Chapter 7

1137 Words
Nafisah masih saja menatap Danish yang kini bersama Diyah duduk sambil memegang es cream di tangan mereka. Tak hanya itu, tatapan Nafisah juga kembali ke arah Irsyad yang masih memperhatikan keponakannya di area permainan. Seketika Nafisah teringat ucapan Irsyad beberapa menit yang lalu. Minggu depan pria itu akan berkunjung ke rumahnya, apakah Irsyad ingin melamarnya? "Mau nanya, tapi malu." ucap Nafisah dengan sendirinya. "Em, nggak. Jangan mengharap lebih. Takutnya nanti kecewa." "Tante Nafisah!" Nafisah menoleh ke asal suara. Diyah memanggilnya. Setelah itu, Nafisah memilih mengabaikan sekelebat isi pemikirannya dan mendatangi Diyah. "Iya, sayang ada apa?" tanya Nafisah dengan senyuman ramahnya. "Tadi Papa belikan Diyah ini loh." Diyah memperlihatkan sebuah tas belanja berisi mukena baru seukuran dengannya lengkap bersama tasbih cantik. Nafisah tersenyum tipis, sembari mengusap kepala Diyah. "Masya Allah, mukenanya bagus sekali. Harus dipakai ya, karena sholat 5 waktu adalah perintah Allah yang wajib di laksanakan." "Iya Tante. Alhamdulillah, dari dulu Mama sudah mengajari Diyah sholat dan mengaji." Nafisah merasa bangga, ternyata almarhumah sahabatnya itu mendidik putrinya dengan baik. Bahkan secara tidak langsung, menjadi motivasi untuknya jika suatu saat sudah menikah dan memiliki anak. Setelah itu, dengan penuh kasih sayang Danish malah mengelap sisa es cream yang belepotan di sekitar bibir Diyah. "Alina, dia suamimu yang hebat. Dia terlihat tersenyum seolah-olah tanpa beban. Tapi aku sangat mengerti, sebenarnya hatinya begitu terluka karena kepergianmu. Begitupun denganku."sela Nafisah dalam hati. Lalu Nafisah menatap tas slinbag yang ia pegang saat ini. Sebuah tas yang menjadi kenangannya bersama Alina. Sebuah tas slinbag yang ia beli dengan warna dan rupa yang sama karena saat itu ia dan Alina tertarik dengan harganya yang di diskon besar-besaran. "Bunda, Dari tadi Rara cari Bunda. Ternyata Bunda disini." Tiba-tiba Rara datang bersama Irsyad. Buru-buru Nafisah menghapus air mata yang sempat menggenang di kedua matanya. Ia pun menoleh kearah Rara. "Iya sayang, Bunda disini. Oh iya, Rara haus? Rara mau minum apa?" tanya Nafisah begitu saja. "Rara mau s**u kotak rasa coklat di minimarket." "Ayo, kita ke minimarket." Nafisah menatap Irsyad. "Mas, izin ajak Rara ke minimarket ya." "Iya, hati-hati. Aku akan tunggu disini." Nafisah tersenyum. Ia pun segera memegang pergelangan tangan Rara menuju minimarket. Dan lagi, dari jarak beberapa meter, tanpa sengaja Danish menatap Rara dan Nafisah. "Kenapa dari belakang dia sangat mirip dengan Alina?" sela Danish dalam hati dengan perasaan berkecamuk. "Tak hanya itu, kebaikannya, perhatiannya, kasih sayangnya dengan Diyah, mengingatkanku pada Alina." Tiba-tiba ponsel Danish berdering. Ia pun menerima panggilan dari Aminah. Di sisi lain, Irsyad lagi-lagi merasakan cemburu di dalam hatinya ketika melihat Danish memperhatikan Nafisah walaupun hanya beberapa detik. "Assalamualaikum, ya Ma?" "Wa'alaikumussalam. Danish.." isak Aminah dengan getir. Seketika Danish panik. "Mama, semuanya baik-baik saja kan?" "Nak, Mama mohon cepat pulang ke sini. Papa kamu sakit, tiba-tiba Papa ngedrop." Danish mencengrkam erat ponselnya. Jantungnya sudah deg-degan tidak karuan. Wajahnya pun juga mulai pucat. "Iya, aku pulang sekarang. Assalam'alaikum," "Wa'alaikumusallam." Tanpa membuang waktu lagi, Danish pun segera memutuskan panggilannya. Saat ini, kondisi orang tuanya lebih penting daripada urusan hatinya.. ❤❤❤❤ Dengan cepat Danish segera menuju rumah sakit bersama Diyah. Sesampainya disana, hatinya begitu terluka. Seorang Ayah yang ia cintai kini terbaring lemah di ruangan UGD dan alat impus sudah terpasang di punggung tangannya. "Mama, bagaimana keadaaan Papa?" "Papa kamu benar-benar drop. Sepertinya kelelahan setelah perjalanan kemari dari kota balikpapan." "Kalau Papa mudah sakit, kenapa harus ikut Ma? Kan aku sudah bilang lebih baik Papa dirumah." "Papa kamu nggak mau sendirian." ucap Aminah sedih. "Katanya Papa kamu ingin liburan kesini bersama Diyah." "Iya, Ma, aku ngerti. Tapi, dengan semua kejadian ini, apakah nggak ngerepotin Mama mertua aku?" "Justru mereka malah kasihan dan tolong Papa dengan cepat. Walaupun Alina sudah tiada, tapi kebaikan keluarganya masih begitu besar buat kita. Setelah Papa membaik, kita akan pulang ke rumah kita." Danish hanya mengangguk. Ya, itu lebih baik. Toh juga urusan pribadinya bersama Nafisah tidak ada kelanjutan lagi, kan? Sudah jelas wanita itu akan bersama Irsyad. Keduanya sama-sama saling mencintai. Itu akan lebih baik ketimbang ia dan Nafisah yang malah tidak saling mengenal bahkan hanya dua orang asing yang di saling di pertemukan. Pintu terbuka lebar, Danish dan Aminah menoleh kearah pintu. Nafisah datang dengan raut wajah khawatir. Buru-buru Danish memilih keluar dengan cepat. "Bagaimana keadaan Om, Tante?" "Seperti yang kamu lihat. Lagi-lagi kondisinya menurun." "Saya turut bersedih Tante. Tante yang sabar ya," "Terima kasih, nak. Kamu adalah salah satu wanita yang secara perlahan membuat Tante sedikit tenang. Dulu Alina juga begini bila kami sekeluarga mengalami suatu masalah. Dengan perhatiannya dia berusaha menenangkan hati Tante yang mudah panik dan khawatir. Tante benar-benar menyayangi kalian." Nafisah meraih tisu didekatnya, ucapan Aminah barusan membuat hatinya tersentuh dan merindukan almarhumah sahabatnya disaat yang sama. "Tante sungguh kasihan dengan Papanya Diyah, dia kerja siang malam seperti tidak mengenal kata lelah demi menghidupi ekonomi dirumah kami. Apalagi Kakeknya Diyah, sudah dua kali masuk rumah sakit dalam waktu sebulan ini." "Kalau boleh tahu, Om Mahmud sakit apa ya, Tan?" "Sudah setahun, Om Mahmud sakit komplikasi. Berawal dari diabetes 3 tahun yang lalu, hingga tahun kemarin setelah Alina meninggal, Dokter menyatakan hasil rekam medis Om Mahmud, dia mengalami komplikasi jantung koroner hingga membuat kondisinya kadang tidak stabil." suara helaan nafas Aminah terdengar. "Ya, beginilah keadaan keluarga kami, nak Fisah, adanya sosok Diyah juga menambahkan warna dan keceriaan di keluarga kami. Mendapati kabar bahwa Diyah di culik membuat kami semua terpukul. Saya cuma bisa berharap semoga suatu saat Papanya Diyah segera menemukan calon istri yang baik. Yang sayang dan mau nerima Diyah seutuhnya. Putra Tante itu tidak bisa selamanya terus bekerja siang sementara putrinya itu membutuhkan Papanya." Seketika Nafisah terdiam. Ia teringat suami almarhumah Alina yang sempat ia lihat di salah satu Mall ketika pria itu berbincang dengan Irsyad. Dugaannya benar, suami almarhumah sahabatnya itu memang terlihat baik-baik saja, tapi sebenarnya, hati pria itu terluka. "Nak Fisah?" "Ya, Tan?" "Sudah beberapa bulan ini, Tante ingin membicarakan hal ini padamu. Mungkin sekarang adalah saatnya." "Em, soal apa ya,?" "Jika Tante menginginkanmu sebagai Ibu buat Diyah, apakah nak Fisah bersedia? Sungguh, hanya nak Fisah yang benar-benar bisa menyayangi Diyah melebihi wanita manapun selain Alina." DEG! Nafisah terbungkam. Ucapan Aminah barusan membuatnya sedikit syok. Bayangan menjadi sosok yang paling dekat dengan Diyah memang sudah melekat di hatinya jauh ketika gadis kecil itu baru saja lahir ketika ia menjenguknya beberapa jam setelah Alina melahirkan. Tapi dengan Danish, pria berstatus duda dan tak pernah ia pikirkan sama sekali dalam hidupnya itu, apalagi untuk urusan hati, apakah ia bisa menjalankan sebuah rumah tangga bersama seseorang tanpa adanya cinta? Untuk urusan Danish, tentu saja itu bukan perkara mudah bagi Nafisah. "Itu hanya harapan Tante, nak. Jangan terlalu di pikir kan, biar bagaimanapun, semua terserah pada nak Fisah." ucap Aminah lagi hingga membuat Nafisah dilema. Seketika bayangan wajah Diyah yang ceria membayang di pikirannya bersamaan dengan wajah Danish yang terasa asing baginya. ❤❤❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD