**17 itu Pitulas**

1056 Words
Juna malam ini berkencan bersama Biyan. Sejak tadi ia sesekali menoleh ke sisi kanan atau kiri jalan. Dalam hatinya ia berharap bisa menemukan sahabatnya. Sesekali Juna hela napas, ia tak menemukan sosok Reres yang seolah hilang ditelan bumi. Sedikit menyesal, seharusnya ia banyak bertanya tentang keadaan Reres. Karena sejak ia kuliah hubungan mereka semakin jauh. Biyan sesekali melirik pada kekasihnya yang sejak tadi nampak tidak tenang dan jujur Biyan tidak suka itu karena mengganggu waktu mereka bersama. Biyan tau kalau seminggu yang lalu Reres meninggalkan rumah dia ia juga tau jika hal itu sangat membuat Juna dan keluarga Reina panik. Hanya saja ia ingin malam ini mereka mamiliki waktu untuk untuk bersama. Biyan menginginkan itu karena ia merasa kalau ia dan Juna belakangan jarang sekali bertemu dan harusnya ini menjadi pertemuan yang menyenangkan. Hanya saja sejak tadi Juna malah sibuk mencari di mana Reres. mereka bahkan belum makan malam ini karena Juna sibuk melihat-lihat sekeliling. "Sampai kapan kita mau di jalan gini?" tanya Biyan masih menahan rasa kesalnya. "Bentar lagi, biasanya Reres suka makan mi ayam di sini Bi." Juna menjawab masih fokus mencari dimana sahabatnya itu. "Kita jarang ketemu lho, belakanga ini kamu kamu sibuk banget dan aku juga susah banget kalau mau ketemu kamu. Tiap telepon malam kamu bilang udah capek." Biyan makin kesal karena Juna menurutnya masih saja bersikap egois. Juna hela napas, lalu menatap Biyan ia merasa sang kekasih egois dan tak punya empati. "Bi, Reres itu sendirian meskipun aku bilang semua akan baik-baik aja. Apa salah, kalau kau coba cari dia?" "Dia udah dewasa, udah bisa jaga diri sendri. Kenapa seolah dia itu masih anak kecil yang kabur dari rumah sih? Kamu bahkan bilang kan kalau Reres itu udah gede dan bisa jaga diri sendiri." Biyan makin kesal. "Kamu tuh sayang aku enggak sih Jun? Kenapa aku enggak pernah jadi prioritas kamu sih? Reres dan Luna yang selalu kamu utamakan." Biyan kesal membuang pandangannya ke luar jendela dan mulai menangis. Juna hela napas, tahan dan atur emosinya. Ia lalu menepikan mobilnya, dan berhenti di pinggir jalan. Juna mencolek sang kekasih yang masih tak bergeming. "Hei, sorry," ucapnya. Biyan masih menangis dan tak mau menatap sang kekasih. Juna memilih diam, hela napas beberapa kali dan kembali menatap Biyan. "Kamu mau maafin aku enggak?" tanya Juna yang mulai kesal. Biyan menatap sang kekasih. "Jun, jujur deh aku ada artinya enggak sih buat kamu?" "Kenapa kamu tanya kaya gitu terus sih Bi?" "Ya karena aku merasa, kamu enggak pernah sayang sama aku, enggak peduli sama aku, enggak buruh aku. Seolah-olah aku tuh ada di sini sementara hati dan pikiran kamu enggak pernah ada buat aku. Reres di hati kamu, Luna di pikiran kamu. Entah begitu atau sebaliknya." Biyan mengungkapkan isi hatinya. Selama ini jujur Juna mengakui jika ia kurang perhatian pada Biyan. Tentu saja karena dalam hatinya sudah ada nama orang lain yang sejak lama mengisi hatinya. Hanya saja nama itu hanya menjadi bisa pengisi hati, tanpa mungkin ia miliki. Juna hela napas. "Aku minta maaf." "Maaf untuk apa?" Tanya Biyan. "Semuanya, semua kesalahanku ke kamu." Biyan semakin menyadari jika ia tak pernah berarti untuk Juna selama ini. Biyan menghapus air mata, menghela napas kasar, mengambil tasnya dan berjalan ke luar mobil. Juna segera mengejar mengikuti, mehanan langkah Biyan dengan memegangi pergelangan tangan Biyan. "Mau kemana kamu? Ayo kita makan terus aku antar kamu pulang." Biyan menepis tangan kekasihnya. "Aku capek Jun. Capek banget kita selesain aja semua." "Maksud kamu?" Tanya Juna bingung hingga buat kedua alisnya bertaut. "Kita putus." Biyan menghentikan sebuah taksi dan segera masuk ke dalam. Sementara Juna diam di tempatnya tak ada yang ia lakukan selain diam dan berdiri mematung. Ia cukup terkejut tapi, ia malah tak bisa melakukan apapun selain menatap taksi yang dinaiki Biyan semakin menghilang. *** Malam ini Leon melamun di taman kampus memikirkan Reres. Sementara ia duduk naesama tiga temannya yang lain yang tengah menghafal catatan mereka untuk menjelaskan jika sewaktu-waktu di minta oleh dosen. Dira dan Arkan sibuk dengan catatan mereka. Sedangkan Leon sibuk dengan pikirannya sendiri. "Dengerin ya." Dira meminta pada Arkan dan Leon. " Jadi pada paramecium yang dilakukan secara molekular pada ahli menggunakan parameter genetik ...." Leon tiba-tiba bangkit dari duduknya, itu membuat kedua temannya terkejut. Leon berniat mencari Reres lagi malam ini. Arkan dan Dira saling tatap. "Mau kemana Lo?" tanya Arkan. "Cabut ah, kelas juga udah selesai." Leon lalu menatap Dira. "Penjelasan Lo terlalu texting prof bakal langsung tolak. Mending Lo jelasin Langsung, informasi genetik paramecium adalah. Coba cari kalimat yang lebih efektif. Gue cabut." Leon kemudian berjalan meninggalkan kedua temannya itu untuk segera menuju parkiran untuk segera mencari Reres. Dira menatap Arkan. "Gue kira tadi dia enggak denger." Arkan mengangguk setuju dengan Dira. Sejak tadi Leon melamun dan sepertinya tidak memerhatikan. "Anak jenius emang beda ya?" Tanya Arkan pada Dira yang menjawab dengan anggukan. Leon sudah berada di balik kemudi yang ia lakukan tak jauh berbeda dengan Juna memerhatikan sisi kanan dan kiri jalan.ekn benar-benar khawatir apalagi Reres sama sekali tak menghubungi. Jika ia mendapat kabar sedikit saja. Mungkin ia tak akan secemas ini. Leon bukan hanya khawatir tapi juga rindu pada Reres, meski gadis itu terus saja menolak dan bahkan mengatakan kalau ia sudah memiliki kekasih. Mobil Leon menepi di toko brownies tempat dulu Reres bekerja entah ini sudah berapa kali dalam seminggu ini. Namun, Leon berharap ia bisa menemukan Reres di sini. Leon kecewa pada dirinya karena tak banyak mencari tahu tentang Reres. Harusnya ia coba cari tahu segala hal tentang Reres jika itu ia lakukan dulu pasti ia tak akan menyesal seperti ini. "Loh Masnya lagi?" Pelayan yang sama menyambut Leon yang berjalan dengan gontai mendekat. "Saya mau brownies Oreo satu ya." Beberapa hari ini karena merasa tak enak hati karena terus mampir hanya untuk bertanya tentang Reres. Leon jadi sengaja membeli brownies setiap kali datang ke sini. "Baik Mas, tunggu sebentar ya." Ucap pelayan itu lalu membungkus kue yang Leon minta. "Hmm, Reres yang saya tanya tempo hari itu enggak pernah ke sini ya?" Tanya Leon. Pelayan memasukkan kue ke dalam box sambil menggelengkan kepala, kemudian meletakan di meja kasir dan diterima oleh Leon. "Enggak pernah mas. Reres enggak ada kabar sampai sekarang. Saya juga belum pernah ketemu karena pelayan baru. Yang saya tau kalau Reres itu minta keluar kerja cuma sama bos aja. Dia juga diem aja sama temannya yang suka gantian jam kerja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD