**6 itu enem**

884 Words
Reres melangkahkan kaki untuk berbelanja ke pasar untuk membuat makan siang hari ini. Letak pasar tak terlalu jauh dari rumah Reina, sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki. Reres sudah terbiasa waktu kecil saat sang ibu masih hidup ia sering sekali mengajak Reres untuk ke pasar dan membeli bahan makanan untuk keluarga Yogi pada saat itu. Hari ini ias masuk kerja siang, pukul satu nanti. Maka ia menyempatkan diri untuk menyiapkan makan siang untuk keluarga Reina. Sementara hari ini semua yang ada di rumah telah berangkat untuk kegiatan mereka masing-masing sejak pagi tadi. Reres membeli kebutuhan untuk membuat sayur lodeh kesukaan Yogi, lengkap dengan ikan asin dan bahan untuk membuat sambal. Reres juga punya toko langganan di sana jadi ia tak memerlukan waktu yang lama untuk membeli semua yang ia butuhkan. Setelah membeli semua ia kembali berjalan pulang membawa semua belanjaan yang telah ia beli dengan riang. Langkahnya terhenti saat melihat seseorang berdiri di sana seseorang yang ia kenal, Bagus. Pria itu berdiri dengan gelisah, sesekali bergerak tak beraturan. LAngkah Reres semakin vepat saat ia melihhat sang kakak di sana. "Mas Bagus," sapa Reres. Laki-laki itu menoleh menatap sang adik tanpa ekspresi. "MAna Bapak sama ibu?" tanyanya saat Reres telah berada tepat di sampingnya. "Bapak sama ibu ---" ucap Reres terputus ia tak bisa ungkap apa yang ia tau dan kini ada dalam otaknya. "Bohongkan? Bapak sama Ibu meninggal itu bohong kan?" Tanya Bagus penuh penekanan ia seolah tak ingin mempercayai berita yang ia dengar dari para tetangga. "Reres tahan air mata, ia juga tentu inginnya apa yang a ketahui itu adalah sebuah kebohongan dan saat ini kedua orang tuanya masih hidup hanya saja tak ada kebohongan di sana. Kedua orang tua merek telah benar-benar meninggalkan mereka berdua dalam kecelakaan. "Semua gara-gara kamu. Udah Mas bilang kamu itu enggak usah kuliah. Kamu pakai kuliah segala. Ngapain kuliah kalau bisa langsung kerja?" "maafin Reres mas," Bodohnya Reres malah meminta maaf pada hal yang jelas bukan salahnya. Bagus menatap sang adik. "mana uang layatan ibu?' "Reres tabung mas, sebagian nanti Reres mau buat biaya perpanjangan makam ibu." Bagus kesal memutar bola matanya menatap sang adik dengan kesal. "Kamu mau makan uang itu sendiri ya?" "Ya ampun, enggak Mas, ini semua benar buat ibu sama bapak." Bagus mengajak sang adaik sedikit menjauh dari rumah. "Besok bawa uang itu buat Mas kalau kamu memang enggak berniat ambil uang itu sendirian. Lagipula kamus ekaranga kan sudah di rawat di rumah Nyonya mami, hidup kamu udah enak. Kamu enggak kesian sama aku yang luntang-lantung di jalan?" Reres terdiam seperti biasanya yang dilakukan sang kakak hanya meminta uang. Gadis itu mengangguk dengan pasrah. Bagus tersenyum sekilas lalu mengembalikan ekspresi wajahnya seperti semula seolah terlihat sedih. Ia kemudian menepuk bahu reres dan berjalan pergi meninggalkan adiknya itu. Reres masuk ke dalam rumah ada perasaan kesal dalam dirinya karena melihat sang kakak yang seolah merasa tak bersalah dengan apa yang ia lakukan. Bahkan ia meminta uang padanya. Sesekali gadis itu buang napas, saat kini ia masuk ke dalam rumah Reres segera duduk di dapur. Belum ada pembantu baru di rumah itu. Hanya satu orang yang akan datang untuk membersihkan rumah atau mencuci lalu akan pulang jika sudah selesai. *** Juna kini berada di kantor hari ini ia akan menemani sang papi di rapat direksi. Rencananya Reina juga akan datang karena ia juga memegang saham milik mendiang ibu mertuanya. Hanya saja Reina memiliki beberapa urusan yang akan ia lakukan dulu. Yogi duduk dengan gelisah seraya menatap jam di tangannya. Entah ini sudah yang keberapa kali. "Mami belum datang juga Jun?" tanyanya pada sang anak sulung yang duduk di sampingnya. "Sabar pi, OTW kata mami tadi," jawab Juna coba buat sang papi tak terlalu khawatir. "Tadi mami katanya jalan sama siapa?" tanya YOgi lagi. "Sama Luna, luna mau sekalian ke kampus katanya. Hanis antar mami dia jalan." "Maaf saya terlambat, agak macet sedikit.' Suara Reina buat Yogi menoleh dan tersenyum ada perasaan lega saat melihat sang istri yang kini telah duduk. Reina menatap pada sang suami kemudian tersenyum singkat. Yogi melakukan hal yang sama lalu berdiri dan berjalan ke tengah ruangan. "Baik karena semua sudah datang kita buka saja sesi hari ini. Membicarakan tentang siapa yang akan membantu saya menjadi CSO dari Karuna karena sampai saat ini masih saya yang memegang semua. Karuna harus ada pembaruan juga dengan sistem di dalamnya. Saya ingin itu diterapkan mulai saat ini. Saya persilahkan yang lain untuk menunjuk calon yang memenuhi kriteria dan bisa diangkat menjadi CEO dari Karuna Textile dan Karuna Kreatif." Reina mengangkat tangannya. "Iya Ibu Majendra?" tanya Yogi diikuti senyuman malu-malu. "Saya mengajukan Arjuna Birawa sebagai calon CEO.' dengan berani ia katakan itu. Diikuti tatapan dari direksi yang lain. Yogi menatap dengan sedikit tak suka lalu ia segera merubah ekspresinya. Juna jelas terkejut karena selama ini ia hanya menjadi tangan kanan sang papi dan ia merasa hal itu jelas tak mungkin untuknya. Berbeda dengan Reina ia sangat yakin jika Juna mampu mengembangakan Karuna dengan baik. Selama ini Juna adalah asanya yang baik dan cakap dalam banyak hal. Yang paling penting adalah ia yakin jika Juna adalah anak yang jujur. Maka ia begitu berani menyarankan Juna sebagai CEO dan menurutnya tak ada yang lebih cakap, handal dan bisa ia percayai selain Juna. *** assalamualaikum akak Buna maaf baru sempat up lagi.. semoga masih ada yang menunggu.. terima kasih...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD