannya. Terlalu... Aneh.”
Raymond tertawa. Tawa yang cepat sekali rambat bunyinya menggelitik indra pendengaran Annie. Terlalu cepat malah.
Tanpa sadar, Annie juga ikutan tertawa.
***
Hari itu di sebuah kelas VII-8. Kelas yang selalu ramai oleh ocehan para penghuninya. Di sudut kelas itulah Annie berada.
“Ferend, boleh gue tanya sesuatu?”
“Apaan, John?”
“Kalau misalnya Annie pergi tiba - tiba, apa yang bakal lo lakuin?” tanya Jonathan tajam. Penuh penekanan pada setiap katanya.
“Tiba - tiba bagaimana?” tanya Ferend tidak mengerti.
“Jawab aja,”perintah Jonathan tanpa menggubris pertanyaan Ferend.
Ferend menggelengkan kepalanya. “Sori, tapi gue enggak bisa jawab pertanyaan dari lo.”
Jonathan mengernyit. “Kenapa? Lo tinggal jawab pertanyaan gue, kan?”
Ferend tetap menggeleng. “Enggak semudah itu.”
Annie yang saat itu sedang duduk di dekat Ferend, menatap cowok itu dengan pandangan bingung. Penuh tanda tanya.
Jonathan menepuk pelan pundak Ferend. “Ikutin kata hati lo! Sederhana itu, bukan?”
“Gue enggak bisa jawab pertanyaan lo karena...” Ferend tersenyum penuh arti. “Karena gue enggak mau dia pergi.”
Annie membeku di tempatnya. Banyak hal yang berseliweran dalam benaknya. Banyak sekali.
Bibir Jonathan menyunggingkan senyuman sinis. “Ya. Itu jawaban yang pengen gue denger dari lo, Ferend.”
Tidak akan ada yang tahu kapan perpisahan datang menjemput. Tidak akan ada yang tahu. Namun percayalah, dalam setiap penantian menunggu, seseorang akan datang dan pergi, entah itu dari masa lalu atau masa depan.
Semuanya tergantung keinginan sang pembuat cerita dan para pelaku di dalamnya. Sederhana.
***
“Lo belom juga ngasih tau kenyataan yang tersembunyi kepada Annie, padahal gue udah bantu kalian kalian buat ketemu?” tanya Jonathan setengah menjerit.
“Gue nunggu waktu yang tepat. Lo ngerti, kan?” ucap Raymond singkat.
Jonathan tertawa meremehkan saat mendengar jawaban Raymond. “Ya Tuhan, Raymond... Sekarang gue tanya sama lo!”
“Apaan?” tanya Raymond ketus.
“Kapan waktu yang tepat itu datang? Kapan waktu yang lo bilang tepat itu hadir?” Jonathan bertanya tajam. Kesal sekali menghadapi sahabatnya yang uring-uringan selama beberapa bulan terakhir dan justru mengabaikan kesempatan yang diberikan kepadanya hanya karena satu masalah tersebut.
Raymond mengacak - acak rambutnya. Pertanyaan itu telak menusuk.
“Lo masih mau nunggu waktu yang lo bilang itu? Ayolah, Ray... Realistis!”
Raymond menghembuskan napas terramat panjang. “Lo tentu tau, kan? Gue enggak siap sama respon Annie nanti. Gue... Gue takut.”
Jonathan tertawa sumbang. “Dari nada suara lo aja, gue udah tau kalo diri lo sendiri aja enggak yakin, sama apa yang lo ucapin,” cibir Jonathan pedas.
“Sialan!” umpat Raymond.
“Inget kata - kata gue, ya, Ray!”
“Rusuh gila lo!”
“Penyesalan itu selalu datang di akhir. Kenapa? Karena kalau di awal, namanya pendaftaran,” ucap Jonathan serius.
“Terserah! Sok bijak, deh. Gagal gitu padahal,” komentar Raymond acuh. Tidak peduli.
Jonathan menoyor bahu Raymond. Tidak terima dengan apa yang sahabat baiknya itu ucapkan. “Gue serius. Awas saja, kalo lo nanti dateng ke rumah gue terus cerita panjang lebar tentang penyesalan lo itu!”
Raymond menatap Jonathan dengan tatapan emosi. Kesal dengan ucapannya.
“Oke, gue cabut.”
Jonathan bangkit dari duduknya di sofa teras rumah Raymond. Berjalan menjauh. Tapi sebelum ia memasuki mobilnya. Jonathan berbalik.
“Ray! Besok gue ikut ke Eirlen. Ada yang harus gue urus sama, Annie.”
“Apaan?”
“Gue mau minta maaf sama dia.”
Salah satu alis mata Raymond terangkat. “Minta maaf tentang kejadian tadi? Gue aja malah mau bilang makasih sama lo.”
“Hah?”
***
Annie menatap keadaan di sekelilingnya. Menyapu setiap sudut tanpa terlewat. Sibuk meneliti. Sibuk berspekulasi. Kalau boleh jujur, Annie memang sebelumnya pernah berada di sini. Berdiri di tempat asing ini. Memijakkan kaki di antara ribuan jenis bunga.
“Hallo, Annie. Senang bertemu denganmu lagi,” sapa seseorang dengan suara bass. Cowok yang tiba - tiba saja sudah berada di hadapan Annie. Cukup mengagetkannya. Sedikit-banyak.
Annie tersenyum setengah. Ragu membalas. “Hai...” satu hal yang Annie lupakan. Dia tidak pernah tahu siapa nama cowok ini.
“Erland. Namaku Erland. Atau setidaknya kamu bisa memanggilku dengan nama itu,” ucap cowok itu.
“Hai, Erland.”
Senyuman itu ada. Muncul tanpa ribuan syarat di bibir Erland. Mengurai cerita yang akan dikisahkan. Entah cepat atau lambat.
“Kamu masih ingat denganku?” cowok itu bertanya.
Mata biru terang Annie menatap lurus manik mata cowok itu. Biru gelap warnanya. Indah sekali. Lebih gelap dari warna manik matanya miliknya. Cukup mempan untuk bisa menenangkan hati Annie tanpa perlu ribuan kata - kata yang mendampingi.
Annie hanya mengangguk sekilas. Enggan menjawab. Mungkin ia masih merasa kesal dengan apa yang cowok itu lakukan padanya. Mengambil dengan seenak jidat, mawar hitam yang hendak ia petik. Menyebalkan.
“Boleh aku tebak sesuatu?”
Annie menggumam asal.
“Kamu ingin tahu dimana kamu berada, bukan?” tanya cowok yang mengenalkan dirinya dengan nama Erland.
Mata Annie melebar. “Lo... Lo tahu? Bagaimana bisa?”
Erland tersenyum misterius. Tidak menjawab pertanyaan Annie. Melainkan menarik tangan Annie dan mengajak berlari ke suatu tempat.
“Erland... Tangan gue sakit,” rintih Annie pelan.
“Maaf.” Erland sontak saja melepaskan pergelangan tanganku tanpa ribuan syarat.
“Enggak terlalu sakit, sih. Tapi gue bingung aja, kenapa lo suka banget narik - narik tangan gue kayak gitu?!” gerutu Annie. Mendumal sebal.
Erland hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan Annie. Memberikan suatu kode kepada Annie agar memasuki sebuah anjungan. Satu - satunya bangunan beratap yang berada di taman bunga tersebut.
Annie menurut. Bertanya bingung. “Kenapa?”
“Hah?”
Annie menunggu hingga Erland memasuki anjungan dan duduk di sebelah dirinya. “Kenapa lo nyuruh gue untuk masuk ke dalam anjungan ini?”
Erland tidak langsung menjawab pertanyaan Annie. Sibuk menatap langit yang sudah berubah warna. Langit biru itu tidak lagi biru. Mengubah diri menjadi hitam. Langit itu juga tidak lagi sendirian. Dia tidak lagi bersih. Awan - awan berwarna senada berada di sekitarnya. Detik itu datang, hujan deras langsung turun membasahi bumi. Membungkus daerah di sekitar taman bunga. Saat itulah Annie paham dengan perlakukan Erland kepadanya.
“Kamu paham?” tanya Erland lembut. Menggelitik gendang telinga Annie di tengah derasanya suara deru hujan.
Annie tersenyum, mengangguk. “Makasih. Makasih udah ngajak gue ke anjungan ini,” ucapnya tulus. Setidaknya Annie paham bahwa Erland memang baik dengan mencegahnya basah kuyup dan kedinginan.
“Bukan masalah.”
Lengang menyelimuti mereka. Bukan lengang dalam artian yang sesungguhnya. Melainkan lengang yang tercipta di tengah suara berisiknya hujan deras. Kata lainnya mereka sunyi dalam keramaian.
“Erland.”
Salah satu pihak harus ada yang memecahkan hening seperti barang pecah belah. Kecuali, kalau memang berdua hanya ingin diam sampai pertemuan itu berakhir.
Erland menolehkan kepalanya. Bertanya. “Ya?”
Annie menggigit bibirnya ragu. “Gue sebenarnya ada dimana? Lo belum jawab pertanyaan ini sejak tadi.”
“Kamu beneran ingin tahu?” Erland malah balik bertanya.
Annie mengangguk semangat. “Tentu saja.”
Erland tertawa renyah. “Sayangnya, lebih baik untuk tidak tahu, Annie.”
Annie mendengus. Menyembunyikan kekesalannya dalam diam. Mengacuhkan balasan atas pertanyaannya.
“Masih hujan.”
Annie memutar matanya. “Gue melihatnya. Kenapa?”
“Ah... Coba tebak apa hal yang paling suka aku lakukan!”
“Gue lagi males mikir. Lebih baik lo ngasih tau gue aja langsung. Itupun kalau lo niat memberitahu.”
Erland tersenyum. “Aku paling suka menghitung hujan.”
Kening Annie terlipat. “Hah?”
“Coba lo buktiin.”
Annie sungguh melakukannya. Menghitung apa yang Erland bilang, rintik hujan. Menikmatinya tanpa perlu waktu lama. “Lo bener, gila! Ini, tuh... Astaga! Hati gue langsung tenang, serius.”
“Sebenarnya aku memiliki alasan sendiri melakukan hal seperti ini.”
Gumaman itu adalah gumaman milik Erland. Gumaman lirih yang tidak bisa merambat ke dalam indra pendengaran Annie karena suara dentuman hujan yang membanting diri ke atas tanah.
***
Beberapa saat lalu, Anie memang masih tertidur nyenyak di atas kasurnya. Ditemani suara gerungan pendingin ruangan yang mengeluarkan hawa sejuk. Namun, sekarang Annie sudah berada di dalam mobil sportnya. Mobil sport merah yang sudah diatasnamakan atas dirinya.
Annie bukan tipikal orang yang suka membuang waktu. Mesin mobil itu segera menyala. Roda - roda mobil segera berkelok dan berputar menuju sebuah tempat. Tempat yang diinginkan oleh Sang Pengemudi. Membelah jalan raya dengan ingatan yang hampir menguasai dirinya.