Tunduk

1392 Words
Amaya sedang menikmati udara malam yang dingin seorang diri di depan mess karyawan yang kini menjadi rumahnya. Tidak pernah sebelumnya Amaya sangka bahwa kedatangannya kembali ke kota ini memberikan keberuntungan, selain mengingatkannya kembali pada luka lama. Pertemuan Amaya dan Nirina di pasar tradisional satu minggu yang lalu, membuat Amaya mendapat pekerjaan sekaligus tempat tinggal. Yaa..setidaknya ini bisa dikategorikan keberuntungan. Tapi, pertemuannya kembali dengan Respati tadi petang jelas termasuk kesialan! Amaya masih tak habis pikir. Di luasnya semesta raya ini, ia masih saja dipertemukan dengan pria berengsek itu! Pria yang telah merenggut mahkota berharganya. Membuatnya hamil di luar nikah dan dicap sebagai wanita burùk di kampungnya. Sampai-sampai penyakit bapaknya semakin parah dan meninggal dunia. Tak berselang lama, bayi tak berdosa berusia lima bulan dalam perut Amaya kala itu, menyusul. Pergi untuk selama-lamanya. Tak ada yang terselamatkan lagi. Tersisa hanya Amaya dan rahasia laranya yang terbawa hingga kota ini. Amaya menyugar rambut panjangnya. Saking frustasinya. Ternyata dibalik keberuntungan masih saja terselip kesialan. Hidupnya memang tidak pernah tenang semenjak sosok Respati hadir. “Gimana bisa Pak Raiden yang sangat baik ternyata merupakan adik dari pria berengsek itu? Ya Tuhan..” “May, masuk! Sudah malam!” seru Nirina dari dalam yang sukses menyentak Amaya. Membuat Amaya berdiri dari duduknya, menyudahi aktivitasnya merenung bersama malam, dan akan masuk ke dalam kamar. Kebetulan Amaya sekamar dengan Nirina. Akan tetapi, siulan dari arah belakang Amaya, membuat Amaya langsung menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Menajamkan penglihatannya, Amaya mencari tahu darimana sumber siulan itu. Telinga Amaya tak mungkin salah dengar karena malam cukup hening. Merinding. Itulah yang Amaya rasakan. Sampai Amaya sedikit lega karena mendengar suara berat seseorang. “Saya di sini.” Meski sebelumnya sempat membuat Amaya sedikit terlonjak. Tentu saja Amaya terkejut sekaligus tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya saat ini. Ternyata, secepat ini do’anya tidak dikabulkan. Seseorang yang sangat ingin Amaya hindari justru muncul, berdiri tegap masih dengan memegang kopernya seperti petang tadi saat ia melarikan diri seusai menghajar adiknya sendiri, di depan gerbang mess karyawan ini! Kejutan apalagi ini ya Tuhan? Amaya tergesa-gesa hendak menghampiri pria itu sebelum dia berbuat nekat dan mencipta keributan, lagi. Tapi sebelum itu, Amaya berseru untuk berpamitan pada teman sekamarnya. “Nir, aku keluar dulu! Jangan cari aku!” Setibanya di gerbang mess, Amaya segera membuka gerbang tersebut. Kemudian menutupnya kembali. Untung saja gerbang mess karyawan ini tidak ada penjaganya. Jadi, Amaya rasa akan aman-aman saja. Tidak akan ada yang tahu bahwa ia dan Respati diam-diam bertemu. Ya, sosok yang tadi bersiul seolah memanggil Amaya itu adalah Respati! Tentang bagaimana bisa pria itu ada di sini, akan Amaya cari tahu jawabannya. Tentu, setelah Amaya menyeret Respati menjauh dari area mess karyawan. Amaya tidak ingin kepergok teman-teman kerjanya yang lain dan menimbulkan gosip baru. Pasalnya, hanya Raiden saja yang tahu bahwa ia dan Respati merupakan teman lama. Tapi bohong. Karena yang sebenarnya hubungan keduanya tidak seperti itu. Entah, disebut apa hubungan antara Amaya dan Respati itu? Merasa sudah aman dan jauh dari area mess karyawan, Amaya menghempaskan tangan Respati yang sejak tadi diseretnya kasar. “Ngapain Bapak di sini!?” ketus Amaya tanpa basa-basi. “Luka-luka bosmu, b–bagaimana? Sudah diobati?” Telinga Amaya risih saat Respati menyebut adiknya sendiri seperti itu. Apa susahnya sih, sebut ‘ADIK SAYA’? Ribet memang hubungan kakak-beradik ini. Lebih ribet daripada hubungan sepasang kekasih! Namun, pertanyaan Respati barusan membuat Amaya memahami satu hal yang hanya mampu dibatinnya. ‘Peduli juga ini orang sama adiknya.’ Rasa kesal seketika menyelinap saat Amaya mengingat kejadian dirinya di tahan di ruangan Raiden hanya untuk dimarah-marahi, lalu diperintah mengobati luka-luka di wajah bosnya itu. Maka pertemuannya dengan Respati malam ini, tidak akan Amaya sia-siakan. Wanita itu langsung melampiaskan kekesalannya pada orang yang tepat. “Sudah! Saya sendiri yang obati. Gara-gara Bapak, saya jadi perawat dadakan!” Begitupun sebaliknya, saat mendengar cerita singkat Amaya barusan, Respati ikut kesal. “Lohh, kok kamu!? Kan ada karyawan yang lain? Kenapa harus kamu yang obati luka Raiden?” “Ya mana saya tau!? Tanya sendiri ke Pak Raiden!” sembur Amaya kedua kalinya. Di sinilah Respati mulai memahami. Adiknya memang banyak berubah. Dia menjadi pria pencari kesempatan dalam kesempitan! Matanya tahuuuu saja bahwa Amaya ini wanita cantik. “Ck. Dasar tukang cari kesempatan. Selain kùrang ajar sama saya, ternyata dia suka cari-cari kesempatan sama karyawannya sendiri. Tau aja mana yang cantik,” cibir Respati. Entah mengapa? Saat mengetahui Raiden baru saja mencari-cari kesempatan pada Amaya, hati Respati panas. Ada rasa tidak rela yang begitu besar di hatinya. Serta, rasa tidak ingin berbagi Amaya dengan siapapun itu! Tak terkecuali adiknya sendiri. “Hah? G–gimana?” Saat Amaya bertanya, Respati malah tak ingin membahasnya lebih lanjut. Bisa gosong hatinya. “Lupakan! Yang terpenting lukanya sudah mendapatkan perawatan.” Siapa sangka Amaya menangkap jelas bagaimana cibiran plus pujian Respati barusan? Dengan senyum menggoda Amaya memastikan apa yang didengarnya. “Jadi saya cantik? Wahh..kalau itu memang fakta yang telah ada sejak dulu, Pak Respati.” “Percaya diri sekali kamu, Amaya.” “Jelass! Memangnya, hanya Bapak saja yang bisa percaya diri hah!?” sahut Amaya dengan nada tak santai. Urat-urat lehernya sampai menonjol. Hal itu membuat Respati mengusap telinganya sendiri. “Bisa tidak bicaranya santai saja? Telinga saya masih normal, Amaya. Sejak tadi kamu teriak-teriak seolah sedang berbicara dengan orang yang pendengarannya kurang.” “Suka-suka saya lah, Pak! Asal Bapak tau, ya. Saya itu benci sekali sama Bapak.” Tatkala mengungkapkan kebenciannya, Amaya menatap tajam nan berani sepasang mata gelap Respati. Ia terang-terangan mengibarkan bendera perang pada pria berengsek itu. Agar pria itu sadar, kalau bisa sampai berlutut memohon ampun di kedua kakinya. Namun, yang sama sekali tidak Amaya duga adalah tanggapan Respati. Amaya pikir, Respati akan semakin marah. Tapi ternyata, pria itu menghela napas lelah dan mengatakan, “Yaa..semua orang memang membenci saya. Adik saya, kamu, mungkin Tuhan pun juga.” Tak ketinggalan sambil memasang raut wajah murung. Hellow! Di sini Amaya yang tersakiti! Mengapa Respati yang memainkan perannya? Peran tertukar! Malas dengan drama murahan ini, Amaya langsung memarahi Respati yang sok melas itu. “Enggak usah sok melas ya, Pak. Hati saya sekeras besi soalnya. Jadi, akting memelas Bapak itu enggak ngaruh sama sekali di saya.” Amaya juga tak segan-segan untuk mengusir Respati. “Sekarang karena urusan Bapak sama saya sudah selesai, lebih baik Bapak segera pergi dari sini!” Kali ini bukan raut wajah memelas lagi yang Respati tunjukkan. Melainkan, raut wajah menyeramkan bak ibliss seperti biasanya. Diiringi senyum miring khas keberengsekannya, Respati bertanya dengan nada mengintimidasi. “Siapa bilang urusan kita selesai? Kenapa kamu berbohong pada Raiden mengenai hubungan kita?” “Memangnya kita punya hubungan? Saya rasa TIDAK!” jawab Amaya dengan emosi masih meledak-ledak. Dilipatnya kedua tangan di depan, seolah dirinya tak takut sama sekali pada pria di hadapannya itu. Jika Respati bisa sombong, Amaya pun juga! Amaya tidak ingin kalah seperti empat tahun yang lalu.. Sialnya, kesombongan Amaya langsung berganti dengan bergidik ngeri tatkala Respati maju beberapa langkah guna mengikis jarak. Tangan besarnya tiba-tiba singgah di dagu lancip Amaya, membawanya lebih dekat dengannya. “Punya. Meski satu malam. Itu hubungan, Sayang. Saya perjelas. Hubungan badan. Ingat?” “Sial!” pekik Amaya setelah berhasil menjauhkan wajahnya dari Respati. Respati terkekeh penuh kemenangan. Kini giliran dirinya yang melipat tangan di depan. Memandang Amaya dengan sorot penuh damba. Lalu, memperingati wanita cantik itu dengan nada lembut. “Jangan mengumpát, Sayang. Sewaktu-waktu saya bisa membongkar hubungan kita yang sesungguhnya pada Raiden. Jadi mulai detik ini, bersikaplah manis pada saya. Oke, Sayang?” Gelengan kepala langsung Amaya berikan saat itu juga. Dirinya tak sudi menurut pada Respati! “Keras kepala,” gumam Respati, menunjukkan seringaian liciknya. Pria itu tidak menyerah bahkan saat Amaya menggeleng secara terang-terangan. Ia masih percaya diri dapat menundukkan Amaya karena mempunyai senjata ampuh. “Jadi, kamu sudah rela melepaskan pekerjaan serta tempat tinggalmu? Baiklah. Besok saya akan beritahu Raiden—” “JANGAN!!” cegah Amaya dengan napas tak beraturan. Emosi? Jelas, kian memuncak! Akan tetapi, untuk saat ini lebih baik Amaya menahan emosinya. Sekuat tenaga, wanita malang itu mempertahankan apa yang telah dimilikinya. Mencari pekerjaan yang sepaket dengan tempat tinggal di kota besar seperti ini tidaklah mudah. Ditambah, mempunyai bos yang baik seperti Raiden. Serta, rekan kerja yang baik seperti Nirina dan Bagus. Amaya menarik-membuang napasnya. Ia akan calm down. Mengikuti permainan Respati. “Oke-oke..mau Bapak apa?” “Ke hotel.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD