Diceraikan

1107 Words
Nadia menyeret kopernya yang lumayan besar itu keluar dari rumah tersebut. Tanpa mengatakan apa pun lagi, dan tak pernah menoleh ke belakang juga. Rumah tangganya sudah hancur sejak lama, dan Nadia baru menyadari hal tersebut. Mau sekuat apa dia mempertahankan, jika suaminya sendiri sudah tidak memiliki respect dan rasa sayang, untuk apa diperjuangkan? Apalagi dia benar-benar sudah tidak diinginkan lagi. Tidak lagi dihargai sama sekali. Apa pun yang dia lakukan selalu salah, meski benar sekali pun. Bahkan janji suci pernikahan juga sudah dilanggar. Hanya karena masalah belum bisa memberikan keturunan, semuanya berubah. Tidak ada perempuan mana pun yang menginginkan hal seperti ini. Pasti siapa pun ingin cepat diberikan momongan. Tapi takdir hanya Tuhan yang mengatur. "Sudahlah Ar, ceraikan langsung saja. Lagi pula dia sudah tau kan? Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Lagian punya istri seperti dia tidak ada untungnya sama sekali. Tidak bisa memberi anak, kerjaannya ngeluh saja. Mama restuin kamu sama Rosa, udah cantik, lebih kaya dan terkenal lagi." Ratna, wanita yang seharusnya bisa merasakan apa yang dia rasakan, justru mendukung yang namanya perselingkuhan. Menghalalkan hal tersebut dan mendukung anaknya berselingkuh. Justru memojokkan dia sebagai istri sah dengan kalimat yang penuh dengan hinaan. Tertawa disaat menangis, benar-benar definisi yang sangat menyakitkan. d**a Nadia terasa sesak. Pengkhianatan yang dilakukan suaminya dan juga keacuhan ibu mertua serta adik iparnya benar-benar membuat Nadia tidak habis pikir. Apakah manusia bisa sebiadab itu? "Benar-benar lucu. Kalian semua sedang bercanda?" ucap Nadia dengan nada yang begitu rendah. "Apa ini semua lelucon?!" lanjutnya berteriak menatap satu persatu dari ketiga wajah manusia jahat yang ada di depannya. "Bagaimana bisa Mama mendukung kelakuan buruk Mas Ardi? Mendukung perselingkuhan dan menceraikan aku sebagai istrinya? Apa Mama tidak ingat jika memiliki anak perempuan juga? Coba pikirkan jika seandainya Helen berada di posisi Nadia sekarang? Apa Mama—" "Stop! Jangan banyak omong deh Mbak!" sela Helen. "Istri tidak berguna dan mandul kayak kamu tuh emang tidak pantas untuk didukung! Terima nasib saja deh, Mbak! Uangmu banyak kan? Coba deh gunakan uangmu itu biar bisa hamil Mbak! Jangan banyak omong." Tak terasa bulir-bulir air mata terjatuh membasahi pipi Nadia, mengingat bagaimana jahatnya mulut adik dari Ardiansyah serta ibunya. "Aku ceraikan kamu!" Lagi, suara Ardiansyah yang berseru dengan tegas menceraikannya masih terngiang di telinga Nadia. Bahkan tepat setelah itu dia benar-benar di usir. Nadia tidak pernah menyangka kehidupan rumah tangganya akan berakhir seperti ini. Semuanya di luar batas kemampuannya sebagai seorang istri dan juga menantu. Nadia terus menyeret kopernya. Berjalan di trotoar dengan hati yang sedang berkabut. Malam semakin terasa sunyi, sampai terdengar suara petir mulai menggelegar. Angin juga mulai berdatangan, menandakan hujan akan segera tiba. Nadia mengeratkan jaket yang dia kenakan, saat udaranya semakin dingin. Air matanya masih mengalir, bahkan pandangannya menjadi buram sebab terus menangis. Hujan mulai turun tanpa disadari. Mulai dari rerintik hingga deras seperti saat ini. Nadia sama sekali tidak berhenti untuk berteduh karena memang tidak ada tempat yang bisa dia gunakan untuk berteduh saat ini. Entah dia sadar atau tidak, tapi yang jelas dia sedang dirundung kesedihan yang mana membuatnya sedikit tidak fokus. Langkah kakinya terasa semakin berat, dan jalanan begitu licin. Genggaman tangannya pada koper yang dia bawa semakin menguat karena menahan sesuatu. Tangisannya menyatu dengan hujan deras yang sedang mengguyurnya. Semesta seolah sedang merayakan kesedihannya malam ini. Tuhan benar-benar mampu membolak-balik nasib dan keadaan dengan begitu mudah. Semudah seperti orang yang membalikkan telapak tangannya. Nadia masih tidak menyangka jika takdirnya bisa seperti ini. Dia begitu tulus mencintai seseorang, namun dikhianati begitu saja hanya karena belum bisa memberikan keturunan. Rasanya tidak adil bagi Nadia, namun dia bisa apa? Nadia merasakan tubuhnya semakin berat, bersamaan dengan seluruh pakaiannya yang basah kuyup. Pandangannya mulai mengabur dan kepalanya terasa pusing. TIINNNN!! Suara klakson mobil yang begitu panjang mengejutkan wanita itu. Nadia menoleh ke kanan dan baru menyadari jika dia saat ini sedang berada di tengah jalan. Karena terlalu berlarut pada kesedihannya, fokus Nadia mendadak hilang entah ke mana. Dia hampir saja mencelakai dirinya sendiri tanpa sadar. "WOI! BURUAN! MAU MATI LO?!" Seseorang berteriak memaki Nadia yang tak kunjung menyingkir. Dari suaranya adalah seorang laki-laki. Tapi Nadia tidak begitu melihat bagaimana rupanya, sebab cukup silau karena lampu mobil laki-laki tersebut begitu terang. Ditambah lagi kepalanya yang mulai berdenyut berat. Baru saja melangkah, mendadak pandangan Nadia langsung berubah menjadi gelap. Nadia, pingsan. +++ Sinar matahari yang begitu terang membuat tidur Nadia terusik. Matanya mengerjap beberapa kali guna menyamankan pandangannya saat ini. Nadia sontak mendudukkan dirinya saat menyadari dia berada di sebuah kamar. Matanya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang mengenakan pakaian pelayan. Tapi karena tidak mengenalnya, tentu saja dia sedikit berhati-hati. "Eh, neng geulis sudah bangun? Ayo cuci muka, setelah itu sarapan dulu. Tuan muda sudah berangkat ke kantor setengah jam yang lalu." Nadia mengerutkan keningnya tidak mengerti, yang mana membuat wanita paruh baya itu menatapnya sedikit bingung. Namun berakhir tersenyum ramah dan mendekat. "Jangan takut neng, saya bukan orang jahat. Tuan muda juga bukan orang jahat." Nadia tak menggubris ucapan dari wanita tersebut. Dia sibuk meneliti ke sekelilingnya, lalu dia tersadar jika pakaiannya sudah berganti. Dia ingat betul jika semalam seluruh pakaiannya basah kuyup. "S—siapa yang mengganti pakaian saya?" Wanita paruh baya itu tersenyum, "saya yang menggantinya tadi malam neng. Semalam baju neng basah kuyup, dan dalam keadaan pingsan. Untung ada tuan muda yang nolongin neng." "Tuan muda?" "Iya, tuan muda yang nolongin neng semalam. Neng pingsan di tengah jalan. Emang gimana bisa neng pingsan di tengah jalan? Bawa koper juga. Neng kabur dari rumah atau bagaimana? Bahaya neng, jangan kabur-kaburan ya? Untung yang nemuin neng tuan muda, coba kalau yang nolongin orang jahat gimana neng? Jakarta rawan neng kalau malem." Nadia cukup terkejut saat mengetahui fakta bahwa dia ditemukan pingsan di tengah jalan. Dia tidak begitu mengingatnya, tapi Nadia bersyukur. Setidaknya dia aman semalam. "Maaf, anda—" "Panggil Bi Inah saja." sela wanita paruh baya itu dan Nadia mengangguk mengerti. "Apa semalam saya sangat menyusahkan?" Bi Inah menggelengkan kepalanya dengan cepat, "sama sekali tidak menyusahkan kok neng. Ayo, sarapan. Neng pasti laper." "Terimakasih Bi sebelumnya. Tapi saya harus pergi sekarang, maaf." "Loh, makan dulu neng sebelum pergi. Bibi—" "Maaf Bi, tapi saya tidak bisa. Tolong sampaikan rasa terimakasih saya pada tuan muda yang Bi Inah maksud. Terimakasih karena sudah menolong saya." Selesai mengatakannya, Nadia langsung bangkit dan berjalan ke sudut ruang kamar tersebut untuk mengambil kopernya. "Bisa tunjukkan di mana pintu utamanya?" tanya Nadia meminta bantuan. Karena dia yakin jika rumah tersebut sangat besar. Meminimalisir agar tidak tersesat di dalam rumah tersebut. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut, Nadia sangat berterimakasih pada sosok yang sudah menolongnya. Meskipun tidak bisa menatapnya secara langsung, tapi Nadia begitu tulus saat menitipkan rasa terimakasihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD