10. Salah Paham

1061 Words
"Apa? Jadi benar kamu habis bertemu sama laki-laki? Siapa dia?" "Temanku." "Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar. "Terus menurutmu apa, Mas?" Tiba-tiba ... Plaaakk ...! Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya. "Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain." "Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!" "Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?" Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang tak suka pada Mila. Dia terpaksa merestui pernikahanku dengan Karmila karena dulu aku sangat mencintainya. Sangat mencintai gadis yang sederhana itu. Apakah rasa ini sekarang masih ada? Entahlah ... Akupun bingung memahaminya. Tak ada moment romantis antara kita lagi, apalagi sejak kehadiran Alina. Rasa itu seolah hilang, menguap begitu saja. Kami hanya hidup satu atap tapi serasa jauh. "Bu, jangan hina aku serendah itu! Kalau aku melacur, tak mungkin aku bawa anak-anak bersamaku," sanggah Mila membela diri. "Alasan! Bisa saja anakmu dititipkan ke orang!" Kulihat Mila tersenyum getir, sudut matanya tergenang butiran air mata yang sebentar lagi menitik. "Apakah kamu menganggapku seperti itu juga, Mas?" Aku terdiam. Akupun tak yakin Mila melakukan hal serendah itu di belakangku. Tapi melihat foto itu, kecurigaanku padanya pun mulai menyeruak. "Aku tanya padamu, Mas. Apakah kau berpikiran hal yang sama seperti ibu? Kita sudah berapa tahun menikah, Mas? Apa selama itu kamu tidak memahami sifatku? Apa kamu tidak bisa menilai seperti apa aku ini?" "Cukup, Mil! Jangan mengelak lagi! Lihatlah foto ini, kau terlihat berdua dengan laki-laki lain selain anakku! Apalagi namanya kalau kau tidak selingkuh?!" Mila menajamkan pandangannya ke arah ponsel ibu. Lalu menggeleng pelan. Berkali-kali ia menghela nafas dalam-dalam. Ia kemudian menatapku menghiba, seolah mencari jawaban apakah aku percaya dengannya atau justru sebaliknya. "Ini ibu dapat kiriman foto dari siapa?" tanya Mila kembali. "Kau gak perlu tahu. Yang jelas kau sudah tertangkap basah! Mau mengelak apa lagi kau, Mila?! Jelas-jelas kau disini sedang bersama pria itu!" tukas ibu kembali. "Sedang bersama bukan berarti selingkuh, Bu. Apalagi aku berada diluar ruangan. Tidak ada hal buruk terjadi seperti dugaan ibu. Tidak ada, Bu. Aku masih bisa menjaga marwah diri sebagai seorang perempuan, apalagi aku ini seorang istri," kilah Mila. "Mana ada maling ketangkap basah mau mengaku! Sudah salah malah berbohong!" "Maaf ya bu, tolong kalau cari informasi jangan setengah-setengah. Itu fotonya kenapa hanya separuh saja? Sedangkan tak jauh di belakangku ada Bu Wandi dan juga anak-anak?" ucap Mila seketika membuat d**a ini bisa bernafas lega kembali. "Halaaah, alasan! Memangnya ada keperluan apa kamu sama wanita alim itu?" Mila justru tersenyum masam. Aku tahu, ibu dan Bu Wandi memang tak pernah akur dari dulu. Entah apa sebabnya akupun tidak tahu kenapa mereka bermasalah. "Lalu siapa laki-laki itu, Mil?" tanyaku. "Dia keponakannya Bu Wandi." Otakku penuh dengan pertanyaan yang tak bisa kumengerti. Orang yang selama ini kuanggap lugu dan penurut, ternyata melakukan banyak hal di belakangku dan aku tidak tahu? Apa karena selama ini aku acuh padanya? "Ada perlu apa kamu bertemu dengannya?" "Dia mengajakku berbisnis, Mas," jawab Mila dengan santai. Tak seperti aku yang kebakaran jenggot. "Hahahaha ..." Tiba-tiba tawa ibu pecah. "Istrimu itu sepertinya kurang waras, Kal. Bisnis? Bisnis apa? Ngatur uang belanja aja gak becus, sok-sokan berbisnis? Iya mungkin berbisnis, tapi bisnis jual diri!" Ucapan ibu sungguh membuat hatiku makin panas. Kutatap Mila di depanku, wajahnya terlihat begitu sendu. Istriku yang penurut, tidak mungkin kan kalau berkhianat? Tapi bukti itu ...? Aaarggghh! Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini? Siapa yang harus kupercaya? Apakah kata-kata ibu atau percaya pada Mila? Tapi tidak, aku tak boleh terpancing emosi. Aku harus mencari tahu masalah ini sendiri. "Bu, sudah cukup, Bu. Jangan jelek-jelekin Mila lagi," tukasku geram. "Memang kenyataannya begitu kan? Ini sudah ada buktinya!" "Bisa saja bukti itu salah bu. Memangnya ibu dapat foto itu dari mana? Siapa tahu dia hanya salah paham dan ingin memfitnah Mila." "Itu tidak mungkin, Kal! Orang yang mengirimi foto pada ibu ini bisa dipercaya. Kenapa sih kamu masih belain terus istrimu yang jelas-jelas sudah selingkuh itu?" "Sudah ya, Bu. Pusing aku dengarnya. Tolong berikan aku waktu berdua dengan Mila. Aku ingin bicara padanya. Biar aku yang tanyakan hal ini padanya." "Kamu sekarang sudah berubah ya, Kal! Kamu lebih memilih wanita ini dari pada ibumu sendiri!" "Bu, bukan seperti itu. Ibu tetaplah ibuku. Tapi Mila juga istriku. Aku hanya ingin bicara berdua dengan Mila. Tolong ibu pulang dulu ya. Beri kami waktu, aku mohon." Wajah ibu makin masam. Aku tahu itu karena uang yang kuberi pada ibu jauh lebih sedikit dari pada bulan-bulan sebelumnya. "Kamu sudah merampas anakku, dan sekarang kamu juga yang sudah membuat Haikal makin jauh dari ibunya, gara-gara kamu juga, Haikal mengurangi jatah ibu! Kamu wanita atau apa? Kenapa tak ada belas kasih sedikit saja pada mertua?" Setelah mengatakan hal itu, ibu pergi. Aku tahu ibu kecewa. Dan kulihat Mila tertunduk dalam. Aku yakin, diapun mungkin merasa sakit atas penghinaan ibuku. Tak lama kudengar ia terisak. "Mil?" "Mas, sudah cukup penghinaanmu dan juga ibu. Aku sudah tak kuat lagi. Aku menyerah, Mas. Lebih baik kalau kita pisah saja kan?" "Apa? Kenapa kamu berkata seperti itu, Mil?" "Ibumu merasa kalau aku telah merebutmu darinya. Kembalilah pada ibumu, Mas. Aku selalu salah di matamu dan juga ibu." "Jangan mengalihkan pembicaraan, Mil! Kamu pasti minta pisah gara-gara laki-laki itu kan?" "Tidak mas. Ini sama sekali tak ada hubungan apapun dengan orang lain, apalagi dengannya. Ini murni karena masalah kita." "Bohong!" "Terserah kalau kamu gak percaya. Tentang aku dan Mas Denny bisa kau tanyakan langsung pada Bu Wandi." "Oh, jadi laki-laki itu bernama Denny? Kalau kamu gak ada hubungan apapun dengannya, terus kenapa minta pisah dariku?" "Tak sadarkah kamu, mas. Selama ini kamu yang terlalu abai pada keluarga. Apa pernah kamu memikirkan anak-anak? Apa pernah kamu memikirkan perasaanku? Tidak bukan?" Aku terdiam. Selama ini aku memang terlalu acuh pada mereka. Aku sibuk dengan duniaku sendiri. Tak mau sedikitpun membantu Mila dalam urusan rumah tangga maupun anak-anak. Kupikir tugasku cuma satu, mencari nafkah saja. "Aku akan pergi bersama anak-anak." Deg! Bagaikan disambar petir mendengar ucapan Mila. Pergi? Sekarang justru Mila berani mengatakan hal itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD