Bukan sekedar ancaman

1264 Words
Hera mendengar suara langkah kaki yang memasuki kamarnya, "Kamu sudah kembali?" "Hmm," "Bagaimana perjalanan bisnismu, lancar?" tanyanya kembali yang berusaha bangkit dengan bantuan Instisblind, dan menghampiri suaminya. "Lancar, aku lelah dan tolong jangan menggangguku," Gerald merebahkan tubuhnya, ingin rasanya ia pergi kekamar lain. Namun, jika berpisah kamar, itu akan menjadi masalah yang nantinya akan membuat Gesha dan Bara menegurnya. Hera mundur selangkah, kakinya berhenti. Kini tubuhnya mematung, sampai kapan Hera akan mendapatkan perlakukan dingin seperti ini? Gerald bangkit dari rebahnnya dn duduk di tepi ranjang. "Pernikahan kita, hanya dalam goresan tinta, jadi gak usah terlalu peduli padaku, bersikap biasa saja dan anggap kita tak saling kenal, karena sejatinya kita hanyalah orang asing yang terjebak dalam pernikahan ini." Bara melirik Hera yang tampaknya terkejut dengan penuturannya. Reaksinya sungguh berlebihan dengan butiran air mata yang membasahi pipinya. "Aku sangat berterima kasih, kau telah menyelamatkan Papa. Namun, aku tak bisa berpura-pura menjadi suami yang baik, untuk wanita yang tak kucintai, terlebih kita sama sekali tak saling kenal," Gerald berdiri, berjalan menghampiri Hera. "Jadi, jangan sok menjadi istri yang nyatanya kau tak mampu melakukan itu, anggap ini kamar yang kau tempati sendiri." bisik Gerald tepat di telinga. Hera. Lalu ia pergi, meninggalkan istrinya yang masih diam mematung tanpa sepatah kata terucap. Suasana kamar itu menjadi semakin hening setelah kepergian Gerald. Hera masih berdiri di tempat yang sama, merasakan dinginnya kata-kata suaminya yang masih menggema di telinganya. Hatinya terasa berat dan matanya yang basah tidak bisa menahan aliran air mata yang terus mengalir. Hera merasakan kelelahan yang mendalam, bukan hanya karena tubuhnya yang letih, tetapi juga karena hatinya yang terluka. Semua perjuangannya untuk menyelamatkan keluarganya tampak sia-sia di hadapan sikap dingin Gerald. Kemudian tangannya meraba nakas, mencari benda pipih miliknya. Panggilan darurat, Hera menekan nomor 1 dan panggilan lantas tertuju pada Gesha. "Mom, tolong urus perceraianku." ucapnya tegas yang berusaha menutupi tangisnya. Gesha di seberang sanapun terkejut, "Apa yang terjadi sayang?" tanya Gesha dengan mengepal tangannya. "Aku hanya ingin bercerai Mom," "Tapi sayang ..." ucap Gesha, dn Hera memutus sambungan teleponnya sepihak. Tak terasa kini siang berganti malam, namun Gerald sama sekali tak kembali. Dengan langkah berat, Hera beranjak menuju jendela, memandang keluar dengan harapan menemukan secercah kedamaian di tengah kegelapan malam. Di luar, bulan purnama bersinar terang, seolah mengingatkannya bahwa dalam kegelapan pun selalu ada cahaya. Hera menyeka air matanya, mencoba menguatkan diri. Dalam hatinya, ia berjanji akan tetap bertahan dan mencari jalan untuk merubah keadaan, demi keluarganya dan dirinya sendiri. Perlahan, ia menutup jendela dan kembali ke tempat tidur, berusaha untuk tidur walau pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Gerald. Malam itu, Hera berdoa agar suatu hari nanti, cinta dan kebahagiaan bisa menyinari hidupnya. Malam itu terasa panjang bagi Hera. Meskipun tubuhnya terbaring di tempat tidur, pikirannya terus berkelana. Setiap kalimat yang dilontarkan Gerald seperti pisau yang menggores hatinya. Pagi harinya, sinar matahari mulai menyusup melalui celah tirai, menandakan dimulainya hari baru. Hera memutuskan untuk bangkit, menepis sisa-sisa kepedihan yang masih melekat. Dengan tekad baru, ia beranjak dari tempat tidur dan bersiap menghadapi hari. "Apa Nyonya baik-baik saja?" tanya seorang pelayan dengan suara pelan. Hera tersenyum, mencoba menenangkan kekhawatiran "Aku baik, Bik." Beberapa hari berlalu, Hera mulai mencari cara untuk mendekati Gerald. Suatu malam, ketika Gerald pulang lebih awal dari biasanya, Hera melihat ini sebagai kesempatan. "Gerald, bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya dengan hati-hati. Gerald berhenti sejenak, menatap Hera dengan pandangan datar. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" suaranya terdengar lelah. Hera mengambil napas dalam-dalam. "Aku tahu kita tidak memulai pernikahan ini dengan cara yang ideal, tapi aku ingin kita bisa mencoba untuk lebih memahami satu sama lain. Aku ingin kita bisa hidup dengan damai," Gerald tidak segera menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, merenung. "Aku... Maafkan aku, aku tak bisa." Hera mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. "Aku mengerti. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku siap untuk mencoba. Aku akan selalu ada di sini jika kau mau berbicara." Gerald pergi begitu saja, setelah mendengar ucapan istrinya. Ditempat lain, Feli masih menunggu kehadiran kekasihnya yang jauh di mata namun dekat di hati. Di tengah kesepiannya, ia mulai memikirkan cara untuk bisa kembali ke Indonesia dan membuat gebrakan yang akan mengguncang Gesha, ibu yang telah membuangnya demi kebahagiaan Hera, kakaknya. Dengan tekad bulat, Feli diam-diam terbang ke Indonesia. Begitu tiba, ia langsung menuju ke kantor keluarga, tempat di mana Gesha sering menghabiskan waktunya. Tanpa banyak basa-basi, Feli memasuki ruangan kantor Gesha dan duduk di kursi kebanggaan ibunya itu. Sambil menyilangkan kaki, ia tersenyum mengejek, menunggu kedatangan Gesha. Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dan Gesha masuk. Ia terkejut melihat Feli di sana, duduk dengan angkuhnya di kursi kebesarannya. "Feli? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Gesha dengan nada tajam. Feli berdiri, masih dengan senyum sinis di wajahnya. "Apa kabar, Mom? Sudah lama tidak bertemu," jawabnya dengan nada yang dingin. "Aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku." Gesha menatap Feli dengan campuran rasa marah dan cemas. "Kamu tidak bisa datang ke sini dan bertindak seolah-olah ini semua milikmu. Kau harusnya sadar, bahwa Hera lebih membutuhkan semua ini." Feli mendekati Gesha, wajahnya semakin serius. "Itu alasan kau membuangku, Mom? Kenapa kau selalu lebih memilih Hera? Sekarang, aku di sini untuk membuktikan bahwa aku bisa lebih baik darinya. Aku akan mengambil apa yang harusnya menjadi milikku Mom, dan menunjukkan bahwa kau salah telah meremehkan ku." Gesha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Ini bukan cara yang benar, Feli. Kita bisa bicara dan mencari solusi bersama." Feli menggeleng. "Kau tak bisa bernegosiasi denganku Mom, bukankah saat itu kau tak mengizinkanku untuk berucap, kau dengan mudahnya membuangku. Aku sudah memutuskan. Jika kau menolak, maka bersiaplah untuk melihat semuanya hancur, terutama anak tersayangmu itu Mom." Gesha tidak punya pilihan selain menyadari bahwa Feli benar-benar serius. Ia tahu Feli memiliki kemampuan dan tekad yang kuat. Pertarungan keluarga ini baru saja dimulai, dan Gesha harus mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Feli berdiri tegak, sorot matanya penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Mom, ingat itu dan ini bukan hanya sekedar ancaman." Gesha menatap Feli dengan amarah yang memuncak. "Durhaka kau, ingat Feli. Hera itu kakakmu, dan saat ini dia buta. Apa pantas kau melakukan ini padanya?" amuk Gesha, suaranya bergetar. Feli tidak bergeming. "Kau yang memulai ini, Mom, dan aku hanya mengikuti alurnya saja," jawabnya dengan tenang namun penuh penekanan. Gesha menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. "Feli, ini bukan cara yang benar untuk menyelesaikan masalah. Kita keluarga, dan keluarga seharusnya saling mendukung, bukan menghancurkan satu sama lain." Feli tertawa sinis. "Keluarga? Sejak kapan kau menganggapku bagian dari keluarga ini? Kau selalu lebih memilih Hera. Sekarang, aku hanya berusaha mengambil apa yang sudah seharusnya menjadi milikku." Gesha menatap Feli dengan rasa sakit yang terpancar di matanya. "Feli, aku tahu, aku telah membuat kesalahan. Tapi, membalas dendam tidak akan membawa kita ke mana-mana. Mari kita bicarakan ini dan temukan jalan keluar bersama." Feli menggeleng. "Sudah terlambat untuk bicara, Mom. Aku sudah memutuskan. Mulai detik ini aku akan kembali dan bersiaplah melihat kehancuran anak kesayanganmu Mom." Gesha tahu bahwa Feli benar-benar serius. Pertarungan ini tentang luka dan rasa sakit yang telah terpendam begitu lama. Ia harus menemukan cara untuk meredakan ketegangan ini sebelum semuanya benar-benar hancur. Sambil menatap putrinya, Gesha berkata dengan nada lembut namun tegas, "Feli, aku akan mencoba memperbaiki kesalahan yang telah aku buat. Tapi, tolong, jangan biarkan kebencian menghancurkan kita semua. Kita bisa mulai lagi, bersama." Feli menatap ibunya dengan ekspresi campuran antara kemarahan dan keraguan. "Kita lihat saja nanti, Mom. Kita lihat saja." Tanpa mengatakan apapun lagi, Feli berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan Gesha yang berdiri dengan perasaan campur aduk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD