Tatapan Annie manatap lurus foto masa lalu yang ada di layar laptopnya. Foto masa lalu yang akhir - akhir ini sering ia pandangi. Foto dimana senyuman tawa itu seakan hidup saat ia lihat. Seolah mengajaknya untuk kembali memasuki dunia masa lalu itu. Annie masih mengingat semuanya dengan sangat jelas. Kapan foto itu diambil serta dimana latar tempat serta waktu pemotretannya. Annie ingat. Seluruhnya masih terputar jelas dalam ingatannya.
Potongan cerita masa lalu itu kembali menghantui pikiran Annie saat ia membaca sebuah kata yang tertulis sebagai caption dalam foto tersebut. SkyLight. Silly Kids Alive on Seven Eight. Kelas masa lalu Annie sebelum ia pergi. Kelas terakhir yang ia tinggalkan tanpa salam. Annie rindu masa - masa dimana ia merasa dihargai dalam sebuah komunitas kelas. Masa dimana semuanya seakan begitu indah untuk dilewati. Sederhana memang. Namun lain cerita untuk Annie. Semuanya begitu berharga. Sangat berharga.
Suara panggilan masuk dari handphone miliknya membuat lamunan Annie buyar seketika. Tangan kanan Annie asal meraih benda elektroniknya itu untuk menjawab panggilan masuk tersebut. Setelah sesaat sebelumnya melirik nama sang pengganggu.
“Halo... Annie?” sapa seseorang dari seberang sana.
“Apaan?” tanya Annie tanpa berniat sedikitpun berbasa - basi. Atau lebih tepatnya enggan.
“Lo bisa ke Dream Cafe sekarang?”
“Ngapain?” tanya Annie acuh. Balik bertanya.
“Panjang kalau gue jelasin via telephone begini.”
Annie menyeringai. “Sori. Tapi gue sibuk. Jadi gue enggak mau dateng ke Cafe itu tanpa alasan yang jelas.”
Terdengar suara helaan napas. “Ada yang harus dibahas.”
“Tentang apa?”
“Rapat kelas tadi. Ini penting, Annie.”
“Berapa lama?”
“Sebentar doang.”
Annie mendengus. Cukup keras. Mungkin lawan bicaranya bisa mendengar dengusan kesalnya itu. “Gue butuh destinasi waktu perkiraan.”
“1 jam. 2 jam paling lama.”
“Enggak bisa 30 menit?” tawar Annie.
“Lo itu lagi sibuk banget, ya?”
“30 menit?” Annie tidak peduli.
“Oke. Terserah lo!”
“Deal! Tunggu gue.”
***
Annie menarik kursi di dalam Cafe, lalu mendudukinya. Ada 4 orang cowok di sana yang ia kenal semua. Teman sekelasnya di SMA Eirlen. Alex, Fazil, Arya, dan Satria sudah duduk di kursi yang melingkari meja bundar di hadapan mereka.
“Apa yang mau dibicarakan?” tanya Annie datar.
Arya memberikan Annie sebuah kertas sebagai jawaban atas pertanyaannya. Sebuah kertas yang sudah terlihat sedikit terlipat dan lecek.
“Ini apa?” tanya Annie bingung. Salah satu alis matanya terangkat. Tangannya menyambar kertas yang disodorkan Arya.
“Baca aja,” ucap Alex yang sebenarnya bukan jawaban atas pertanyaan Annie.
Annie memutar bola matanya dan segera membaca isi dari lembaran kertas tersebut. Membaca intensif tanpa melewatkan satu katapun. Cepat dalam hitungan detik.
“Sudah?” tanya Satria memastikan.
Annie melipat kertas tersebut menjadi 2 dan meletakkannya kembali di meja. Annie menggeser kertas tersebut ke tengah meja, kemudian menatap keempat cowok tersebut bergantian. “Apa setelahnya?”
Alex menegakkan tubuhnya. “Itu perintah dari Kepala Sekolah Annie. Otomatis, ya, kita enggak bisa membantahnya.”
“Kenapa semua personilnya dari kelas XI IPA 3? Apa enggak ada kelas lain?” tanya Annie menyelidik curiga.
Alex tersenyum. “Gue yang ngusulin nama - nama kita ke Kepsek tadi pagi.”
“Kenapa harus gue? Ayolah... Masih banyak banyak, kan, anak Eirlen lain yang lebih bagus dari gue? Memangnya kalian tau apa tentang gue?”
“Alex maunya lo!” celetuk Fazil yang langsung mendapat pelototan tajam dari mata Alex.
Annie mendesis tidak peduli. “Kalau begitu gue ambil bagian gitaris.”
Alex menggeleng tegas. “Enggak. Sayangnya lo kebagian jadi vokalis, Annie. Arya sama Satria yang bakal jadi gitarisnya,” tolak Alex.
“Oke.” Annie mengumam tidak peduli sambil meminum soda yang sudah Satria pesankan tadi.
Mata Annie melirik jam tangannya. Sudah hampir 30 menit dirinya berada di kafe ini. Duduk dan membicarakan masalah yang katanya Alex tadi adalah tentang rapat kelas. Namun, topiknya melenceng jauh. Amat sangat jauh. Annie mengambil kunci mobilnya di atas meja, lalu bangkit berdiri. Tangannya menyambar kertas yang Arya berikan tadi. Kertas yang berisi tentang undangan kompetisi Band tingkat provinsi.
“Gue cabut,” pamit Annie dingin.
***
Seorang cowok bermata hitam pekat sibuk sekali mengelilingi seluruh penjuru kelas VII-8 dengan setumpuk buku yang berada di tangannya. Resiko pengurus kelas, cowok itu diperintahkan guru mata pelajaran IPS untuk membagikan buku tulis teman - teman sekelasnya.
“Elvaret... Elvaretha A. Lizabeth?” cowok itu mengacungkan sebuah buku tulis bermotif tanpa sampul berwarna cokelat, hanya sekadar sampul plastik. “Ini buku siapa, woi?”
Hari itu bisa dibilang masih masa - masa awal para penghuni kelas VII-8 berbaur antara satu sama lain. Baru beberapa waktu. Masih banyak waktu yang diperlukan untuk saling mengenal. Jadi wajar saja, cowok bermata hitam pekat tersebut kebingungan mencari sang pemilik buku.
“Itu punya gue.” Annie bangkit dari duduknya, menghampiri cowok itu.
Kening cowok itu terlipat. “Lo Annie, kan? Nama di buku ini enggak ada unsur Annie nya,” ucap cowok itu tidak mengerti.
Annie mendecak. Menyambar buku miliknya. “A itu singkatan, bodoh! Adriannie maksudnya. Jangan sok tahu makanya!”
“Enggak pake bodoh, bisa?” tanya cowok itu tajam.
Annie mengibaskan tangannya. Tidak mempedulikan perkataan cowok itu. Siapa peduli? Gadis bermata biru terang itu kembali pada bangkunya.
“Lo kenapa, Annie?” tanya Farah.
Annie memutar tubuhnya, hingga berhadapan langsung dengan Dewi. “Cowok itu namanya Ferend bukan, sih? Nyebelin banget.”
Dewi tertawa kecil. “Dia emang kayak gitu sejak dulu. Gue satu SD sama dia. Sekelas pas 2 tahun terakhir.”
“Kok lo bisa tahan?”
***
Pandangan Annie terhenti pada sebuah titik. Dimana ia melihat suatu bagian di dekat kafe tempat ia bertemu dengan teman - teman sekelasnya tadi.
Di sebuah toko bunga. Annie bisa melihatnya. Sebuah replika mawar hitam yang dirangkai menjadi amat indah. Satu - satunya replika yang terpajang manis dan terselip di antara bunga - bunga lainnya. Annie berjalan menuju toko bunga tersebut dengan senyuman tipis menghiasi sudut bibirnya. Namun tepat saat Annie ingin meraih replika mawar hitam tersebut, ada tangan lain yang juga ingin meraihnya. Tangan mereka bertabrakan sesaat.
“Eh?” gumam Annie kaget sambil menoleh ke pemilik tangan tersebut.
Seorang cowok blasteran dengan seragam milik SMA Angkasa dibalut dengan jas berwarna biru tua.
Tunggu. Annie merasa tidak asing melihat wajah cowok ini. Ada sesuatu yang familiar bermain dalam ingatannya. Sesaat Annie meneliti setiap bagian wajah cowok blasteran ini.
“Annie?”
Benar. Suara itu. Suara itu adalah suara yang selalu Annie rindukan. Perkiraannya memang tidak salah.
Annie mendelan ludah. “Fe... Ferend?” balas Annie ragu. Tidak yakin ingin menyapa balik.
Cowok bernama Ferend itu langsung memeluk Annie. Sedangkan Annie hanya bisa diam terpaku di tempatnya berdiri saat ini. Bermain dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
***
Annie mengacak - acak tasnya. Mencari buku tulis IPA miliknya. Dia ingat sekali kalau dia membawanya tadi pagi. Tapi kenapa saat ini tidak ada? Menghilang dadakan tanpa kabar berita. Mata Annie jelalatan. Mencari tersangka yang mungkin meminjam bukunya. Tidak mungkin Farah, Dewi, atau Mira. Ketiga orang itu sedang dipanggil Bu Rining karena suatu sebab sejak sebelum bel masuk.
“Gio!” panggil Annie setengah berteriak.
Gio mendongak. Barisan bangku Annie berada di paling depan. Sedangkan cowok itu duduk di barisan paling belakang. “Kenapa, Annie?”
“Lo liat buku tulis IPA gue, nggak?”
“Ada di gue. Lo lupa? Tadi, kan, gue minjem buat nyalin PR.”
Annie menepuk dahinya. Kenapa pula dia bisa teledor seperti itu. “Mana, Gi?”
“Apanya?”
“Buku gue, lah.”
Gio terdiam sesaat. Dahinya berkerut. Seperti sedang mengingat - ingat sesuatu. “Ada di Ferend.”
“Ferend dimana?”
“Di balkon depan kayaknya. Buku tulis lo dibawa - bawa sama dia sejak tadi.”
Annie mendengus. “Lo minjem nggak bertanggung jawab amat.”
“Maafin gue!” seru Gio acuh.
Annie mencak - mencak. Berjalan keluar kelas dan menyusuri koridor kelas VII. Benar kata Gio, Ferend memang berada di balkon depan kelas VII-8.
“Rend!” panggil Annie.
Ferend menoleh. “Apaan?”
Annie menghampirinya. Tangannya menengadah. “Buku tulis IPA gue mana?”
Ferend tidak membalas. Bibirnya menyunggingkan senyuman misterius.
“Gue serius! Buku gue mana, woi!” desis Annie kesal.
Ferend mengacungkan sebuah buku tulis bersampul plastik dengan motif mawar. “Ini maksud lo?”
“Sini!” Annie hendak menyambar buku miliknya, namun Ferend keburu mencekal tangannya.
“Enggak semudah itu... Sayang.”
Annie mendecih. “Lo kesambet apa hari ini, woi?”
“Kesambet kamu, Sayang.”
Annie meronta dari cekalan Ferend. Sebisa mungkin tidak ingin terlihat lemah di hadapan cowok menyebalkan satu ini.
“Rend! Bercanda lo enggak lucu sumpah.”
Ferend tidak kehabisan akal. Cowok bermata hitam pekat tersebut mengecup pipi tirus Annie. Tipis sekali, namun tetap saja meninggalkan bekas. Annie membeku. Belum pernah ada cowok lain yang mengecupnya seperti itu. Selain memang keluarga atau seseorang yang memliki hubungan darah dengannya.
“Ini punya kamu. Aku ke kelas duluan, ya.” Ferend melepaskan cekalannya dan menyuruh tangan Annie memegang buku tulis milik gadis itu.
“Parah lo, Rend!” komentar Gio dari bingkai pintu kelas. Cowok itu dengan santainya bersandar dan menatap kejadian romantis gagal di hadapannya.
Ferend hanya tersenyum. Menoleh sekilas ke arah Annie. Annie memang membeku. Tapi ada kemarahan yang hendak meluap dari hatinya. Tangan gadis bermata biru terang itu terkepal kuat. “Sialan!”
***
“Kupikir aku tidak bisa bertemu denganmu lagi, Annie,” bisik Ferend serak tepat di dekat indra pendengaran Annie. Merambatkan gelombang longitudinal dalam waktu sepersekian detik. “Aku sangat merindukanmu, Annie. Aku sangat merindukanmu.”
Kalimat itu sederhana. Namun cukup untuk membuat jantung Annie berpacu cepat dengan waktu. Annie berusaha keras membuat menjaga raut wajahnya agar tidak berubah saat ia mendengar ucapan Ferend. Tetapi ternyata, pipi tirusnya sudah sibuk merubah warnanya menjadi merah merona bak kepiting rebus sejak tadi. Menggelikan sekali respon tubuhnya.
Ferend melepas pelukannya. Tersenyum jahil saat mengetahui perubahan warna pipi Annie. Cowok berdarah blasteran itu berharap kalau semuanya memang masih tetap sama.
“Aku harus pergi. Sampai jumpa, Annie Sayang,” pamit Ferend sambil mengecup pelan pipi Annie. Berlari cepat meninggalkannya.
Annie membeku di tempatnya berdiri. Semuanya terjadi begitu cepat bagai desing peluru. Ferend mudah sekali hadir kembali ke dalam kehidupannya dan pergi begitu saja tanpa memberikannya sedikitpun kesempatan untuk berbicara. Ferend seolah tidak ingin mengenang semua masa lalu itu bersama dengannya.
Kecupan di pipi. Ucapan sayang. Astaga Tuhan! Annie ingin terbang melayang ke angkasa diantara awan - awan dan menatap matahari yang hendak tenggelam jauh di ufuk barat petang nanti. Namun sayangnya, Annie kembali takut untuk terjatuh lagi seperti dulu. Annie takut untuk mengulangi kesalahan yang sama dan masuk ke dalam lubang kejatuhan yang sama. Annie terlalu takut menghadapi cinta tak berbalas lagi.
“Pada akhirnya, akulah orang terakhir yang akan tersakiti.” lirihnya diikuti bulir air mata yang tidak dapat dicegahnya meluncur turun.
***
“Annie!” panggil Alex sambil menghampirinya.
Annie menoleh. Sedetik mengusap wajahnya. “Apa?”
“Lo belum cabut?” tanya Alex pelan.
Annie menggerakkan bahunya. “Seperti yang lo lihat, gue tetap berada di hadapan lo!” jawab Annie ketus. Suasana hatinya sedang tidak baik saat ini.
“Besok latihan. Bisa?” tanya Satria.
“Kapan?” tanya Annie.
“Tergantung situasi. Entah itu saat cabut pelajaran atau saat jam bubaran sekolah,” jawab Arya.
Annie berbalik. Melangkah menjauh. “Gue enggak bisa janji.”
“Hah?”