• KAMAR 10 •

1094 Words
Golden High, 10:00 pm. Sudah menjadi peraturan umum jika seluruh lampu di asrama Golden High akan dimatikan saat pukul sepuluh malam. Dan para petinggi akan memeriksa seluruh siswa--pada saat itu--untuk memastikan mereka sudah berada di kamar masing-masing. Dan setelah memastikan para petinggi itu sudah selesai melakukan pekerjaannya, disaat itulah Alicia dan Brittany mengendap-ngendap keluar dari kamar mereka. "Astaga, apa kita benar-benar harus melakukan ini?" bisik Brittany gugup. Alicia menoleh, "Tenanglah, kita pasti bisa melakukannya," katanya pelan. Brittany bergidik ngeri. Selain karena lorong sudah cukup gelap, juga perasaan was-was akan takut tertangkap oleh petinggi terbesit di benaknya. "Bagaimana jika kita tertangkap, Alicia?" bisiknya lagi. Alicia menatapnya serius. "Percaya kepadaku. Kita pasti bisa melakukannya." Brittany kemudian membulatkan tekad dan melanjutkan misi rahasia yang sudah direncanakan Ace sebelumnya. Kedua gadis itu pun berjinjit waspada menuju kamar Ace, yang terletak di kamar 017. Pandangan Alicia serta Brittany mendadak tajam saat mengawasi keadaan sekitar. Dan begitu sampai, Brittany langsung mengetuk kamar Ace beberapa kali. "Ace, cepat buka!" kata Britt setengah berbisik. Dan tak lama setelahnya, pintu kamar Ace pun terbuka. Menampilkan sosok lelaki bertubuh proposional yang hanya menggunakan kaus tidur dan celana pendek selutut berwarna merah. Ia tersenyum hangat saat matanya menemukan Alicia di ambang pintu. "Alicia," sapanya ramah. "Kau berhasil!" Brittany mencebik, "Halah, nanti saja berbasa basinya," dan mendorong tubuh Ace yang menghalangi akses masuk seenaknya. "Minggir!" Gadis berambut pirang itu langsung membulatkan mata sesampainya di dalam kamar. Menatap takjub isi kamar Ace--si anak pemilik asrama--di hadapannya. Tampaknya, Ace mendapat perlakukan spesial disini. Kasur yang lebih besar, pendingin ruangan modern, ruang belajar sendiri, sampai TV super canggih yang menempel di dinding. Ace berdeham, "Kau menghalangi kami, Britt." "Oh, sial!" Britt yang tersadar dari lamunannya, segera bergeser dan mendekati kasur Ace. Tubuhnya yang sintal kemudian duduk di tepi kasur tanpa permisi. "Mereka benar-benar memanjakanmu, rupanya," katanya sarkastik. Brittany memutar pandangannya ke seluruh ruangan dan perhatiannya tertarik pada sesuatu di atas nakas. Sebuah laptop super mahal milik Ace tengah tergeletak disana. Ia memekik antusias dan mengambilnya, "Astaga! Ini HP Voodoo Envy keluaran terbaru!" dan berdecak kagum. "Kau pasti menghabiskan banyak uang untuk ini, hm?" Ace menyeringai tipis dan mengangkat dagunya sombong. "Ah, bukan masalah besar untukku." lalu tubuh jangkungnya berjalan mendekati kulkas modern di sudut kamar dan mengambil sekaleng soda dari sana. "Aku tahu mengendap-ngendap itu melelahkan," ucap Ace, saat melempar kaleng soda tersebut ke arah Alicia. Alicia yang tengah bergeming di balik pintu, terkesiap dan bersikap sigap menangkap kaleng tersebut. "Gadis pintar!" Brittany mendongak. Ia melihat tatapan--menjijikan--dari mata Ace tertuju kepada sahabatnya itu dan itu sangat mengganggunya. "Bagus sekali. Kau bisa menganggapku seekor nyamuk atau semacamnya sekarang," kata Britt sarkastik. "Omong - omong, dimana Luke?" Tok... Tok... Tok... Suara ketukan pintu kamar Ace yang terdengar keras, membuat Brittany dan Alicia menoleh waspada. Mereka bertukar pandang sebelum akhirnya sepakat bersembunyi di sisi ranjang Ace. Mereka merendah dan mendengar langkah Ace yang perlahan menjauhi kasur dengan seksama. Ace dengan hati-hati mendekati daun pintu yang terus diketuk dari luar. Sesekali ketukan pintu itu terdengar memaksa dan mendesak. Memburu siapapun yang ada di dalam kamar untuk segera keluar menghadapinya. Lelaki berambut undercut itu menarik napas pendek sebelum memberanikan diri membuka pintu kamarnya sendiri. Ia kemudian melihat Luke berdiri di hadapannya. Tidak, Luke tidak berdiri sendiri. Ia tertunduk takut di samping detektif Nicholas, saat Ace membuka pintunya. Ace melihat Nicholas lalu Luke bergantian. "Kenapa kalian berdiri di depan kamarku?" tanyanya retoris. Luke mendesah pasrah dan melirik Ace ragu. "Dia sudah mengetahui semuanya, Ace." Ace menyilang kedua tangannya di d**a. "Sekarang apa?" nada suaranya terdengar pasrah dan kesal di waktu yang bersamaan. Ingin sekali lelaki berambut undercut itu memaki Luke karena kecerobohannya. Tapi jika dipikir lagi, semua itu tidak ada gunanya. Nicholas menaikkan satu alisnya. "Menurutmu?" Dan dengan satu dengusan kesal, Ace mengakhiri basa basi ini. Ia membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Memberikan akses penuh untuk tamu yang tak pernah diundangnya itu. Ace lalu buru-buru menutup pintu kamarnya kembali, sebelum ada orang lain yang curiga. Nicholas berjalan memasuki kamar Ace dan matanya berkeliling penasaran. Ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, selain sisi ranjang Ace yang bergerak pelan. Nicholas lalu terkekeh pelan dan berseru, "Aku tahu kalian disana." Alicia dan Brittany yang merasa sudah tertangkap basah hanya bisa pasrah dan pelan-pelan keluar dari persembunyian mereka. Keduanya hanya menatap para lelaki di ruangan itu canggung. Terutama saat mereka berhadapan dengan Nicholas.  Nicholas kemudian duduk di tepi kasur dan merogoh ponselnya dari saku celana. Ia menatap layar yang menampilkan sebuah E-memo saksama. "Jika yang dikatakan Luke, mengenai keterlibatan James dengan bandar n*****a adalah benar. Maka kemungkinan besar, pelaku pembunuhan James dan Elena adalah orang yang sama," kata Nicholas tiba-tiba. Ace mendekat dan memicing curiga. "Tunggu dulu, apa maksudmu James berhubungan dengan bandar n*****a?" Alicia dan Brittany ikut menatap Nicholas penasaran. Setelahnya, Britt menyela, "Nic, kekasihku tidak mungkin menyentuh barang kotor itu," dengan suara sedikit bergetar. Luke beringsut maju dan menarik perhatian semua orang di ruangan itu. "Mungkin ini waktunya kau mengetahui semuanya, Britt." ia menunduk sejenak dan menghela napas berat, sebelum kembali mendongak dan menatap lurus mata Brittany. "Di hari kematiannya, aku memang meninggalkan hall untuk bermain di kamar Ace. Aku melihatnya tengah berbicara dengan seseorang di telpon." Luke berjalan menuju kasur Ace dan duduk di sebelah Nicholas. "Aku berniat menghampirinya, sampai tiba-tiba kudengar James bilang akan membayar seluruh kokain pesanannya jika sudah memiliki uang." Ace memicingkan matanya curiga, "Pantas saja hari itu dia memaksaku untuk meminjamkannya uang," ia mengangguk-nganggukan kepalanya. "Kenapa kau tidak pernah bilang kepadaku, Luke?!" Ace lalu memukul lengan Luke yang berada di depannya. Luke hanya menggaruk tengkuk lehernya kikuk. "Aku hanya mengatakan ini semua kepada Detektif Nicholas saat berada di hall, tapi kurasa kalian memang perlu tahu kebenarannya." Luke menatap mereka bergantian. "Saat James pergi meninggalkan lorong 001, aku melihat Elena juga keluar dari lorong 001." Nicholas menoleh. "Elena?" Luke mengangguk. "Ya. Aku ingin keluar dari persembunyianku dan menyapanya. Tapi wajahnya sangat pucat dan ia terlihat buru-buru." Luke mendesah pelan. "Mereka berdua seperti sedang diikuti seseorang atau semacamnya," katanya ragu. "Mereka terlihat ketakutan." Brittany yang sedaritadi hanya diam, tiba-tiba meneteskan air matanya. "James... Tidak mungkin seperti itu," katanya sedih. "Aku, aku tahu betul dia orang seperti apa. Aku... Aku yakin." Brittany menutup mulutnya dan mulai menangis lebih keras. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Alicia dan menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Alicia. "Aku tahu James tidak mungkin melakukannya, Alicia," bisiknya. Semua orang kini menatap Brittany iba. Seberapa buruknya sikap dan perlakuan James terhadap semua orang, dia tetaplah seseorang yang berarti bagi Brittany. Alicia mendesah pelan dan berbisik, "Aku percaya kepadamu." dan melonggarkan pelukan mereka. Alicia menatap kedua mata Brittany intens. . . . "Jadi, mari kita temukan pelakunya dan buktikan bahwa James tidak bersalah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD