**
Pagi kelima yang ceria bagi keluarga Gandi Subroto. Sekarang mereka telah memiliki menantu walaupun itu entah sampai kapan. Setidaknya saat ini dalam keluarga mereka bertambah satu orang lagi meskipun sekarang masih ada yang kurang karena putra sulung dan putrinya sedang tidak berada di rumah. Tapi itu tidak terlalu menjadi masalah karena mereka terbiasa tanpa Alpa di sisi mereka. Sedangkan anak gadis mereka tentu tidak akan mungkin bisa diharapkan karena dia sudah menikah dan tinggal diluar negeri.
Orangtua Rea dan orangtua Karla sudah kembali ke desa sejak hari kedua Rea menjadi menantu dirumah ini, sedangkan saudara-saudaranya juga sudah pulang kerumah masing-masing.
“Sayang sekali Alpa tidak ada disini,” Gandi berucap. Ia sedikit memaksakan senyumnya pada semua orang yang ada dimeja makan. Memang benar mereka terbiasa tanpa Alpa tapi rasanya akan lebih menyenangkan jika anak sulungnya itu berada dirumah sekarang.
“Alpa Kagandio. Aku mengingat wajahnya.” Hati Rea berbisik. Iya benar, dia pernah menyukai lelaki yang bernama Alpa, dulu sekali sebelum ia mengenal Fahri.
“Apa lelaki itu masih seperti dulu? Cukup keren.” Tampak senyum miring menghiasi raut wajahnya.
Disaat yang sama Danis sibuk memperhatikan istrinya. Ia tahu betul apa yang membuat perempuan itu mendadak tersenyum miring setelah mendengar ayahnya menyebut nama Alpa.
“Apa Yea masih menyukai kak Alpa?” kali ini Danis yang bertanya dalam hati. Entah darimana datangnya rasa kesal itu ada dalam hatinya. Tak rela dirinya melihat perempuannya memikirkan lelaki lain sementara ia ada disini. Danis juga sangat mengingat kejadian itu, dimana saat pertamakali Alpa bertemu dengan Rea, dan Rea bertemu dengannya.
FLASHBACK (Lima Tahun Yang Lalu)
Gadis yang kerap dipanggil Yea oleh keluarganya itu berlari menghampiri rumah besar di depannya. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan ketika sampai di dalam rumah itu tapi ibunya memaksa untuk tetap datang ke rumah itu.
“Pergilah kesana nanti ibu menyusulmu, Yea.” Ucap ibunya.
“Tapi bu apa yang harus Yea lakukan disana??” tanya gadis yang masih berumur 17 tahun itu.
Ibunya menggeleng, “Kamu tu ya, apa aja yang penting gak boleh duduk aja nak. Kerjakan apapun yang bisa kamu lakukan untuk mereka.” Ah mereka yang di sebut ibunya adalah keluarga besar nyonya Alenta beserta anak cucunya. Seperti biasa ibu Rea akan mengerahkan segala kemampuannya untuk membantu keluarga itu ketika mereka pulang kampung seperti ini. Kata ibunya itu untuk membalas jasa-jasa mereka karena terlalu sering membantu sejak ayahnya meninggal dunia. Dan pada akhirnya Rea tidak bisa melakukan apapun selain menurut setelah ibunya kembali berceramah panjang lebar.
“Baiklah bu. Yea berangkat.”
Dan sekarang disinilah dirinya berada. Di depan rumah besar yang tidak pernah sunyi selama hampir seminggu ini mengingat lebaran tinggal menghitung jam.
“Kak Yea.” Panggil bocah kecil itu. Suaranya serasa berada diatas Rea karena bocah itu berada di balkon yang terletak di lantai dua rumah itu. Rea mendongak, “Aris?” Rea menyebut nama anak kecil itu. Ia mengenal bocah itu dan tentu saja bocah itu juga mengenalnya. Hanya keluarga Aris yang sedikit dekat dengan Rea karena dulu ia sempat mengasuh anak kecil itu ketika mereka masih sekampung dengannya. Rea sebenarnya kagum karena adik kecil itu tidak melupakannya. Mengingat dulu Aris masih terlalu kecil untuk ia asuh. Tapi ia bersyukur karena sekarang setidaknya ia punya alasan untuk datang kesini tanpa harus bingung apa yang harus ia lakukan lagi, “Yess aku bisa bermain dengan Aris.” Kata hati gadis itu senang.
“Siapa dek?” seseorang bertanya pada Aris.
“Kakakku, kak Yea.” Jawab bocah itu dengan senyum bangga. Entah apa yang membuat lelaki itu melihat ke bawah dan mata mereka bertemu. Tanpa sadar Rea merasa sedikit aneh dan berdesir, begitu juga dengan lelaki itu.
“Kak Danis,” Suara milik anak perempuan yang entah siapa namanya itu berhasil membuat Rea dan lelaki bernama Danis itu berpaling ke sumber suara yang cukup dekat dari tempat Rea berdiri.
“Lala,” ucap lelaki yang bernama Danis itu. Saat Danis berniat kembali menatap Rea, gadis itu sudah menghilang. Sebenarnya bukan menghilang tetapi masuk ke dalam rumah karena seseorang memanggilnya. Dia Karla Subroto.
“Sini Rea. Kamu ngapain berdiri disitu?” tanya Karla.
“Tadi ada Aris di balkon, tante.” Jawabnya. Karla mengangguk. Mereka berdua akhirnya mengobrol banyak hal. Entah kenapa Rea merasa cocok mengobrol bersama Karla meskipun ini untuk pertama kalinya ia sedekat ini dengan wanita itu.
“Baiklah, jadi kamu akan melanjutkan kuliah setelah lulus SMA?” tanya wanita itu.
“Iya tante. Tapi aku akan bekerja dulu untuk mengumpulkan uang daftarnya,” Rea mengulum senyum dan mengangguk mantap. Setidaknya kuliah adalah rencana untuk masa depannya.
“Tante senang sekali sayang.” Karla memeluk tubuh mungil Rea. Begitu juga dengan gadis itu, ia dengan terbuka membalas pelukan Karla.
“Ma!” tiba-tiba suara bas itu mengintrupsi acara peluk-memeluk mereka berdua membuat Rea mau tak mau melihat ke asal suara dan sekali lagi ia terkejut melihat makhluk di depannya ini. Sempurna, adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan lelaki itu.
“Hai sayang. Sini mama kenalin kamu sama Rea. Rea ini Alpa, anak laki-laki pertama tante.” Karla memperkenalkan anaknya pada Rea.
Rea dan Alpa bersalaman.
“Rea,”
“Alpa,” ucap mereka berdua memperkenalkan diri.
Jabatan tangan itu cukup lama sebelum suara Aris yang datang dari lantai atas rumah itu membuat Rea salah tingkah.
“Kak Rea suka Kak Alpa,” teriaknya yang langsung berlari ke dalam pelukan Rea.
“Nggak kok dek.” Jawab Rea. Pipinya mulai merona.
“Suka juga gak apa-apa sayang, tante setuju.” Mata Rea melotot mendengar itu. Apa ia tak salah dengar? Tante Karla merestuinya. Tapi apa ? merestui? Bukankah ia baru saja menyangkal kalau ia tak menyukai lelaki yang bernama Alpa ini. Lagi pula itu tidak mungkin karena mereka baru saja bertemu.
“Ah mama bisa aja.” Alpa bersuara. Sedetik kemudian ia beralih menatap Rea dan menampilkan gigi putihnya, ia tersenyum.
“Tersenyum padaku?” tanya Rea dalam hati.
Suasana hening. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara.
Sebenarnya Rea ingin sekali bercakap-cakap dengan Alpa. Tapi ia tidak berani, sehingga dirinya lebih memilih diam seribu bahasa dan hanya menunggu siapa yang akan memecah keheningan ini.
“Ma!” suara itu yang memecah semua keheningan. Rea ingat siapa pemilik suara itu. Danis, cowok yang tadi sempat bertukar pandang dengannya.
“Hai Danis,” sapa Karla pada putra keduanya.
“Rea, ini Danis. Putra bungsu tante. Umurnya lebih muda satu tahun daripada kamu,” jelas Karla. Diikuti anggukan oleh gadis itu yang kemudian berjabat tangan dengan Danis.
“Danis.” Ucapnya.
“Rea.” Kenal gadis itu.
Mereka tak lama bersalaman. Rea buru-buru menarik tangannya karena tanpa ia sadari ada rasa aneh yang membuatnya bingung.
“Ya ampun.” Rea meringis mendapati jantungnya berdegup tak seperti biasanya. “Kenapa aku berdegup??” tidak hanya Rea yang merasakan keanehan namun Danis juga demikian.
Hening kembali. Tak ada satupun yang bersuara untuk mencairkan suasana sekarang ini. Tidak dirinya, tidak Danis, tidak Alpa ataupun cucu nyonya Alenta lainnya. Sedangkan Karla sudah tidak bisa diharapkan lagi karena ia sudah pergi entah kemana.
Kecanggungan terjadi diantara mereka bertiga sampai Aris yang berada dipelukan Rea akhirnya bersuara.
“Kak Yea main yuk,” Ajak adik kecil itu. “Baiklah. Kamu mau main apa sayang?” betapa bersyukurnya gadis itu mendengar suara Aris yang mengajaknya bermain. Mereka berduapun memunggungi Danis dan Alpa. Hingga akhirnya menghilang dibalik pintu depan.
FLASBACK OF
Rea tersenyum mengingat pertemuannya dengan Alpa dahulu kala. Tapi jelas di ingatan itu ia lebih dahulu bertemu Danis. Namun untuk apa ia memikirkan itu lagi ketika dirinya kini masih berstatus kekasih Fahri sekaligus istri dari Danis_lelaki yang kini menatapnya dengan kesal. Ah Rea tidak menyadari tatapan kesal itu karena apa. Sebenarnya ia risih ditatapi Danis seperti itu. Apa salahnya?, adalah pertanyaan yang sedari tadi memutari otak kecil Rea.
“Ehem,” Karla berdehem sebagai peringatan untuk suaminya. Karla yang juga tahu Rea pernah menyukai Alpa tidak ingin membuat Danis menatap kesal seperti itu pada menantunya. Baginya itu masa lalu yang telah lama terkubur karena kenyataannya sekarang yang menjadi suami menantunya adalah Danis bukan Alpa ataupun Fahri.
“Udah Pa kita makan aja. Mama udah lapar.” Ajak wanita tiga anak itu.
“Baiklah.” Gandi terkekeh sendiri melihat istrinya yang memberi kode karena ia sendiri sudah tahu kalau dulu menantunya sempat menyukai anak pertamanya. Mungkin itu juga yang menjadi alasan Danis menikahi Rea. Mungkin dulu Danis menyukai Rea yang menyukai Alpa. Terjadilah persaingan yang tak kasat mata.
“Tapi apakah semalam kalian sudah membuatkan cucu untuk Papa dan Mama, Rea?” Pertanyaan tadi sukses membuat Rea tersedak makanannya sendiri. “Emm anu pa..” Jawabnya terbata. Jelas sebenarnya jawabannya adalah belum dan tak akan pernah.
“Sedang dalam proses, Papa. Nanti malam akan Danis coba kembali.” Kata Danis yang juga sukses membuat raut muka istrinya semerah tomat. Rea tidak tahu harus apa. Ingin rasanya sekarang ia bersembunyi ditempat tergelap sekalipun agar merah dipipinya tersamarkan.
“Bagaimana menurutmu sayang?” tanya Danis yang tentu saja tertuju pada Rea. Sementara itu yang ditanya kian memerah karena malu.
“Hahaaaaahaaa. Papa sudah ah kasihan tu menantunya sampai salah tingkah seperti itu.” Ucapan Karla justru semakin mempertegas betapa malunya Rea saat ini.
.
.
Tbc.