Abimana benar-benar datang ke acara jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh EL Group. Abimana datang ditemani dengan sang sekretaris yang tak lain adalah Nadia Kirana.
Beberapa kali Abimana mengenalkan Nadia pada para pengusaha-pengusaha lainnya yang hadir di acara tersebut, dan sedikit banyaknya mengira jika Nadia adalah kekasihnya. Padahal wanita itu jelas sekretaris nya sendiri.
"Sungguh Pak Abi, saya mengira jika Ibu Nadia adalah kekasih Anda. Karena memang kalian terlihat seperti pasangan kekasih. Sangat cocok."
Abimana tersenyum tipis menanggapi ucapan lawan bicaranya tersebut. Dia melirik ke arah Nadia yang saat ini berada di ujung, tampak sedang mengobrol dengan sekretaris dari perusahaan lain.
Abimana benar-benar tidak mengerti, mengapa orang-orang bisa sampai mengira jika Nadia adalah kekasihnya. Apa karena sudah terlalu lama sendiri, lalu ketika ada wanita yang lebih muda bersamanya, semua orang jadi mengira jika itu kekasihnya?
Entahlah, Abimana juga tidak mau terlalu memikirkan hal tersebut. Dia kembali fokus pada obrolannya yang sekarang. Sebab topik yang sedang dibicarakan dengannya itu mengenai bisnis, yang mana menjadi topik kesukaan seorang Abimana yang sangat gila kerja.
Sementara itu, Nadia sibuk berkenalan dengan para sekretaris yang ikut hadir menemani atasannya malam ini. Meski tidak semuanya, tapi Nadia sudah berkenalan dengan beberapa orang.
"Jadi, kamu sekretaris barunya Pak Abimana?" tanya seorang wanita yang tinggi badannya melebihi Nadia. Wanita itu diketahui bernama Shella. Seorang sekretaris dari PT Indo Jaya.
"Iya baru. Bahkan baru banget kemarin aku mulai kerja. Dan sekarang udah langsung ikut ke acara-acara seperti ini."
"Keren loh kamu Nadia. Baru kemarin kerja, tapi tampaknya kamu udah berpengalaman banget ya? Public speaking kamu juga bagus loh. Udah ada pengalaman kah sebelumnya?"
Nadia mengangguk mantap. "Iya, beberapa tahun lalu aku pernah kerja jadi sekretaris di perusahaan gitu. Jadi sekarang kerasa banget kalau pengalaman kerja itu emang penting banget sih."
"Betul itu. Apalagi kamu udah ngerti bidang yang kamu geluti." sahut Shella. Lalu kemudian wanita itu kembali melanjutkan, "kalau boleh tau, kenapa beberapa tahun lalu itu kamu resign kerja?"
"Ya, ada satu lain hal, jadi aku terpaksa harus resign dari pekerjaanku saat itu." jawab Nadia sekenanya.
Wanita itu tidak mungkin mengatakan secara blak-blakan alasannya saat itu resign dari pekerjaannya. Rasanya tidak etis jika dia menceritakan urusan pribadinya yang terdahulu.
"Nadia!"
Sang pemilik nama buru-buru menoleh ke belakang, dan mendapati Abimana memanggilnya. Bahkan tangan pria itu bergerak memintanya untuk mendekat.
Karena itulah, Nadia berpamitan dulu pada Shella untuk kembali menyusul atasannya tersebut.
Sepanjang Nadia berjalan, beberapa orang memang memperhatikannya. Tapi hanya sekilas, karena tidak mau di anggap menganggu privasi. Apalagi Nadia hadir di sana bersama Abimana Naratama. Orang-orang sangat tau seperti apa seorang Abimana Naratama itu.
"Ya, Pak, ada apa?" tanya Nadia begitu berhenti di samping Abimana.
"Ini Pak Bramantyo, pimpinan EL Group." ujar Abimana sembari tangannya bergerak mengarah pada Bramantyo yang ada di hadapannya saat ini.
Nadia sontak tersenyum ramah dan menjabat tangan Bramantyo dengan sopan.
"Selamat malam Pak Bramantyo, senang bertemu dengan Anda. Saya Nadia, sekretaris baru Pak Abimana."
"Selamat malam juga." jawabnya. "wah, sekretarisnya ternyata? Aku mengira kau ini calonnya Pak Abimana."
Bramantyo, pria berumur itu tertawa kecil karena dia sudah salah mengira. Tapi jika boleh jujur, memang Bramantyo melihat Abimana dengan Nadia ini semacam pasangan kekasih. Bukan seorang bos dengan sekretarisnya.
"Bapak bisa saja. Orang-orang bisa salah paham nanti jika ada yang mendengar. Saya sekretarisnya Pak Abimana, menggantikan Ibu Lina."
"Bukan hanya aku saja yang berpikiran begitu, yang lainnya juga berpikir jika kalian pasangan kekasih. Jadi aku minta maaf karena sudah salah mengira."
"Tidak masalah, Pak. Ini hanya salah paham saja." ucap Nadia menanggapi.
Abimana lantas berdehem pelan, yang mana menarik atensi Bramantyo begitu pun juga Nadia yang ada di sampingnya.
"Saya baru ingat jika ada urusan di rumah, Pak Bramantyo. Maaf karena tidak bisa berlama-lama di sini. Saya harus kembali sekarang."
"Tidak masalah, Pak Abimana. Saya senang Anda bisa datang kali ini di acara jamuan makan malam yang di adakan oleh pihak kami. Sekali lagi terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk datang kemari."
"Sama-sama Pak Bramantyo. Kalau begitu, saya permisi sekarang juga." ucap Abimana.
Nadia pun menimpali, "Permisi, Pak Bramantyo..."
Pria berumur itu sontak tersenyum sambil mengangguk di kala Abimana dan Nadia berpamitan.
Sebenarnya dia cukup terkejut dengan kehadiran Abimana Naratama. Sebab pria itu tak terbiasa datang di acara undangan seperti ini. Jika pun datang, pasti bisa dihitung menggunakan jari.
+++
Nadia mendadak menghentikan langkahnya, yang mana membuat Abimana juga turut berhenti. Dia segera mendongak untuk menyatukan tatapan dengan Abimana.
"Maaf Pak Abimana, sepertinya kita berpisah di sini. Saya akan pesan taksi di depan. Jadi, Pak Abimana ke parkiran sendiri apa tidak masalah?"
"Ke arah mana pulang mu?"
Nadia reflek menggerakkan tangannya ke arah barat yang mana langsung di angguki oleh Abimana.
"Saya antar saja, sudah malam."
"Tapi Pak Abi—"
"Saya tidak menerima penolakan, Nadia. Ayo!" sela pria itu, lalu berjalan lebih dulu menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri barusan.
Nadia mengikuti dari belakang sampai dia masuk ke dalam mobil, suasananya masih saja tenang. Nadia ingin memulai pembicaraan, tapi sedikit merasa risih. Bahkan di dalam juga hening, sebab tak ada musik yang menemani.
"Kamu tidak punya kendaraan pribadi? Atau memang sedang tidak memakainya saja?"
Nadia dengan cepat menoleh dan menjawab, "ah itu, tidak Pak. Saya tidak punya kendaraan pribadi."
"Tempat tinggal?"
"Kalau itu, saya sedang menyewa apartemen Pak. Tapi, apartemen yang murah, bukan yang mewah seperti di bayangan Pak Abimana."
"Saya tidak sedang membayangkan apa pun, apalagi apartemen yang kau katakan. Apa peduli tentang murah dan mewah? Yang terpenting tempatnya nyaman." sahutnya yang membuat Nadia langsung tersenyum menunduk. "kalau rumah, ada?"
"Rumah ada Pak, peninggalan kedua orang tua saya."
"Lalu, kenapa memilih untuk tinggal di apartemen? Bukankah sayang uangnya?"
Nadia kembali menatap Abimana yang terus bertanya padanya. Terus menerus mencari topik pembicaraan padanya. Meskipun matanya begitu fokus lurus ke depan mengemudi.
"Rumahnya masih dikontrak, Pak. Jadi mau tidak mau saya ya harus mencari tempat tinggal sementara."
"Saya punya rumah dekat kantor Skyline. Kalau kamu mau, kamu bisa tinggali rumah itu untuk sementara waktu, Nad. Selain menghemat ongkos, kamu juga menghemat biaya sewa apartemen."
Pupil mata Nadia melebar sempurna ketika mendengar Abimana menawarkan tempat tinggal padanya. Siapa pun pasti akan syok jika tiba-tiba ditawari seperti ini. Apalagi Nadia notabene nya adalah karyawan baru yang baru saja bekerja dua hari ini.
"Saya tidak memaksa, hanya menawarkan saja."
"Terimakasih untuk tawarannya Pak Abimana, tapi saya sudah nyaman di tempat yang sekarang. Apalagi saya sudah menyewa apart tersebut untuk beberapa bulan ke depan. Jadi sayang sekali jika saya tinggalkan."
"Baiklah kalau begitu." sahut Abimana dan Nadia hanya tersenyum sebagai tanggapan.
Suasana di dalam mobil kembali hening. Abimana yang fokus mengemudi, dan Nadia yang kini diam sembari terus menatap lurus ke depan.
Hingga sampai pada gedung apartment tempat Nadia tinggal, keduanya masih saling diam sampai mobil tersebut berhenti.
Abimana yang lebih dulu menoleh sembari berkata, "benar yang ini gedungnya?"
"Iya Pak, benar. Ini gedung apartment tempat saya menyewa." jawabnya sembari mengangguk sebelumnya.
Nadia mulai melepaskan sabuk pengamannya dan itu diperhatikan oleh Abimana, tanpa diketahui oleh wanita itu.
"Terimakasih sudah mengantar saya, Pak Abimana. Selamat malam,"
Abimana hanya mengangguk pelan tanpa mengatakan satu patah kata pun. Namun, dia tetap memperhatikan pergerakan Nadia yang saat ini mulai turun dari mobilnya. Bahkan sudah berada di luar pun, Nadia masih tersenyum hormat pada Abimana yang dibalas senyuman tipis setipis benang oleh pria itu.
Sepeninggal Abimana, Nadia justru dikejutkan dengan seseorang yang tengah menunggunya di luar gedung.