Raiden berdiri dari duduknya. Tangannya bergerak mengancingkan kembali jasnya.
Sebelum benar-benar pergi, Raiden yang enggan menoleh sedikitpun pada Respati itu sempat mempersilahkan, “Pesan apa yang kamu mau. Tapi setelah itu, pergilah! Aku tidak ingin rumah makan ini tertular kesialanmu.”
BUGGH!!
Habis sudah kesabaran Respati. Sebuah bogem penuh amarah Respati layangkan tepat mengenai sudut bibir kiri Raiden. Sampai adiknya itu jatuh tersungkur dan sempat menarik perhatian orang-orang.
“Kakak bukan pembawa sial,” tegas Respati.
Melihat adiknya tidak merasa bersalah dan malah tersenyum miring, menantang. Respati tak ragu memukul adiknya untuk yang kedua kali.
BUGHH!!
Pukulan kedua Respati tepat mengenai pipi kanan Raiden. Respati pastikan, pipi mulus adiknya pasti akan membiru atau minimal bengkak lah keesokan harinya.
Belum berhenti disitu, karena memang belum ada yang datang melerai. Respati mencengkram kerah kemeja Raiden. Menegaskan sekali lagi. “Semua adalah ketetapan Tuhan yang tidak bisa kita sengketakan. Kita manusia biasa. Ini ujian, bukan kesialan. Terima itu, Raiden Alsaki!”
“Berhenti!!”
Seruan sekaligus pergerakan seseorang melepaskan cengkraman Respati dari kerah kemeja Raiden, membuat Respati sadar dengan tindakan brutalnya barusan.
Semarah apapun Respati, kekerasan tetap tidak dibenarkan. Respati menyugar kasar rambutnya, ia menyesal telah menghajar adiknya dengan sepenuh tenaga karena emosi.
“Pak Raiden!?” Bagus segera membantu bosnya berdiri. Sedangkan, Amaya melayangkan tatapan tajam ke arah Respati.
Ternyata Amaya lah yang telah melepaskan cengkraman Respati dari kerah kemeja Raiden. Setelahnya, Amaya dengan diselimuti rasa kesal bertanya to the point, “Apa yang Bapak lakukan pada adik Bapak sendiri!?”
“M–maaf..” Respati masih syok dan hanya bisa menatap kedua tangannya sendiri.
Semua menjadi sekacau ini karena emosi yang tersulut. Sosok penyulut bukannya berhenti, malah semakin menjadi.
Tidak ada yang salah maupun yang benar di sini. Keduanya sama saja!
Tapi Respati dengan menyeret kopernya memilih pergi tanpa mengatakan apa-apa.
“Hei, jangan kabur!” seru Amaya. Amaya bermaksud melibatkan pihak keamanan, “Satpam!” Mau bagaimanapun, bosnya sudah menjadi korban kekerasan dari kakaknya sendiri.
Susah payah, Raiden berusaha menghentikan aksi Amaya. “S–sudah.. Biarkan saja dia pergi. S–saya tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil. Sshh..”
Bagi Raiden, sudah cukup karena ia sudah berhasil mengusir kakaknya dari sini.
“Saya antar ke atas, Pak.”
Raiden mengangguk. “Terima kasih, Bagus.”
Dipapah Bagus, Raiden berjalan menuju tangga. Sebelum benar-benar menaiki tangga, Bagus sempat meminta tolong pada Amaya. “May, tolong ambilkan kotak obat. Lalu, susul kami ke lantai dua. Cepat, ya.” Amaya mengangguk dan langsung mencari kotak obat yang Bagus minta.
Saat Amaya sedang sibuk mencari kotak obat, beberapa rekan kerjanya yang tadi menyaksikan insiden pertikaian malah asyik bergosip. “Ohh..ternyata ini alasan Pak Raiden enggak pernah ngenalin kakaknya ke kita-kita.”
“Hubungan mereka aja kayak gitu. Enggak akur.”
“Kalau tadi enggak ada yang melerai mereka, habisssss kursi dan meja rumah makan ini! Kakaknya Pak Raiden seremm banget. Nonjoknya beneran pakai nafsu.”
“Punya dendam apa sih, sama adiknya sendiri?”
“Apa karena Pak Raiden lebih sukses dari kakaknya? Aku lihat, kakaknya Pak Raiden seret koper, korban gusuran apa gimana?”
“HAHHAHA! Korban gusuran. Kocak banget!”
Telinga Amaya memerah. Dengan berani Amaya menegur rekan-rekannya itu. “Daripada gosipin orang yang selalu menggaji kita, bahkan ngasih kita tempat tinggal gratis, bukannya lebih baik fokus kerja? Tuh, banyak cucian di wastafel. Meja-meja juga perlu dibersihkan. Ayo kembali kerja!”
Meski Amaya sangat membenci Respati, tapi rasanya Amaya tak rela mendengar Respati dihina oleh orang lain seperti barusan. Terlebih, orang-orang ini tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sama seperti dirinya. Karena yang mengetahui semuanya hanya yang bersangkutan—Raiden dan Respati! Titik.
“Iya-iya! Pelayan baru aja, songong. Sok rajin kamu, May.”
“Si paling rajin. Lihat aja si Amaya, bentar lagi juga punya hobi baru, cari muka ke Pak Raiden!”
Amaya tak ambil pusing dengan ucapan rekan-rekan kerjanya. Setelah menemukan benda yang dicarinya, Amaya bergegas naik ke lantai dua dengan sedikit berlari.
Setibanya disana, Amaya langsung masuk ke sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar.
Akhirnya, Amaya bisa mengetahui isi ruangan bosnya ini. Karena sejak awal Amaya bekerja di sini, belum pernah sekalipun Amaya dipanggil kemari. Ya jangan sampai!
“Ini kotak obatnya, Gus..” kata Amaya, menyodorkan kotak obat yang dibawanya pada Bagus.
Bagus menerimanya dengan senyum lega. “Makasih, May.”
“Saya obati ya, Pak..”
“Tidak usah, Gus. Kamu kembali bekerja saja,” tolak Raiden berhasil menghentikan niat baik Bagus.
Jika sudah begini, Bagus bisa apa selain undur diri? Bosnya ini memang susah-susah-gampang.
“Baik kalau begitu, permisi Pak..”
Niat Bagus menyeret Amaya pergi juga dari sini, harus terhenti saat bos mereka menginterupsi. “Eh-eh, kamu. Berhenti! Tetap di sini.” Alhasil, Bagus melarikan diri sendiri. Meninggalkan Amaya yang tak tahu bagaimana nasibnya.
“S–saya, Pak?” Amaya menunjuk dirinya sendiri dengan tak percaya. Mengapa ia ditahan di sini?
“Iya kamu, memangnya siapa lagi!?” sembur Raiden yang kemudian mendesis kesakitan, “Ssshh..” Tinju kakaknya memang luar biasa efeknya. Sakit sekali!
Amaya segera mendekat dan menasehati bosnya yang hobi marah-marah semenjak bertemu dengan kakaknya tadi. “Jangan marah-marah, Pak Raiden. Sudut bibir Bapak sepertinya robek, perih ‘kan dibuat ngomong? Pelan-pelan saja ngomongnya. Saya dengar kok, Pak.” Padahal sebelumnya, Raiden sangat baik dan ramah pada karyawannya. Tapi ternyata, ketika moodnya buruk, Raiden bisa berubah menyeramkan persis kakaknya! Eh. Kok Amaya jadi teringat Respati terus!? Astaga..
“Obati.”
Amaya tersentak, menatap Raiden dengan tatapan bertanya. “Huh?”
“Katanya kamu dengar. Yang barusan kurang jelas perintahnya? Obati luka-luka saya, Amaya.” Kali ini nada bicara Raiden memang tidak setinggi sebelumnya, tapi lebih menyeramkan dari yang Amaya bayangkan.
“B–baik, Pak Raiden. Sabar..”
Amaya segera mengambil duduk di samping Raiden, di sebuah sofa panjang, demi memudahkan aksi kemanusiaannya–mengobati luka-luka di wajah Raiden. Dengan telaten, gadis cantik itu fokus pada kegiatannya sampai pergerakan tangannya terhenti karena pertanyaan Raiden.
“Sejak kapan kenal dengan dia?”
Tidak ada angin, pun banjir bandang, Raiden tiba-tiba mempertanyakannya. Padahal hubungan Raiden dan Respati sangat buruk.
Terpaksa, Amaya berakting bodoh. “Dia?”
“Ck! Kakak saya. Respati Gemblung Ararya.”
Mendengar nama panjang Respati yang disebut dengan penuh rasa kesal oleh Raiden barusan, Amaya tertawa kencang. Perutnya sampai sakit karena nama ‘Gemblung’ yang disematkan Raiden di tengah-tengah nama kakaknya itu.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Nama tengah Pak Respati unik,” jujur Amaya, masih melanjutkan tawanya.
Diam-diam, Raiden tersenyum tipis. Tidak menyangka bila dirinya mampu membuat gadis yang terlihat selalu murung ini tertawa lepas.
“Itu ciptaan saya, barusan. Habisnya dia main pukul saya. Dikira saya samsak apa!?” Begitu, curhat colongan Raiden pada Amaya.
Amaya menanggapinya dengan bijak. Tidak membela Raiden, pun tidak menyalahkan Respati. Karena Amaya tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. “Bapak pasti sudah memancing amarah Pak Respati. Jadinya, Bapak kena pukul. Ketahuilah, Pak. Tidak ada sebab tanpa akibat. Tidak ada lemper, tanpa beras ketan.”
Eh. Jadi kepengen lemper..
“Kamu pandai berbicara, ya..” puji Raiden sambil menyunggingkan senyum miring.
Dilihat dari dekat, jelasssss! Ketampanan Raiden semakin bertambah, berkali-kali lipat. Hal itu membuat Amaya segera mengalihkan pandangan ke arah lain, bila ia tidak ingin jatuh dalam pesona adik Respati.
‘Enggak! Jangan, Amaya. Kakaknya aja kayak gitu, adiknya pasti enggak jauh beda. Sami mawon alias sama saja!’ peringat Amaya pada dirinya sendiri. Tentu hanya mampu disuarakan oleh batinnya.
“Bercanda, Pak. Jangan tegang terus dong, Pak..” ucap Amaya, menampilkan senyum terpaksa. Berharap Raiden tidak keberatan saat diajak bercanda seperti barusan.
Tidak ada sahutan sama sekali dari Raiden. Hal itu membuat Amaya sedikit kesal dan tak sengaja menekan luka di sudut bibir Raiden. “Sshhh..obati yang bener! Sakit ini! Perih!” bentak Raiden yang tak bosan marah-marah terus.
‘Semua gara-gara Pak Respati! Jadi aku ‘kan yang kena marah Pak Raiden.’
Lain di batin, lain yang diucapkan. Berusaha menahan emosinya, Amaya berucap, “Namanya juga lagi diobati, ya sakit. Tahan, Pak. Perihnya sedikit-sedikit, kok. Lagian Bapak, kenapa tadi enggak lari aja, sih? Kalau tadi Bapak lari, enggak bakalan itu tangan Pak Respati singgah di wajah Bapak sampai wajah Bapak luka-luka seperti ini. Ini pasti meninggalkan jejak kebiruan.”
“Kamu nyalahin saya!?”
O..ow, Amaya kelepasan.
“Eh. E–enggak! B–bukan! Bukan salah Bapak!” ralat Amaya, berharap kali ini dewi keberuntungan membebaskannya dari masalah baru.
“Salah dia ‘kan? Adik sendiri tega dipukuli sampai babak belur begini.. Kakak gemblung memang!”
Tanpa sadar, tangan Amaya mengusap lembut lengan bosnya. “Sabar, Pak. Sabar..”
“Kamu belum menjawab pertanyaan saya, Amaya. Jawab sekarang!”
Baru saja Amaya mengira masalah ini selesai. Eh, ada saja yang ketinggalan!
“I–itu..anu..kita kenal sudah lama. Entah tahun berapa? Yang jelas kita teman lama, Pak.”
Raiden menatap Amaya dengan tatapan curiga. “Hanya teman? Atau lebih?” Tapi secepat itu juga, Raiden menggeleng, tidak percaya bila sang kakak akan tertarik dengan Amaya. Yang di matanya, biasa saja. “Tapi selera Kakak saya itu tinggi, Amaya. Sepertinya kamu memang sebatas temannya. Kenal dimana? Dulu kalian satu kampus?”
‘Selera tinggi darimana!? Kakak Bapak itu pernah meniduri saya secara paksa! Astaga..kalau Bapak tau, saya jamin Bapak langsung pingsan. Minimal ngamar di rumah sakit tiga hari tiga malam!’
“Huh? Emm..i–iya. Begitulah, Pak.”
Amaya tidak menyangka bila jawaban seadanya yang keluar dari mulutnya barusan, justru dibalas Raiden dengan cerita Respati empat tahun yang lalu.
“Dulu dia pernah punya pacar cantik dan idola kampus, namanya Agnes. Kamu pasti kenal ‘kan? Entah, dimana wanita itu sekarang berada? Karena semenjak kakak saya pergi ke Amerika sekitar empat tahun yang lalu, Agnes sudah tidak pernah terlihat lagi bersama kakak saya. Hubungan mereka sepertinya kandas. Maka dari itu, kakak saya sudi menemani hari-hari terakhir Opa kami di Amerika sana.”
‘Jadi itu alasan Pak Respati menghilang empat tahun yang lalu? Ah, pasti dia juga sengaja. Mana mungkin dia bersedia bertanggung jawab? Apalagi, pada wanita sepertiku? Ditambah, pada malam itu Pak Respati sedang dalam pengaruh minuman beralkohol. Pak Respati mabuk berat saat melakukannya.’
“Sudah. Terima kasih, Amaya.”
Amaya mengusaikan lamunannya. Menghela napas, bersyukur akhirnya tugas menjadi perawat dadakan ini selesai. “S–sama-sama, Pak Raiden. Saya permisi..”
“Tunggu!”
Langkah Amaya yang baru terhitung tiga langkah itu, terpaksa terhenti. Mengulas senyumnya selebar mungkin, Amaya berbalik dan bertanya, “Ya, Pak? Ada yang perlu saya kerjakan lagi?”
Raiden mengangguk.
“Saya ingin kamu menjadi mata-mata. Laporkan pada saya apapun itu setiap kali kamu berinteraksi dengan kakak saya. Mengerti?”
Dan, inilah kesialan serta keberuntungan Amaya. Tak tanggung-tanggung, keduanya datang bersamaan!
“M–mengerti, Pak.”
“Tenang saja, Amaya. Ada komisinya. Akan saya beri setiap kamu memberi saya informasi. Mukamu jangan pucat begitu! Saya bukan orang pelit.”
‘Bukan masalah komisi, Pak. Tapi keselamatan diri serta hati saya! Saya menghindari berurusan dengan kakak Bapak yang mesùmnya tingkat dewa itu! Amit-amit berurusan dengan dia lagi. Enggak dulu deh, Pak..’
***