**16 itu Enemlas**

1176 Words
Keluarga Reina kini berkumpul di ruang tengah. Yogi, Reina, Luna, Leon dan Juna. Mereka semua membicarakan tentang kepergian Reres dari rumah yang jelas buat kecemasan untuk semuanya. Bagaimanapun Reres telah bersama sejak ia masih kecil sekali. Reina sesekali hela napas, ia juga memikirkan tentang gadis yang kini telah dianggapnya layaknya anak sendiri itu. Apalagi saat memikirkan jika Reres kini hidup sebatang kara. Karena meskipun ia memiliki kakak laki-laki. Tapi, Bagus kelas tak bisa diandalkan dalam hal ini yang ada dialah yang membuat hidup gadis itu terancam. Juna masih membaca surat yang dituliskan sahabatnya itu. "Juna yakin ini alasannya karena Bagus datang kemarin. Dan pasti Bagus udah beberapa kali datengin Reres dan dia jadi merasa enggak enak sama mami dan takut kalau dia ganggu keluarga ini. " "Luna juga yakin gitu Mi, Reres kan emang perasa banget." Luna ikut khawatir padahal jika dipikirkan ia yang tak terlalu dekat dengan Reres. "Mi, telepon polisi atau apa gitu." Leon meminta ia sangat cemas. Sejak tadi ia yang paling cemas dan tak bisa diam. "Juna yakin sih Reres baik-baik aja. Mungkin dia ke rumah temannya." Leon melirik Juna. "Temen Reres yang paling dekat ya cuma lo Mas." Juna menatap sang adik yang terlihat kesal. Mungkin karena ia terkesan mangabaikan atau menganggap enteng. "Reres itu setau Juna punya pacar dari SMA dan menurut Juna dia ke sana." Juna menatap pada Reina dan Yogi coba meyakini kalau Reres baik-baik saja. "Kamu tau di mana dia tinggal Jun?" tanya Reina lagi dan Juna hanya menjawab dengan gelengan kepala. Jelas yang paling merasa khawatir di sini adalah Leon karena ia memang menyimpan perasaan pada Reres dan kini menmbuat ia tak bisa tenang. "Mi, cari Reres yuk," ajak anak itu. "Mau cari kemana? Bahkan sama gue Reres itu tertutup banget, sejak SMA. Siapa temennya, pacarnya dia itu enggak mau terbuka. Tenang aja, gue yakin Reres baik-baik aja. Dia itu bukan anak kecil yang enggak bisa jaga diri. Lagian jelas dalam suratnya dia bilang kalau akan kembali. Yang ada kalau dia tau kita cari, dia malah jadi malu dan enggak mau hubungin kita selamanya," jelas Juna. Tentu saja Juna mengatakan itu bukan tanpa alasan. ia begitu mengenal Reres sejak mereka kecil huingga saat ini dan ia yakin sekali jika Rres bisa menjaga dirinya dengan sangat baik. Maka ia katakan itu pada yang lain agar tak terlalu mencemaskan sahabatnya itu. "Mas Juna enak banget ngomong gitu, emang Mas enggak khawatir sama Reres? Dia udah enggak punya siapa-siapa lho mas," Leon kesal karena merasa Jun terlalu menyepelekan kepergian Reres. Juna hela napas, ia harus sabat menghadapi sang adik. "Khawatir, cuma karena gue kenal siapa Reres ya itu buat gue tenang. Tunggu aja dulu, dia pasti bakal hubungin kita lagi." "Mas Juna tuh kesannya enggak peduli sama Reres padahal dia sahabat Mas Juna." Leon kesal kemudian berjalan cepat menuju kamarnya. "Kebiasaan deh Leon," kesal Luna. "Mami sama papi istirahat aja. Dari tadi datang langsung panik. Istirahat ya Pi, Mi, Juna yakin Reres baik-baik aja." Juna coba menenangkan karena merasa iba dengan kedua orang tuanya yang sejak tadi sepulang bekerja belum sempat beristirahat. "Yaudah, nanti mami masak habis mandi," kata Reina sebelum ia beranjak dari duduknya. "Biar Juna pesan makanan aja. Mami sama papi istirahat, hmm? Juna enggak mau mami sama papi kecapekan." Reina kemudian mengangguk, dan berjalan menuju kamarnya setelah ia mengucapkan terima kasih pada si sulung. Reina dan Yogi berjalan meninggalkan Luna dan Juna di ruang tengah. Juna sibuk dengan ponselnya mencari makanan apa yang bisa dimakan bersama-sama. Ia melirik sang adik yang kini gigiti ujung kukunya. Luna cemas jelas sekali terlihat meski tadi ia coba untuk bersikap biasa saja. Juna bangkit, kemudian duduk di samping adik. Luna menatap sang kakak dengan mata yang berkaca-kaca. "Reres beneran enggak apa-apa kan Mas Jun?" Tanyanya. "Aku tau Reres, aku yakin dia enggak apa-apa dan bisa jaga diri dengan baik," jawab Juna menenangkan sang adik. Luna lalu memeluk Juna dan menangis meski terlihat dingin dan tak peduli seperti Yogi. Tapi, Luna begitu sensitif dan cengeng, dingin dan cuek adalah caranya untuk menutupi diri yang sebenarnya. Sejak dulu Luna seperti itu bahkan sering menangis karena hal kecil. "Cup, cup, cup, adiknya Mas Juna paling cantik. Jangan nangis lagi dong. Percaya deh, Reres baik-baik aja." Luna melepas pelukannya kemudian menatap sang kakak yang kini tersenyum seraya mengacak rambut Luna. Melihat Luna menangis seperti ini buat ia terluka jiga. Juna lalu menghapus air mata di pipi Luna yang masih saja menangis. "Ih cengeng ih." Juna meledek membuat Luna memukul bahu sang kakak kesal. "Mas Juna ih, malah ngeledekin." Luna kesal lalu menghapus air mata. "Jelek tau." "Cantik! Anaknya mami Reina Sama papi Yogi." Luna berujar masih sama seperti saat ia kecil dulu sampai sekarang. Luna mungkin tak pernah tau bagaimana setiap pelukan yang ia lakukan pada Juna buat jantung Juna berdebar, tiap senyuman yang buat ia selangkah lebih dekat, tiap sapaan yang buat ia tersenyum. Luna tak mengerti kalau Juna ingin menjadi sekadar Kakak dalam hati seorang Aluna Argina Kim, yang Luna tau pria yang kini ada di hadapannya adalah seorang kakak laki-laki yang akan melindunginya dan menjaganya layaknya seperti seorang kakak. Juna terima, meski kadang ia ingin mengatakan rasa pada Luna. Hanya saja setiap kali itu terjadi ia kembali teringat ketakutannya, ia takut hubungan keduanya akan merusak semua. Merusak hubungannya dengan Reina dan Yogi atau semacamnya. Maka Juna memilih bertahan dan memendam rasa saja. *** Kejadian hari ini juga buat Reina memikirkan dimana Reres berada. Tentu saja Reina sangat menyayangi Reres, sejak tadi ia juga coba menghubungi tapi nomor gadis itu sama sekali tak aktif. Reina gigiti ujung kukunya, Yogi melihat itu dan menjauhkan tangan sang istri. "Tenang aja sayang. Juna tadi kan bilang jangan cemas. Percaya lah sama anakmu." Yogi coba menenangkan lalu ia merapikan bantal tidur sang istri. "Bobo sini sama papi." Reina menatap Yogi lalu merebahkan tubuhnya di samping sang suami yang segera memeluknya. Reina juga dengan refleks mengusap-usap wajah Yogi. Yogi mengecup pipi dan wajah Reina yang buat ia tersenyum. Pipi tembam yang selalu suka ia kecupi sampai saat ini. "Mas ih," Reina kesal melirik Yogi kemudian. "Kamu enggak kangen mesra-mesranya sama suami kamu ini?" Reina membalik posisinya menatap sang suami. "Kamu itu udah 52 tahun jangan manja." "Masa sih? Kayanya aku masih 17 tahun?" "Udah ah, aku masih panik ih." "Eh, kamu dengan yang 17 tahun tuh masih ngambekan." Ujar Yogi usil. "Biarin ngambekan gini aja kamu Bucin aku." Reina lalu menjulurkan lidahnya. Yogi mengecup bibir sang istri cepat. "Udah bobo aja." "Reres aku kepikiran dia mas." "Kalau kamu kepikiran gitu emang Reresnya akan pulang?" Tanya Yogi. Reina menggeleng, "terus gimana?" "Bobo, besok kita omongin lagi ya sayang." Yogi semakin erat memeluk sang istri. Reina membalas pelukan sang suami. "Enggak bosan kamu dua puluh tahun tidur sama aku?" Tanya Reina dan Yogi menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Reina terkekeh. "Bohong." Yogi membuka mata dan menatap pada sang istri. "Kasih tau saya kapan saya enggak bibi sama kamu selama dua puluh tahun ini? Kemana-mana kamu harus ikut kok." "Dasar Bucin, udah tua tau Pi kamu tuh." Reina lagi-lagi meledek. "Ssst, bobo." "Love you Mas." "Love you more, more and more."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD