• KAMAR 09 •

1081 Words
Golden High, 11:30 am. Laporan kepolisian kota New york. 1. James portman (L), 17 tahun, ditemukan tak bernyawa di lorong utama asrama Golden High pada pukul 10:00 pagi. Korban dinyatakan meninggal akibat pembuluh darah krotis tersumbat karena tercekik dan pendarahan akibat luka tusuk di rongga d**a korban. Pelaku : Belum teridentifikasi. Motif : Pembunuhan berencana akibat dendam pribadi. 2. Elena Sanders (P), 17 tahun, ditemukan tak bernyawa di cafetaria Golden High pada pukul 10:00 pagi. Korban dinyatakan meninggal akibat gagal jantung setelah meminum zat sianida di dalam kopinya. Pelaku : Belum teridentifikasi. Motif : Pembunuhan berencana akibat dendam pribadi. "Sudah selesai?" Nicholas melipat kedua tangannya di d**a dan menjatuhkan bokongnya di pinggiran meja berwarna putih di ruangan tersebut. Nicholas akhirnya memutuskan untuk mengundur interogasi perihal kematian Elena karena beberapa hal. Pertama, ia ingin lebih dulu memastikan visum luar dan hasil otopsi dari pihak forensik terkait kematian Elena yang sebenarnya. Kedua, ia membutuhkan informasi mendetail dari Alicia yang (kebetulan) bertugas menjadi mata - matanya di Golden High. Alicia kemudian mendongak. "Mereka meninggal di waktu yang sama." Lalu sejurus kemudian, tangannya yang berbalut banyak gelang suede meletakkan lembaran kertas laporan itu ke atas meja. "Apa kau melihat ada sesuatu yang mencurigakan sebelum Elena meninggal?" Nicholas kemudian bangkit dan berjalan ke kursinya--di sebrang Alicia. Sementara pria tua kaya raya bernama Wilson Blake tengah sibuk menjawab ribuan pertanyaan dari media, Nicholas memutuskan untuk meminjam ruangannya dan CEO itu mengizinkannya atas dasar membantu proses penyelidikan kepolisian. Alicia lalu mengetuk - ngetuk permukaan meja dengan gusar. "Aku mendengar mereka membicarakan jepit rambut perak," katanya dengan hati - hati. Nicholas menaikkan satu alisnya. "Maksudmu, Elena dan kedua temannya membicarakan barang bukti kita yang hilang?" Alicia mengangguk yakin. "Kudengar Elena juga merasa tidak keberatan jika James mati." Ia bersedekap. "Aku sangat mencurigainya sebagai pelaku pembunuhan James pada awalnya." Nicholas menyilang kedua tangannya di d**a dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Bagaimana kau bisa seyakin itu, Alicia?" "Karena dia..." SRAK.. Suara pintu bergeser di ruangan CEO menandakan seseorang telah--dengan berani--membukanya. Nicholas dan Alicia sontak menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seorang laki - laki dengan varsity putih berdiri di gawang pintu. Dia adalah Ace, yang kini berdiri menghalangi akses pintu dengan seringaian puasnya. Ia bahkan terlihat biasa saja, setelah dengan tanpa izin membuka ruangan tersebut. Nicholas refleks bangkit dari kursinya. "HEY! Kau tidak bisa seenaknya masuk ke ruangan ini!" katanya dengan nada kesal. Lelaki yang berprofesi sebagai detektif itupun segera menghalau Ace untuk masuk dan berusaha mendorongnya keluar dengan kedua tangannya sendiri. "Cepat, keluar!" Ace mencebik dan terjadilah aksi saling dorong di antara mereka. "Ayolah, ini ruangan ayahku," hardiknya. "Lagipula, aku kesini untuk membawakan informasi untukmu." Nicholas sontak menghentikan gerakannya dan memicingkan mata curiga. "Informasi?" Lelaki bermata hazel itu lalu tersenyum kecil dan mengangguk mengiyakan. Ia berhasil menarik perhatian Nicholas. "Mungkin ini bisa membawamu menemukan pelakunya," katanya. Dan tanpa aba - aba, tubuh semampainya meleos melewati Nicholas dan masuk ke dalam ruangan. "Tapi aku tidak akan memberikan informasi ini secara cuma - cuma, detektif." lalu duduk tepat di sebelah Alicia. "Halo, rambut abu. Bagaimana keadaanmu?" sapa Ace ramah, yang hanya dibalas dengusan tak senang dari Alicia. Nicholas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan mendekati Ace. "Cepat katakan informasi itu dan keluar dari ruangan ini," katanya penuh penekanan. Ace mengedikkan kedua bahunya acuh. "Kau ini ternyata agresif dan terburu - buru sekali ya, detektif," ujarnya sarkastik. "Aku akan mengajukan satu pertanyaan dan kau harus menjawabnya dengan jujur." Nicholas memutar kedua bola matanya malas. "Aku tidak punya banyak waktu." kemudian menggebrak permukaan meja di hadapannya kesal. "Cepat katakan apa maumu!" Sejujurnya, Nicholas bisa saja langsung menendang keluar bocah ini dari ruangan, kalau ia tidak mengatakan memiliki informasi penting yang berhubungan dengan pelaku. Maklum, setelah dua korban jatuh di asrama, Wilson Blake terus mendesaknya untuk sesegera mungkin menyelesaikan tugasnya sebagai seorang detektif. Dan Nicholas mulai merasa tertekan dengan hal tersebut sekarang. Ace terkekeh geli lalu menunjuk Alicia dengan dagunya. "Apa kau dan rambut abu ini memiliki hubungan spesial?" Alicia mengernyitkan kening. "Apa katamu?!" lalu melihat Nicholas--yang menampilkan ekspresi sama dengannya--sebelum kembali beralih kepada Ace. "Kau gila, ya?" Ace tidak menggubris pertanyaan Alicia yang lebih terdengar seperti hinaan dan tetap menatap lurus ke arah Nicholas di kursinya. "Bagaimana, detektif?" Detektif Nicholas membulatkan matanya sesaat sebelum akhirnya menghela napas dan melirik Alicia sendu. "Kami tidak memiliki hubungan, tetapi..." ia menjeda kalimatnya dan mencondongkan tubuhnya ke arah Ace. "Jika kau mengganggunya, kau akan berurusan denganku." Ace mengerutkan dahinya dalam. "Apa kau sedang mengancamku?" "Kau hanya memiliki satu jatah pertanyaan, Blake." Nicholas menyilang kedua tangannya di d**a. "Sekarang bersikap jantanlah dan berikan informasinya," katanya setengah mendesak. Ace melirik Alicia sebelum akhirnya dengan berat hati menyerahkan selembar kertas yang sedaritadi disimpannya di saku varsity kepada Nicholas. "Aku menemukan ini saat petugas mengangkat tubuh Elena." Ace mengangkat kedua bahunya acuh. "Terjatuh dari kantung belakang celana jeansnya." Nicholas mengangkat kedua alisnya tinggi - tinggi. "Ini catatan pembelian sianida!" serunya tak percaya. Lalu manik hitam itu mendongak ke arah Ace. "Elena memesan racun untuk dirinya sendiri? Kau pasti bergurau!" Alicia menyela. "Boleh aku melihatnya detektif?" Nicholas memberikan lembaran kertas itu kepada Alicia. Sementara Ace sengaja menggeser sedikit kursinya mendekati Alicia. "Kupikir itu hanya resep obat biasa karena aku tidak mengerti arti HCN yang tertera disana." Nicholas menyemburkan napas kesal dan bangkit dari kursinya. "INI ADALAH BARANG BUKTI DAN KAU MALAH MENINGGALKAN SIDIK JARIMU DISANA!" lalu menunjuk wajah Ace geram. "Kenapa kau ini bodoh sekali, huh?!" "HEY!" pekik Ace tak terima. "Kau ini tidak tahu terima kasih sekali ya, detektif." lalu tubuh jenjangnya bangkit dan menepis tangan Nicholas yang menunjuk wajahnya. "Kau kan bisa melindungi jarimu dengan plastik atau apapun agar tidak menghalangi sidik jari pelaku!" ujar Nicholas masih berapi - api. "Kau ini benar - benar bodoh ya!" "Kau tidak bisa menyebutku bodoh seperti itu!" kata Ace tak kalah ketus. "Aku sudah berusaha membantu!" Alicia lalu bangkit dan menggebrak meja. "BISAKAH KALIAN DIAM?!" netra birunya melihat Ace dan Nicholas bergantian. "Pelaku memang sengaja mempermainkan kita dengan meninggalkan barang bukti di kantung celana Elena, agar sidik jarinya berbaur dengan sidik jari Elena." katanya menengahi. "Kalaupun kita memeriksanya, pasti hanya ada sidik jari Elena dan Ace disana." Ace menarik napas pelan. "Lalu bagaimana sekarang?" Alicia membalik kertas tersebut dan memperlihatkannya kepada dua lelaki tersebut. "Mereka menjualnya di situs online." "Lalu apa?" tanya Nicholas. "Kau mau mencoba memesannya untuk membunuh bocah ini?" ia mendelik sinis kepada Ace. "Jaga bicaramu!" balas Ace ketus. Alicia mendengus kesal. "Bisakah kalian hentikan itu sekarang juga?" lalu menatap kertas tersebut lekat - lekat. . . . "Karena aku membutuhkan bantuan kalian untuk membobol situs ini dan menemukan pelakunya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD