Pembawa Sial

1417 Words
“Jangan memarahinya, Dik.” DIK!? Mata Raiden melotot mendengar panggilan menggelikan itu keluar dari bibir musuh bebuyutannya—Sang Kakak Kandung. “Alangkah baiknya, sekarang kamu berkenalan dengan Amaya. Karena Amaya ini sebenarnya—” Perkataan Respati dipotong Amaya yang langsung menyerocos. “Sebenarnya teman lama Pak Respati! Ya, k–kami teman lama yang baru berjumpa kembali hari ini, Pak Raiden. Saya terlalu terkejut, jadi sedikit heboh. Untuk itu, mohon maaf atas kehebohan yang saya ciptakan.” Sambil sesekali Amaya melempar kode melalui kedipan matanya. Entah, kode itu diterima atau tidak oleh Respati? Kaum pria biasanya tidak terlalu paham dengan sandi wanita. “Benar kalian teman lama?” tanya Raiden, menyelidik. Raiden tidak menyangka bahwa dunia sesempit ini. Siapa sangka pelayan wanita yang baru bekerja sekitar semingguan lalu di Rumah Makan SANJUNG RASA ini, ternyata merupakan teman lama kakaknya? Dunia memang sesempit daun kelor. Raiden baru menemukan buktinya hari ini. “IYA, Pak Raiden!” jawab Amaya tanpa keraguan sedikit pun. Padahal, Amaya sedang berbohong. Tidak mungkin Amaya mengatakan yang sebenarnya, karena itu berkaitan dengan masa lalu kelam Amaya empat tahun yang lalu. Amaya juga mengharap kerja sama Respati. “Iya ‘kan, Respati? Ah, maksud saya Pak Respati.” Ternyata, Respati masih bisa diajak bekerja sama. Pria itu dengan sukarela mengangguki pertanyaan Amaya. Tak tahu saja Amaya bahwa diam-diam Respati membatin, ‘Saya ikuti permainan kamu, Amaya. Teman lama? Yang benar saja!’ “Nah, karena semua sudah jelas dan saya sudah melakukan tugas saya, menyajikan minuman untuk Pak Respati. Saya pamit undur diri, Pak Raiden. Mari Bapak-bapak sekalian..” Seraya memeluk nampan kosong, Amaya berlalu. Akan tetapi, baru dua langkah. Omelan Raiden terdengar. “Ck. Saya masih muda, Amaya. Kamu memperlakukan saya seperti pria berusia 50an saja!” Rupanya sang bos tidak terima dipanggil ‘Bapak’. Padahal, biasanya Amaya juga begitu. “M–maaf, Pak Raiden.” Bukan apa-apa. Bukan bermaksud Amaya mengatai Raiden tua karena faktanya pria itu masih muda dan ekhm..tampan! Yaa, sebelas dua belas lah dengan Respati. Ya jelas, mereka kakak-beradik! Amaya mulai mengingat pertemuan pertamanya dengan Raiden. Hmm..pantas saja wajah pria itu sedikit familiar. Amaya seperti pernah melihatnya, tapi dimana? Ternyata oh ternyata, pria itu mempunyai hubungan darah dengan pria berengsek yang menghancurkan hidup Amaya empat tahun yang lalu. “Kalau dia ini, yang katamu teman lama, cocok kamu perlakukan begitu. Dia sudah tua. Tapi tidak kunjung menikah juga!” Amaya tersentak. Kemudian, terkekeh saat menyadari Raiden sedang mengejek Respati. Seberani itu Raiden pada kakaknya. HAHAHHA! Tapi lucu. Menjadi hiburan tersendiri bagi Amaya. “Hei, jangan kuráng ajar Dik! Mau bagaimanapun, pria yang kamu sebut tua ini adalah keluargamu satu-satunya di dunia ini, kakak kandungmu. Ayo, salim dulu sama Kakak..” “OGAH!” Tawa Amaya menyembur saat itu juga. Astaga! Ternyata kakak-beradik ini bisa menjadi sumber hiburan Amaya. Sungguh..Amaya senang sekali mendapat hiburan seperti ini. Lumayan. “Tertawa saja sepuasmu. Tunggu sampai tawamu berubah menjadi tangis..atau berubah menjadi desah. Tawaran saya masih berlaku, Amaya.” Begitu bisikan menggelikan Respati tepat di telinga kanan Amaya. Membuat Amaya merinding seketika. Bayang-bayang malam panas empat tahun yang lalu, tiba-tiba terputar bagaikan kaset rusak. Demi memperlihatkan dirinya baik-baik saja, Amaya balas membisikkan sesuatu di telinga Respati. “Saya tidak sekurang kerjaan itu untuk meladeni pria tua seperti Bapak. Yang muda dan bening masih banyak di luaran sana, kenapa harus Bapak? Cih..sorry sorry to say ya, Pak Respati.” Sayang sekali, setelah itu Amaya langsung terkena semprot Raiden. “Ngapain kamu masih di sini, Amaya!? Sana ke belakang!” Hal itu membuat Amaya buru-buru pergi, meninggalkan kakak-beradik yang sepertinya akan melanjutkan perang mereka. ‘Awas kamu, Amaya. Berani-beraninya kamu menghina saya. Memangnya, apa yang salah dengan angka dua puluh tujuh hah!? Belum terlalu tua! Justru merupakan usia yang matang, stamina juga jangan dipertanyakan, jelas kuat! Kamu sepertinya memerlukan bukti, Amaya. Baiklah. Tunggu tanggal mainnya. Akan saya wujudkan mimpi yang selalu hadir di malam-malam saya itu menjadi sebuah kenyataan. Just wait, Honey.’ Respati terus menatap kepergian Amaya dengan tatapan lapar. Seolah, makanannya memang sudah terhidang. Tinggal HAP saja. Amaya baru mengetahui suatu fakta bahwa hubungan kakak-beradik itu tidak seharmonis yang Amaya bayangkan. Mereka tidak akur. Tapi interaksi mereka seru menjadi tontonan bagi Amaya. Gadis cantik berseragam pelayan rumah makan itu berniat mengawasi mereka dari kejauhan. Pasti semakin seru! “Waaahh, ini lebih seru daripada sinetron yang biasanya aku tonton bareng Nirina! Enggak boleh kelewatan, nih..” ucap Amaya diakhiri cekikikan puas. Ia tidak takut sama sekali dengan ancaman Respati. Meninggalkan Amaya yang sebenarnya menjadi penonton dari kejauhan. Raiden penasaran dengan apa yang Respati katakan pada Amaya. “Apa yang barusan kamu bicarakan dengan karyawanku?” “Kamu? Sebut yang benar,” titah Respati tidak terima dengan ketidaksopanan adiknya. Tapi sang adik malah semakin berani bersikap tidak sopan padanya. “Sebutan apa? Tuan? Pak Tua? Atau Grandpa?” “Lama tidak bertemu, Kakak amati kamu semakin kuráng ajar, Dik. Sedari tadi terang-terangan mengatai Kakak. Tidak ada hormat-hormatnya pada Kakak.” Bukannya sadar setelah dinasehati, Raiden malah tertawa meremehkan. “Apa? Hormat? Komedi macam apa ini?” Raut wajahnya yang semula tertawa, berubah menjadi serius. “Langsung saja pada intinya, apa rencana kamu kali ini? Villa bangkrut? Ingin menumpang hidup padaku? Boleh saja, asal kamu bersedia bekerja bersama teman lamamu itu. Menjadi pelayan di rumah makanku yang semakin sukses ini.” Raiden dengan sengaja menyombongkan pencapaiannya dalam meneruskan bisnis kedua orang tua mereka. Hal ini Raiden lakukan karena Raiden bertekad untuk selangkah lebih maju dari kakaknya, ia harus menang. Ia dengar-dengar, villa orang tua mereka yang dikelola oleh Respati, sedang viral karena angker. Raiden menduga, kedatangan kakaknya ke kota ini pasti untuk membereskan masalah tersebut. Tapi Raiden masih tidak menyangka, kakaknya mau repot-repot mampir ke rumah makan ini. Untuk yang satu itu, alasannya masih belum Raiden ketahui. “Raiden..” geram Respati merasa perkataan adiknya sudah keterlaluan. Berani-beraninya Raiden beranggapan bahwa dirinya bangkrut dan hendak menumpang hidup. Selama Respati masih hidup, REST’Villa akan tetap ada! Respati pastikan, sebentar lagi REST’Villa akan kembali diperebutkan oleh para penyewa villa. “Apa? Marah? Mau pukul? Nih..pukul,” tantang Raiden, sengaja mendekatkan wajah tampannya. Barangkali sang kakak berani memukulnya. Untung saja Respati masih bisa mengendalikan emosinya. Ia tersenyum getir dan mulai mengingat-ingat masa yang telah berlalu. “Kakak tidak mengerti, mengapa kita selalu bertengkar. Sudah sama-sama dewasa, apa masih masanya bermusuhan? Padahal dulu sewaktu kecil, kita saling menyayangi satu sama lain. Tapi sekarang..” Respati tak kuasa melanjutkan ucapannya, dadanya terlalu sesak, apalagi saat mengingat kepergian kedua orang tuanya yang begitu mendadak. Berbeda halnya dengan Raiden. Pria berusia dua puluh enam tahun itu langsung tersulut emosinya dan kembali menyalahkan sang kakak atas insiden lima tahun yang lalu. “Lima tahun yang lalu, Mama dan Papa kecelakaan gara-gara siapa!? Hah? Gara-gara kamu, Berengsek! Andai malam itu orang-orang Papa tidak memberi informasi bahwa kamu asyik bersenang-senang, minum-minum, sampai aku dengar kamu juga ngobát di bar bersama kekasihmu itu, sudah pasti saat ini Mama dan Papa masih hidup! Bahagia dan bangga dengan segala pencapaianku!” Raiden mengatur pernapasannya sejenak, seusai meledakkan emosinya. Kemudian melanjutkan dengan pernyataan tajam, amat menusuk hati lawan bicaranya. “Kamu merusák kebahagiaanku. Aku benci kamu.” Mata Respati memerah, sebisa mungkin menahan air matanya agar tak menetes. Ia bukan pria lemah. Menghadapi emosi adiknya, sudah seperti makanan wajib setiap kali Respati berinteraksi dengannya. Lebih parah lagi, semenjak opa mereka meninggal dunia karena sejak saat itu tidak adalagi yang bersedia menjadi penengah tatkala mereka bertengkar seperti sekarang ini. “Kenapa kamu selalu menyalahkan Kakak?” Dengan sisa kesabarannya, sebagai kakak, Respati masih bersedia memberi adiknya nasehat yang berkaitan dengan takdir Yang Maha Kuasa. “Sadar, Dik. Itu semua sudah takdir Yang Maha Kuasa. Kita hanya manusia biasa, kita tidak berhak atas kehidupan dan kematian.” “Tapi kalau malam itu kamu tidak senang-senang di bar, Mama dan Papa tidak akan khawatir dan nekat menyusulmu padahal hujan begitu deras. Aku masih ingat semuanya. Mama dan Papa kecelakaan tertabrak truk besar, meninggal dunia di tempat, dan semua itu masih menjadi mimpi burùk yang selalu hadir di tiap malamku. ITU SEMUA GARA-GARA KAMU!! Sekarang apa? Bisnis Villa peninggalan Papa akan bangkrut di tanganmu? Benar-benar..kesialan selalu datang ketika ada kamu di dalamnya.” “RAIDEN!” bentak Respati karena tidak kuat lagi mendengar adiknya terus saja mengungkit-ungkit kenangan buruk itu. Seraya mengusap dadanya sendiri, dengan lirih Respati memohon, “C–cukup..cukup, j–jangan salahkan Kakak terus..” Raiden tak peduli dan melanjutkan aksinya. Sekalinya bersedia memanggil 'Kakak', kalimat yang Raiden ungkapkan begitu menyakitkan. “Kamu pembawa sial, Kak.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD