Selamat Datang Pemain Lama

3319 Words
Annie tergesa - gesa berjalan cepat menuju lapangan parkir sekolah SMA Eirlen. Tidak terlalu banyak murid - murid SMA Eirlen yang terlihat berlalu lalang karena memang sejak tadi bel jam masuk pelajaran sudah mendengungkan bunyinya. Sibuk memberitahukan jadwal berikutnya untuk para penghuni SMA tersebut. Benar. Hari ini Annie sedang benar - benar kehilangan fokus. Namun, sebagai siswi tahun kedua di SMA ini, Annie merasa hafal luar kepala denah sekolah ini, jadi Annie merasa sangat santai untuk berjalan tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Namun, kepercayaan diri Annie tersebut justru penyebab utamanya menabrak seorang cowok dengan jas OSIS. Jas yang jelas bukan milik anggota kepengurusan OSIS SMA Eirlen. Cowok itu lebih tinggi dari Annie, sehingga mau tidak mau, Annie harus mendongak pelaku yang menabraknya. Dengan kesal, Annie membaca bordir nama pada jas OSIS tersebut. Sepersekian detik kemudian, tatapan mata Annie berubah nanar demi membaca kembali bordiran nama yang dipakai cowok itu. Bordiran nama yang mungkin biasa saja kala orang lain membacanya sekilas. Namun, lain halnya untuk Annie. Osward Raymond Harits. Batin Annie sungguh terguncang saat membaca nama tersebut. Annie menatap manik mata sang pemilik mata. Cokelat gelap. Kegelapan mata yang selalu membuat Annie seakan terhisap ke dalamnya. Masih tetap sama sejak Annie bertemu dengannya terakhir kali. Cowok itu, cowok yang biasa dipanggil dengan nama Raymond, membalas tatapan Annie tepat di manik matanya. Biru terang. Raymond tidak akan pernah lupa dengan warna manik mata ini. Manik mata yang tidak asing baginya. Manik mata yang selalu dia rindukan. Manik mata yang selalu bisa meredakan amarah terbesar miliknya tanpa perlu ribuan kata pendamping. Masih sama sejak Annie hadir terakhir kali dalam kehidupannya. “Annie...” lirih Raymond bergetar. Raymond tersenyum getir. Tangannya mengambang di udara hendak memeluk tubuh ringkih gadis itu. Sayangnya, tanpa mempedulikan gumaman Raymond, Annie terburu membalikkan tubuhnya. Annie hendak melangkah pergi tanpa mengucapkan apapun, tetapi kemudian ditahan oleh Raymond. Cowok itu menahan lengan Annie, mencegahnya pergi seolah takut akan kehilangan sosok kesayangannya lagi. Annie panik dan mulai goyah dengan pertahanannya sampai beberapa butir air mata mulai mengaliri pipinya sendiri. *** Hari itu adalah satu hari setelah acara besar PORSENI SMP Pancasila. Annie, Farah, Dewi, Mira, Ratu, Meyren, dan siapapun itu yang termasuk ke dalam penghuni kelas VII-8 sedang berkumpul di meja kantin. Posisi mereka berhadapan 90 derajat dengan pintu gerbang dan hanya berjarak beberapa meter. “Lo kemaren dateng, Annie?” tanya Ratu. Annie menggeleng, tersenyum. “Rajin amat gue dateng. Mending tidur di rumah,” “Gue dateng!” sahut Meyren senang. Raut wajahnya ceria seolah siap untuk menceritakan apapun. Ratu mendecak. “Enggak ada yang nanya lo.” “Gue, kan, cuma ngasih tau… Salah, ya?” Ratu mengibaskan tangannya. Kesal. Mengacuhkan ucapan Meyren. Sudah lama, mereka berdua memiliki konflik internal yang tidak terlalu dipahami orang lain, termasuk Annie. Obrolan terus mengalir. Rancu. Acak. Membicarakan banyak hal. Apapun itu untuk menunggu berbunyinya bel masuk tanda dimulainya jam pelajaran pertama SMP Pancasila. Membunuh waktu. Meyren mengeluarkan sebuah handphone miliknya dari balik saku rok. Annie meliriknya. Sadar dengan tingkah gadis itu. Mendelik tajam. “Lo nekat, ya?” SMP Pancasila sangat ketat dalam hal peraturan dan tata tertib. Murid - muridnya tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi apapun dengan alasan takut mengganggu konsentrasi belajar di sekolah. Aneh juga, sih. Terutama bagi murid baru macam Annie dan yang lainnya saat pertama mendengarnya saat masa orientasi sekolah atau biasa dikenal sebagai MOS. Walaupun begitu, untuk beberapa murid, larangan itu hanya mereka anggap sebagai angin lalu. Tidak peduli. Mereka tetap diam - diam membawa handphone untuk dimainkan. Abai dengan resiko penyitaan, pemanggilan orang tua, atau sanksi lainnya. Meyren sekilas menoleh ke arah Annie. Tersenyum tipis. Asik mengetik sesuatu pada layar. “Gue dikacangin, nih? Sejak kapan kacang jadi mahal banget?” “Gue lagi bales chat dari Raymond. Dia katanya males masuk abis PORSENI kemarin,” jawab Meyren akhirnya. “Raymond? Kenapa lo sepeduli itu? Apa urusan lo sama dia?” sambar Farah pedas. Gadis ini sepertinya tingkat emosionalnya sedang tinggi. Kalau tentang Farah, Annie justru yakin memang kepribadian gadis itu yang seenaknya tanpa mempedulikan perasaan lawan bicaranya. “Memangnya salah?” Dewi menatap lurus Meyren dengan tatapan menyelidik. “Salah. Kecuali lo punya suatu hubungan lebih sama dia.” Annie menjadi peka. Menyadarinya dalam waktu sepersekian detik. Mengerti dengan sangat maksud dari ucapan Dewi. Terburu gadis bermata biru terang tersebut bangkit dari duduknya dan menghampiri Meyren. Sedetik kemudian, dia berhasil menyambar handphone yang sejak tadi Meyren pegang tanpa perlawanan. “Annie!” seru Meyren tanpa sadar. Annie mendengus tidak peduli. “Apa?” “Itu handphone gue!” “Gue tau!” Annie membaca cepat isi chat yang ada di layar handphone tersebut. Membaca sekilas. Memahami. “Gue cuma pinjem bentar.” Meyren meraung. Menyambar kembali handphone miliknya. Tepat setelah otak Annie berhasil membuat sebuah hipotesis. “Hai, guys!” sapa Raymond yang tiba - tiba saja datang. Membuat sesaat perseteruan Meyren dan Annie terjeda. Raymond melangkah mendekati Meyren dan Annie, memperhatikan keadaan. Annie melepaskan genggaman handphone Meyren tanpa syarat. Bibirnya menyunggingkan senyuman licik dan misterius. “Pajak jadian boleh, nih,” bisik Annie yang terarah pada Raymond dan Meyren. Sontak saja, kedua orang lawan jenis itu saling berpandangan seolah menyiratkan hal sesuatu yang hanya dipahami keduanya. Sebenarnya, sudah terbiasa di SMP Pancasila dan lingkaran pertemanan mereka untuk meminta pajak atas hubungan orang lain dengan maksud saling berbagi kebahagiaan. Tetapi, seolah menjadi peraturan tidak tertulis di sekolah ini, pajak dapat juga dikatakan juga sebagai uang tutup mulut untuk tidak membocorkan hubungan orang tersebut. “Kalian tentu ingat salah satu peraturan Pancasila, bukan?” tanya Annie memastikan. Nada bicaranya tajam seolah menghakimi. Mira yang juga berada di tempat yang sama menatap Annie, Raymond, dan Meyren bergantian. “Pada ngapain, woi? Ngajak - ngajak, dong!” sahut Mira. “Gue bisa teriakin lo berdua pacaran detik ini juga dan jangan lupa koridor ini berbatasan langsung dengan ruang guru. Gimana?” Annie mengancam. “Lo yakin banget gue sama Meyren pacaran?” tanya Raymond meremehkan sambil tertawa kecil. Annie tertawa. “Untuk ukuran kalian yang lebih sering ngomong dengan bahasa gue-lo, tapi pas gue liat chat lo sama Meyren di hpnya malah pakai bahasa aku-kamu dan kata Sayang. Kenapa coba? Selain alasannya karena kalian punya hubungan lebih dari sekadar teman. Contohnya, ya, pacaran,” jawab Annie dalam satu tarikan napas. Meyren menarik napas panjang. Merasa tidak ada gunanya melakukan perdebatan dengan gadis bermata biru ini. Apalagi Raymond, ia malas tersandung masalah dan berurusan dengan guru Bimbingan Konseling. Enggan mungkin lebih tepatnya. Ada banyak urusan lain yang harus ia pikirkan selain hal sepele semacam itu. “Apa mau lo?” tanya Meyren akhirnya. Annie kembali menyunggingkan senyuman misterius miliknya. “Gue minta pajak jadian dari kalian berdua serta kejelasan hubungan kalian...” Annie menantang pasangan tersebut. “Lengkap dengan cerita kalian.” “Apa setelah itu lo gak bakal cepu ke BK?” tanya Raymond memastikan. Cowok bermata biru gelap itu tidak terlalu kenal dekat dengan Annie sehingga tidak tahu tabiat yang sedang direncanakannya. Meyren baru saja hendak membuka mulutnya, namun bel masuk sudah menggema ke seantero SMP Pancasila. Annie menengadahkan tangannya pada Meyren. “Pajak!” Meyren mendengus, merogoh saku seragamnya. Mengeluarkan lembaran uang bernilai lumayan. “Tuh dari gue.” “Lo mirip rentenir!” komentar Raymond pedas. Annie tertawa sumbang. Beranjak menjauh menghampiri kembali teman - temannya yang sudah berdiri dari duduk mereka. Meneriakkan sesuatu. “Jangan lupa soal ceritanya, ya!” “Udah masuk, woi...” seru Farah pada Annie yang baru saja menyamai langkahnya. Dewi menyelidik. “Lo ngomongin apaan sama mereka?” “Sejak kapan lo deket sama Raymond? Bukannya lo cuma deket sama Ferend, Gio, atau Jonathan?” tanya Mira tidak mau kalah. *** “Kakak kangen sama Annie.” Annie tidak menggubris apapun yang Raymond ucapkan. Paru - parunya sedang sibuk menetralkan seluruh desah napasnya. Raymond membalikkan tubuh Annie. Memutarnya tanpa penolakan. Sekejap langsung memeluk tubuh ringkih tersebut, setelah sebelumnya menghapus seluruh air mata Annie. Annie tidak melakukan apapun. Dia hanya bisa diam dengan seluruh keterkejutannya. Annie sebenarnya ingin memberontak apalagi ini masih berada di lingkungan SMA Eirlen. Bagaimana kalau ada guru yang lihat dan masalahnya menjadi runyam? “Annie... Kenapa Annie pergi?” Demi pertanyaan itu. Demi satu pernyataan sederhana yang Raymond lontarkan untuknya. Annie mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah Raymond. Wajah yang ada tepat di hadapannya. Tingkah Annie terpaksa membuat Raymond harus melepaskan pelukan eratnya. wajah itu sedikit lelah dibanding dengan terakhir kali Annie melihatnya dulu. Dulu sekali, saat ia merekam seluruh gurat wajah milik cowok itu. Annie masih ingat akan hal ini. Raymond adalah tipikal cowok yang sangat tidak menyukai sesuatu bernama basa - basi atau kata pembuka yang lebih ringan lain. Raymond lebih suka langsung bertanya mengenai inti pembicaraan jika menyangkut dengan hal - hal yang sensitif. “Kenapa Annie pergi tepat sehari setelah Annie memberikan Kakak kesempatan itu?” lirih Raymond. Mengulangi pertanyaannya dengan kata - kata tambahan. Annie menggigit bibirnya. Berusaha melampiaskan rasa sakit pada hatinya. “Annie pergi, karena Annie tidak mempunyai alasan untuk tetap tinggal,” lirih Annie dengan suara bergetar. Sedikit serak akibat sempat menangis tadi. *** Annie menghadang Raymond yang hendak pulang saat cowok itu ingin keluar dari pintu gerbang SMP Pancasila. “Lo utang cerita sama gue!” “Apaan?” “Soal Meyren dan hubungan lo sama dia.” “Itu bukan urusan lo, deh, kayaknya. Sibuk banget ngurusin hidup orang lo.” desis Raymond. Cowok itu berusaha melepaskan tangan Annie dari gagang pintu yang menghalanginya keluar kelas. Beberapa anak kelas VII-8 sudah keluar dan tinggal tersisa beberapa anak yang masih ingin berada di dalam kelas, sehingga tidak masalah bagi Annie memonopoli pintu kelas. Annie tersenyum setengah. Menjentikkan jarinya di hadapan Raymond. “Ruang BK deket, loh. Lo bisa ngelanggar pasal peraturan dilarang pacaran!” Annie balas mendesis. Tidak ingin diremehkan. “Gue buru - buru. Mau latihan basket. Lo mau tetep nyegat gue macem gini?” “Itu tentu bukan urusan gue, Osward Raymond Harits.” “Lo...” “Gue juga enggak punya banyak waktu sekarang. Terserah lo mau nyeritain kapan.” Raymond mengangkat salah satu alis matanya. “Kenapa lo pengen tau banget, sih?” “Karena gue mau?” Raymond mengacak - acak rambutnya. Akhirnya, cowok itu memilih untuk mengalah. “Oke. Gue bakal chat lo nanti.” “Lo punya kontak gue?” “Gue bisa liat itu dari grup kelas.” “Oke. Gue tunggu.” “Minggir lo!” usir Raymond kesal. “Liat aja sampe lo boong. Kelar hidup lo besok!” ancam Annie sambil tersenyum lebar. *** Malam itu Annie sedang berdiri di depan balkon kamarnya. Jendelanya terbuka. Tirainya tersingkap. Bebas sekali bagi angin malam untuk memasuki kamarnya. Menyapu lembut dan menerpa wajahnya. Hati gadis bermata biru itu terasa kebas. Tanpa rasa sedikitpun. Kalau boleh jujur, rumah bukanlah tujuan pulang dirinya yang paling utama. Tidak ada nyawa di sini. Tidak ada suara tawa sama sekali di tempat ini. Kosong. Setiap sudutnya hanya penuh oleh benda - benda mewah. Hanya itu. Tidak lebih dari sekadar hiasan. Dimana Mama dan Papanya? Dimana mereka? Ia sendiri di sini. Dimana mereka di saat Annie benar - benar membutuhkan mereka? Dimana kedua orang yang harusnya berperan penuh dalam menciptakan nyawa dalam rumah ini? Nyawa berupa suara tawa atau obrolan ringan seputar kegiatan sehari - hari. Annie memang tidak pernah mengerti. Kenapa semuanya begitu acuh pada dirinya. Bertemu. Sapaan formal. Sibuk dengan urusan masing - masing. Di tengah lamunannya, Annie mendengar suara notifikasi dari handphonenya. Sebuah pesan dari pemain yang hendak menuntaskan janjinya. Annie beringsut duduk ke kasurnya, bersiap menjawab dan meladeni Raymond. Kalau dipikir-pikir lebih jauh, Annie juga heran kenapa ia sangat penasaran dengan kisah hidup Raymond dan hubungannya dengan Meyren. Tetapi, boleh jadi memang sudah takdir dirancang demikian dan Annie tidak dapat mengelak. Raymond Annie? Lo sibuk? Annie Kenapa? Raymond Gue sama Meyren jadian pas PORSENI kemaren. Annie Masuk akal. Raymond Lo pikir gue boong? Annie Gue sama sekali enggak bilang kayak gitu. Raymond Tapi maksud dari kata - kata lo kayak gitu! Annie Salah, ya? Raymond Oke, abaikan. Annie Itu lebih baik. Raymond Gue emang pacaran sama dia, tapi gue enggak suka sama dia. Annie Jadi lo pacaran sama dia karena lo kasian sama dia? Cowok b******k macam apa lo? Raymond Kenapa lo udah berspekulasi kayak gitu? Annie Itu berarti gue bener? Raymond Secara teorinya sih, iya. Gue jadiin dia pacar gue, terus gue bakal bikin dia kesel sampe dia sendiri yang akan mutusin pada akhirnya. Annie Brengsek sekali anda. Gue nggak nyangka otak lo terlalu licik. Raymond Kata - kata lo itu pedes banget, sih? Annie Lo salah nilai gue, Ray? Raymond Lo beda. Saat di kelas sama Ferend dibanding di chat gini sama gue. Lo beneran beda. Annie Gue itu tergantung orangnya. Ini masalah kenyamanan. Raymond Lo juga deket banget sama Gio atau Jonathan. Annie Jonathan sahabat karib lo, bukan? Setidaknya cowok satu itu nyeritain sekilas tentang gue. Raymond Sedikit-banyak, sih, iya. Annie Gue harap bukan yang buruk. Tapi yaudahlah. Raymond Lo asik. Annie Maksudnya? Raymond Selamat malam. *** “Annie apa kabar?” Annie tak bergeming. Masih merasa enggan untuk menjawab. Annie mengerti dengan maksud Raymond yang sesungguhnya. Maksud yang lebih dalam dibanding kata awal pembuka teguran sapa seperti itu. Makna harfiahnya. Raymond mengajaknya atau lebih tepatnya memaksa dirinya untuk duduk pada sebuah bangku di dekat mereka bertabrakan tadi. Cukup nekat mengingat Annie kabur dari jam pelajaran terakhir kelasnya. “Annie...” “Apa tidak ada kalimat lain yang lebih kaku dari pertanyaan tentang kabar tersebut?” tanya Annie tajam. Raymond mengernyit bingung. “Apa tidak ada topik lain untuk memulai pembicaraan, selain basa - basi seperti itu? Klasik sekali,” desis Annie mengulang pertanyaannya dengan harapan Raymond lebih mengerti. Gantilah Raymond yang terdiam. Annie tertawa sumbang. Menarik napas panjang. “Ternyata benar, ya. Setelah lama waktu berlalu, seseorang akan berubah.” Raymond masih diam. “Kenapa juga kakak harus datang lagi ke kehidupan Annie…” lirih Annie hampir kalah dengan suara riuh kelas-kelas ribut SMA Eirlen yang terdengar hingga tempat mereka. Raymond memiringkan kepalanya. “Kenapa Annie berbicara seperti itu?” Annie merebahkan punggungnya pada senderan bangku. Mata Annie menatap lurus langit biru yang menyelimuti langit SMA Eirlen. Warna yang sama dengan warna manik mata miliknya. *** Terik matahari asik sekali membakar bumi. Waktu yang tidak terlalu nyaman bagi angkatan kelas VII SMP Pancasila untuk bersekolah karena mereka masuk saat siang hari sampai sore hari. Bergantian dengan senior mereka. Annie baru saja melepas tas gendongnya. Melemparnya ke atas meja. Hampir mengenai Farah, namun tidak jadi. “Annie... Buat lo!” teriak Jonathan dari ambang pintu. Melemparkan sebuah kaleng minuman bersoda ke arah Annie. Ditangkap sempurna oleh gadis itu. “Makasih, John!” balas Annie senang. Sebuah kepala menyembul dari balik pintu. “Annie udah dateng?” Jonathan mengernyit. “Sejak kapan lo peduli sama Annie?” “Sejak dia tau masalah gue,” Raymond menjawab santai sambil mengedik acuh. Mengusir Jonathan dan menyelak masuk. Berjalan cepat menghampiri Annie. Mengabaikan tatapan tidak mengerti milik Jonathan. “Apaan?” tanya Annie galak. “Annie! Ferend kagak masuk hari ini! Bolos biasalah! Cabut dia,” pekik Gio yang baru saja datang dengan tas gendong hitamnya, melapor kepada sekretaris kelas. Melemparnya dari depan kelas tepat ke daerah belakang kelas. Lemparan yang bagus. Salah satu alis Annie terangkat. Memandang lurus cowok itu. Bertanya memastikan karena mengingat tanggung jawabnya sebagai sekretaris yang mengurus perkara masuk tidaknya murid VII-8. “Lo serius?” “Ferend bilang kemaren,” ucap Gio yang disambut dengan munculnya sosok Ferend dari depan pintu kelas. “Fitnah, Annie! Ini fitnah. Gue masuk, lo liat sendiri, kan?” jerit Ferend sambil membabi buta ke arah Gio. Annie memutar matanya. Tidak ingin ikut terlibat dengan Ferend dan Gio. Kembali menatap Raymond. “Lo mau bilang apa tadi?” Raymond menggeleng. “Nanti aja lewat chat.” *** Selesai mengerjakan tugas, Annie hendak tidur lebih cepat karena seharian ini harus mengurus daftar hadir kelas VII-8. Lebih tepatnya terpaksa karena diminta oleh sekretariat SMP Pancasila sebagai laporan. Menyebalkan. Akibatnya, Annie harus secepat kilat menghitung persentase kehadiran di jam istirahat dan pelajaran. Sayangnya, niat Annie tidur lebih cepat gagal karena ada pesan masuk yang lebih menggoda untuk Annie respon. Sebuah pesan dari Raymond, teman barunya. Raymond Kemarin gue lupa bilang. Annie Hmm? Raymond Soal Meyren. Annie Kenapa? Jelasin coba. Raymond Gue mau putusin dia. Annie Gampang banget ya buat cowok mutusin cewek. Termasuk juga dalam hal memainkan hati. Raymond Apa gue salah? Annie Sejak awal lo salah, Ray. Sejak awal lo salah. Enggak seharusnya lo terima dia… Raymond Tapi gue kasian. Lo tau itu, kan? Annie Iya gue ngerti. Tapi asal lo tau aja, sih, lebih sakit diterima karena kasihan daripada ditolak. Raymond Terus gue harus apa? Annie Semuanya hak lo. Gue nggak ada urusan. Raymond Setidaknya kasih gue saran. Annie Putusin Meyren tanpa kata - kata bullshit menjijikkan atau apapun, tapi jangan sampai terlalu sensitif. Raymond Bakal gue pikirin. Annie Kapan rencana? Raymond Gue belom yakin. Annie Lagi mikir kata - kata? Raymond Itu lo tau. *** “Kakak datang kesini karena ada undangan rapat Ketua OSIS yang diadakan di sekolah Annie. Kakak sungguh tidak menyangka kalau undangan itu yang akan membuat takdir mempertemukan kita kembali...” Annie mengacuhkan ucapan Raymond, memotongnya. Bertanya dengan polos. Melenceng jauh dari apa yang sedang dibicarakan. Lupa dengan ucapan-ucapannya sebelumnya. “Kakak ada masalah apa?” Raymond tersenyum dipaksakan. “Annie selalu tahu.” Annie menggeleng pelan. “Mata Kakak sendiri yang memberitahukannya pada Annie,” elaknya cepat. “Semua baik - baik saja. Tidak ada yang salah.” Annie menyeringai. “Berbohong?” Raymond terdiam. “Setelah semua perpisahan itu, apa Kakak sudah tidak percaya lagi dengan Annie? Iya?” tanya Annie telak menohok. Raymond hanya membisu, tanpa berniat sedikitpun menjawab pertanyaan Annie. Entah enggan atau dia memang tidak mau. Annie menatap Raymond. Tepat di manik matanya. Mencari jawaban atas pertanyaannya di sana. Walaupun tidak berhasil ia temukan. “Apa salahnya, sih, Kak, kalau Kakak ceritain masalah Kakak ke Annie? Bukankah itu bisa sedikit melepaskan sedikit beban pada hati Kakak? Mungkin saja, kan, Annie bisa memberikan Kakak sedikit saran? Atau mungkin membantu Kakak untuk menghadapi masalah itu?” tanya Annie tanpa sedikitpun jeda napas. Raymond menghela napas amat panjang. Matanya tidak berniat untuk membalas tatapan Annie. Melainkan tangannya sibuk mengelus rambut panjang Annie. Sekadar untuk menenangkannya. Hanya itu satu - satunya cara yang bisa Raymond ingat untuk meredam emosi Annie tanpa perlu menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. Terlebih, ini adalah pertemuan perdana mereka setelah berpisah beberapa waktu. Raymond memilih untuk bungkam saat ini. Menyembunyikan kembali semua rahasia dan cerita masa lalu yang sudah Raymond pendam bertahun - tahun lamanya. Bahkan sebelum Raymond berkenalan dengan Annie. Masalah yang akhir - akhir ini seolah memenuhi benaknya. “Ada beberapa hal di dunia yang lebih baik tidak Annie ketahui untuk sementara waktu,” ucap Raymond setelah berhasil menemukan kata - kata yang menurutnya paling cocok untuk menutupi seluruh kenyataan. *** “Gue udah putus sama Meyren,” bisik Raymond saat apel Jum’at sore di SMP Pancasila. Annie melirik Raymond. Mereka berbaris sebelahan. Tergantung tinggi. Sejajar. Annie melihat ke arah depan, mencari Meyren, dan menemukannya di barisan paling depan dengan jarak 4 orang. Aman. “Dia... Dia gimana?” Raymond mendesah, tersenyum tipis. “Perdebatan alot. Dia enggak mau putus, tapi akhirnya gue sama dia selesai.” Annie mengangguk. “Baguslah. Semakin lama lo pacaran sama dia karena kasihan, semakin sakit buat dia.” “Gue b******k, ya?” “Lo mulai sadar diri?” “Intropeksi diri lebih tepatnya.” Annie tidak membalas. “Gue boleh jujur?” tanya Raymond. Sesekali mencuri pandang ke arah Annie. “Apa?” “Lo enak juga diajak chat.” Annie terdiam sejenak. Memang sejenak hari itu Raymond curhat tentang hubungannya dengan Meyren, chat mereka masih tetap berlanjut. Tentu saja dengan topik yang selalu berubah - ubah. Topik yang datang tanpa perlu pemikiran panjang. Muncul begitu saja. “Makasih udah boleh ngenal lo lebih deket. Makasih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD