[Jangan pelit sama ibu yang melahirkanmu, Kal! Gajimu kan gede]
Aaarggghh! Pusing aku dibuatnya. Satu masalah belum kelar, kini ibu menambah lagi beban pikiranku.
[Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]
Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.
***
Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya.
"Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu.
"Ada apa, Bu?"
"Soal Mila."
"Mila kenapa?"
"Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!"
"Mungkin lagi capek, Bu."
"Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua."
"Iya Bu."
"Oh iya mana jatah ibu?"
Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya.
"Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.
Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga juta tapi kali ini aku hanya memberi separuhnya saja, 1,5 juta. Belum lagi untuk uang kuliah Nessa. Banyak hal yang harus kupikirkan. Agar uang gaji dan tunjanganku cukup untuk semua kebutuhan serta bayar cicilan.
Menurutku uang itu sudah cukup untuk kebutuhan ibu. Soalnya tiap diberi uang ibu justru membeli perhiasan. Entah itu gelang maupun kalung. Ibu juga dapat jatah sendiri dari kakak iparku, suami Mbak Indah yang bekerja di pengeboran minyak. Tapi herannya tiap aku gajian, Mbak Indah selalu minta jatah dariku juga. Aneh memang.
"Maaf ya Bu, mulai bulan ini dan seterusnya aku cuma bisa ngasih segitu. Aku lagi banyak kebutuhan sendiri, Bu."
"Halaaah pasti gara-gara Mila kan? Uang segini mana cukup, Kal! Apa-apa sekarang mahal."
"Dicukup-cukupkan dulu ya, Bu."
"Pasti karena jatah buat istrimu itu ditambah, benar kan?! Jadi berapa sekarang jatah istrimu? Dua juta apa tiga juta?"
"Tidak, Bu. Mila menolak uang pemberianku. Dia justru menyerahkannha kembali padaku mengatur keuangan rumah."
"Duh, nambahin kerjaanmu aja, Kal! Terus kerja apa dia? Ngatur uang belanja aja gak becus, masa harus suami lagi suami lagi."
"Aku yang salah, Bu. Uang satu juta itu gak cukup buat sebulan. Dia protes minta ditambahi tapi gak kugubris. Sekarang dia menyerah, katanya terserah aku saja."
"Dasar istrimu itu emang belagu. Padahal anak masih kecil-kecil harusnya satu juta saja cukup!"
"Enggak dong, Bu. Anak masih kecil atau sudah besar, sama aja. Ibu aja dikasih segitu bilangnya gak cukup padahal di rumah cuma berdua sama Nessa."
"Kok sekarang kamu belain istrimu itu?"
"Lho ibu sendiri yang bilang kalau semua kebutuhan mahal. Berarti itu juga yang dirasakan Mila selama ini."
"Ck! istri macam apa kayak gitu. Gak bersyukur punya suami. Suami udah kerja capek-capek malah tingkahnya begitu."
"Sudahlah Bu. Aku juga mau memperbaiki kesalahanku pada Mila. Aku yang sudah egois tak memperhatikan mereka."
Sehabis maghrib, aku baru bisa pulang ke rumah sendiri. Setelah perdebatan panjang dengan ibu.
Mobilku sudah memasuki area halaman rumah. Namun rumah tampak gelap dan sepi. Lampu-lampu belum dinyalakan. Memangnya gak ada orang di rumah?
Aku selalu membawa kunci cadangan, sehingga bila istriku tak ada di rumah, bisa langsung masuk.
"Mil, kamu ada dimana?" teriakku mencarinya. Tak ada sahutan apapun. Semua ruangan benar-benar gelap. Kunyalakan saklar lampu. Bola-bola lampu itu memancarkan sinarnya yang terang.
Kutelusuri setiap sudut rumah, tapi tak kutemukan Mila dan anak-anak. Duh sebenarnya mereka ada dimana?
Aku mencoba menghubunginya lewat panggilan telepon. Namun tidak juga diangkat. Aku mondar-mandir seperti orang kebingungan.
Tak lama mereka muncul. Kubuang nafas dengan lega.
"Kalian habis dari mana?" tanyaku.
Entah kenapa, anak kembarku justru langsung berlari ke kamarnya. Apa mereka takut padaku?
Aku ingin meraih Alina dari gendongan istriku, tapi ia justru mundur beberapa langkah. Padahal aku memang kepikiran kata-katanya tempo hari. Aku tak ada perhatian pada anak-anak. Padahal mereka buah cinta kami.
"Jangan sentuh kami lagi, kalau hanya bisa menyakiti."
Deg! Ucapannya menghujam hatiku. Kenapa Mila bersikap seperti itu? Tanpa banyak bicara lagi, Mila masuk ke dalam kamar anak-anak.
"Mil, Mila? Kenapa kamu bersikap seperti ini? Aku hanya ingin menggendong Alina."
Sunyi senyap, tak ada sahutan dari dalam. Seolah tak ada penghuninya.
"Mila? Mil, mas minta maaf. Maaf kalau sudah sering menyakiti hatimu."
Aaaarrrgghh! Kenapa sih jadi seperti ini? Apakah benar kata-kata Farhan tadi siang?
Kuhela nafas dalam-dalam, kenapa rasanya gak enak banget saat tak dipedulikan oleh istri sendiri? Apa seperti ini perasaan Mila dan anak-anak? Aku selalu acuh pada mereka dan sibuk dengan duniaku sendiri. Padahal mereka sangat butuh perhatianku.
Menurutku, sebisa mungkin aku sudah menjaga hati, yang penting aku tak tergoda dengan wanita lain. Bagiku itu sudah cukup untuk tak menyakiti hati Mila. Ternyata tak sebatas itu saja. Duh dasar memang wanita tak bisa dimengerti.
"Kal, Kal?" suara teriakan dari luar menghenyakkanku.
Aku membuka pintu, ibu berada dia hadapanku dengan muka yang masam.
"Ada apa sih, Bu? teriak-teriak segala!"
"Mana istrimu itu?"
"Memangnya ada apa?"
"Ada yang ngasih tahu sama ibu katanya Mila habis ketemuan sama laki-laki."
"Apa?"
Pikiranku melayang kembali mengingat ucapan Farhan tadi siang. 'Jangan-jangan ada laki-laki yang iba terus suka sama istri lu, terus ngasih uang terus mereka saling jatuh cinta, terus--'
Aku menggeleng pelan. Tidak mungkin. Kalau dia bertemu dengan laki-laki lain dan melakukan hal yang tidak-tidak kenapa bawa anak-anak bersamanya?
Ibu merangsek masuk ke dalam dan menyusuri tiap jengkal rumah.
"Mana Mila, Kal? Istrimu itu malu-maluin, dia udah berani bermain di belakangmu, Kal! Ngelunjak dia jadi istri!"
"Ibu jangan sembarang bicara deh, Mila gak mungkin lakuin hal itu. Dia kan cinta sama aku, Bu."
"Ck! Ini anak, coba kau lihat foto ini. Bukankah ini Mila?"
Ibu menunjukkan handphonenya. Mataku terbelalak kaget saat melihat Mila bersama pria itu. Mereka terlihat saling berhadapan dan Mila tersenyum ke arahnya. Tanganku sudah mengepal kuat-kuat. Seketika hatiku berdesir rasa cemburu. Mila tersenyum dengan laki-laki lain? Sedangkan padaku, dia tak menampakkan wajah manisnya. Ada apa ini sebenarnya? Pantas saja sejak kemarin dia pulang telat dari pada aku. Ternyata dia habis keluar rumah dengan seorang laki-laki? Ck! Ini gak bisa dibiarkan!
Orang yang ibu cari muncul dari balik pintu kamar. Wajahnya masih terlihat murung seperti hari sebelumnya.
"Coba Kal, kau tanya dia. Habis dari mana saja? Jangan-jangan habis melacur!" tukas ibu dengan wajah sinis.
"Kenapa kalian ribut-ribut? Tak bisakah tenang sedikit?" timpal Mila dengan santainya.
"Apa benar kamu habis bertemu dengan seorang laki-laki?" tanyaku dengan nada tertahan. Berusaha sebisa mungkin agar tak emosi.
"Iya," sahut Mila. Pembawaannya begitu tenang, justru membuatku makin meradang.
"Apa? Jadi benar kamu habis bertemu sama laki-laki? Siapa dia?"